16 Desember 2009

» Home » Kompas » Ihwal Reformasi Birokrasi

Ihwal Reformasi Birokrasi

Biasanya sebelum dokter melakukan dan memberikan resep pengobatan, dia pasti mendiagnosis jenis penyakit yang diderita pasiennya. Setelah diketahui jenis penyakitnya, dokter tersebut baru melakukan intervensi pengobatan. Reformasi birokrasi juga demikian, pemerintah ini harus bisa menemukan masalah yang diderita oleh birokrasi pemerintah.
Upaya reformasi merupakan jenis pengobatan terhadap sakit yang diderita birokrasi pemerintah ini. Pemerintah sering kali melakukan intervensi reformasi birokrasi tanpa terlebih dahulu melakukan upaya diagnosis menemukan masalah yang diderita oleh birokrasi pemerintah. Akibatnya, upaya reformasi yang selama ini dilakukan belum bisa mengobati sakitnya birokrasi.


Dua indikator
Selama 12 tahun terakhir ini atau lima tahun yang lalu selama Kabinet Indonesia Bersatu I, ekonomi kita menunjukkan pertumbuhan. Angka pertumbuhan mencapai 4-5 persen dan diharapkan dalam kabinet jilid kedua bisa mencapai angka pertumbuhan 8 persen lebih. Jika angka pertumbuhan ini diikuti dengan menurunnya angka kemiskinan, pengangguran, dan inflasi, kesejahteraan masyarakat yang menjadi dambaan kabinet ini akan bisa dicapai.
Pertumbuhan ekonomi ini disertai dengan pertumbuhan demokrasi politik. Kebebasan berpendapat dijamin dan kita tidak ada rasa takut lagi kalau kita berbeda pendapat dengan pemerintah. Tidak ada rasa takut untuk ditangkap pemerintah hanya karena kita beda pendapat dengan SBY, Jaksa Agung, dan Kepala Polri. Mestinya juga tidak ada pemanggilan penanggung jawab koran jika ada pemberitaan yang berbeda dengan polisi. Demikian pula tidak ada rasa takut kalau aliran politik yang kita ikuti berbeda. Hal ini merupakan tingkat perkembangan demokrasi politik yang menakjubkan jika dibandingkan dengan ketika kita hidup pada zaman pemerintahan Orde Baru.
Pertumbuhan ekonomi dan demokrasi politik selama era reformasi ini sayangnya tidak diikuti oleh pertumbuhan dan perubahan atau reformasi birokrasi pemerintah. Ada dua indikator memburuknya penyakit birokrasi selama 12 tahun terakhir ini. Pertama, indikasi pelayanan usaha publik dan bisnis. Menurut catatan International Financial Corporation tahun 2008, negara kita menduduki tingkat 123 yang paling rendah di atas Kamboja (145) dan Filipina (133). Pada saat yang sama, Malaysia berada pada tingkat 24, Thailand pada tingkat 13, Vietnam 15, dan Singapura teratas. Hal ini berarti tingkat pelayanan usaha di negara yang dilakukan oleh birokrasi pemerintah kita tergolong rendah belum bisa memuaskan penerima dan pemangku kepentingan pelayanan publik.
Selain indikasi pelayanan usaha yang masih menyesakkan itu, indikasi persepsi korupsi masih rendah sekali. Dari catatan Transparansi Internasional tahun 2009, negara kita tergolong pada tingkat yang paling rendah. Dari tahun 1998 hingga 2008 Indeks Persepsi Korupsi masih dalam tataran yang paling bawah dari 2,0 kemudian pernah lima tahun pada 1999-2003 berada pada tingkat 1,7-1,9. Pada tahun 2008 kita berada di tingkat 2,6; dan dari 180 negara yang terlanda korupsi, kita berada pada tingkat 143. Hal ini menunjukkan masalah korupsi masih menjadi persoalan yang pelik dalam birokrasi kita. Birokrasi pemerintah menjadi ladang korupsi yang paling makmur di negara kita.
Dari data seperti itu perlu dipertanyakan bagaimana birokrasi bisa mengimbangi pertumbuhan ekonomi dan demokrasi politik. Oleh karena itulah betapa penting reformasi segera dilakukan secara serentak dan komprehensif.
Selain dua indikasi masalah yang dihadapi birokrasi pemerintah, masalah lain yang perlu dipahami ialah lembaga birokrasi pemerintah ini sudah terlalu besar dan terlalu banyak. Pemerintah tampaknya belum pernah mengevaluasi efektivitasnya, tiba-tiba menambah dan membentuk jenis kelembagaan baru yang bisa menimbulkan duplikasi dengan lembaga formal yang telah ada. Unit kerja pembantu presiden untuk pengawasan pembangunan yang baru dibentuk dalam susunan kabinet SBY kedua, banyak orang belum bisa melupakan bahwa jenis lembaga pemerintah ini merupakan penjelmaan unit pemerintah Orde Baru di bawah Presiden Soeharto dahulu.
Dalam peraturan pemerintah yang masih ada (PP No 60/2008) ada unit pengendalian internal BPKP, lalu bagaimana orang tidak bisa berpikir ada duplikasi kalau unit pengawasan internal belum diefektifkan tiba-tiba dibentuk unit baru. Sumber pemborosan anggaran negara ini sangat terindikasi pada besar dan banyaknya lembaga birokrasi sehingga uang anggaran itu tidak sampai menyejahterakan hidup rakyat karena habis dimakan anggaran lembaga.
Ini baru sebagian masalah yang diperoleh dalam diagnosis birokrasi pemerintah, dan masih bisa dikembangkan untuk menemukan masalah-masalah birokrasi yang lain sehingga reformasi dilakukan terarah dan strategis.
Miftah Thoha Guru Besar Magister Administrasi Publik UGM
Opini Kompas 17 Desember 2009