16 Desember 2009

» Home » Suara Merdeka » Keterpurukan Pariwisata Cilacap

Keterpurukan Pariwisata Cilacap

DUNIA pariwisata di Kabupaten Cilacap mengalami gonjang-ganjing. Lima hotel di Cilacap akan dijual oleh pemiliknya. Hal itu disebabkan rendahnya kunjungan wisatawan asing dan tingkat okupansi sejak beberapa tahun terakhir.(SM Edisi Banyumas, 12 Desember 2009, hlm D).


Kelima hotel itu adalah Wijayakusuma, Grand Hotel, Ciptorini, Cilacap Indah, dan Saraswati. Berbagai alasan dan faktor melatarbelakangi rencana penjualan hotel-hotel tersebut. Wisatawan Eropa dan Amerika Serikat yang biasa berkunjung ke Cilacap kini mengalihkan destinasi ke Yogyakarta, Dieng, dan Baturraden.

Menurut Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia ( PHRI ) Cilacap, Paino Arlis Rizal, sejak 1997 rata-rata dalam satu bulan hanya 300 kamar yang terisi pada lima hotel tersebut.

Apa yang sedang terjadi dalam dunia pariwisata Cilacap tentu merupakan pukulan berat. Jika tidak segera dilakukan antisipasi dan langkah-langkah pencegahan, maka bisnis pariwisata di daerah itu akan mengalami kebangkrutan.

Padahal Dinas Kebudayaan dan Pariwisata ( Disbudpar) Cilacap menggagas dukungan bagi kunjungan wisatawan mancanegara ke Jawa Tengah, yakni 500 ribu orang pada tahun 2011.

Sesungguhnya, krisis yang sedang dihadapi pengusaha hotel dan dunia pariwisata Cilacap merupakan hal biasa dalam siklus kepariwisataan. Kabupaten itu mulai mengenal aktivitas pariwisata sekitar tahun 1960-an.

Wisatawan dari beberapa negara Eropa mengunjungi Cilacap. Motivasi kunjungan lebih bersifat nostalgia, karena nenek moyang wisatawan pernah bermukim di Jawa Tengah zaman penjajahan dulu.

Namun kunjungan wisatawan mancanegara itu masih terjadi secara sporadis dan terbatas. RW Butler (dalam Cooper and Jackson, 1997) menyebut siklus pariwisata ini sebagai tahap eksplorasi.

Siklus pariwisata Cilacap berada pada tahap pengembangan tahun 1970-an. Wisatawan datang dalam jumlah besar. Saat itu pariwisata mulai masuk masa keemasan.

Destinasi wisata mulai dibenahi dan diikuti dengan pengembangan segmen pasar serta saluran distribusi baru. Wisatawan yang berkunjung mulai beragam, yaitu dari Eropa, Amerika Serikat, Jepang, dan China.

Masa bulan madu berlangsung hingga akhir tahun 1980.
Ada yang terlupakan dalam pembangunan pariwisata Cilacap saat itu, yaitu tahap konsolidasi.

Penurunan kunjungan wisatawan mulai terlihat pada tahun 1990-an. Hal ini disebabkan adanya krisis politik dan ekonomi yang mulai menghangat di Tanah Air. Dampaknya, komponen pariwisata Cilacap lupa untuk membangun kesetiaan wisatawan dan agen perjalanan.

Apalagi saat itu pemerintah tidak mampu memberikan jaminan keamanan kepada wisatawan. Akibatnya, sebagaimana diungkapkan Ketua PHRI Cilacap, pada tahun 1997 pariwisata daerah itu terpuruk.

Dampak selanjutnya dari keterpurukan pariwisata adalah stagnasi. Pada siklus ini destinasi tidak lagi populer, dan citra awal pariwisata sebagai destinasi nostalgia mulai memudar. Pasar wisata juga semakin tersegmentasi. Memasuki tahun 2000, persaingan bisnis pariwisata bertambah ketat.
Diversifikasi Beberapa kabupaten tetangga, seperti Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara, dan Kebumen mulai melakukan diversifikasi produk wisata. Baturraden, Owabong, Dieng, dan Gua Jatijajar bersaing ketat di pasar wisata.

Rencana penjualan sejumlah hotel di Cilacap memang mengundang keprihatinan. Namun komponen pariwisata Cilacap tidak harus pasrah menerima kenyataan pahit itu. Pemkab dan komponen pariwisata perlu segera bangkit untuk berbenah diri. Beberapa hal dapat dilakukan untuk mencegah pariwisata menjadi lebih terpuruk.

Misalnya, menggalakkan investasi agar dapat ikut dalam persaingan bisnis pariwisata kabupaten lain. Selanjutnya, mengubah produk wisata yang sudah kedaluwarsa atau menambah manfaat baru pada produk wisata yang sudah ada, seperti Benteng Pendem, Pantai Teluk Penyu, Kampung Laut, Srandil, Pantai Widarapayung, dan Nusakambangan.

Upaya lain adalah mengurangi investasi secara selektif dengan cara meninggalkan pasar wisata yang kurang menguntungkan, dan menambah investasi untuk pasar wisata yang masih setia serta pasar potensial.

Lantas, melakukan diversifikasi produk dan pasar wisata. Cilacap punya potensi wisata bahari, wisata alam, sejarah, budaya, wisata etnis, wisata olah raga, dan wisata konvensi yang belum dikelola secara optimal.

Pembangunan pariwisata Cilacap tidak dapat dilakukan dengan filosofi alon-alon waton kelakon. Harus ada terobosan kreatif dan inovatif untuk mencegah keterpurukan.

Kelima hotel yang hendak dijual pernah berjasa dalam pengembangan industi pariwisata. Mereka perlu diselamatkan agar pariwisata di bumi tersebut dapat bangkit kembali.(10)

— Chusmeru, dosen pada Jurusan Ilmu Komunikasi       FISIP Unsoed
Wacana Suara Merdeka 17 Desember 2009