16 Desember 2009

» Home » Republika » Belajar dari Fenomena Prita

Belajar dari Fenomena Prita

Oleh Dibyo Sumantri Priambodo (Psikolog)

Di tengah ingar-bingar dan gegap gempita semangat masyarakat memberantas korupsi seperti saat memperingati Hari Anti Korupsi Sedunia, beberapa waktu yang lalu. Nyaris hampir di semua kota besar ditampilkan berbagai aksi yang dimotori mahasiswa atau aktivis dalam mengekspresikan tuntutannya, baik berupa pawai, aksi teatrikal, orasi, atau pembacaan tuntutan guna mendapatkan perhatian publik.

Ada aksi 'koin untuk Prita' yang terasa berbeda. Aksi tersebut bukan saja mengandung unsur 'unjuk perasaan', tetapi sekaligus adalah 'unjuk aksi' solidaritas dan perlawanan sosok kaum lemah yang tertekan oleh kesewenang-wenangan pihak lain. Sebuah gerakan moral yang tidak berpeluang dibonceng pihak ketiga. Aksi itu bisa dikategorikan innovative dan mengandung value creation . Sebuah metode yang efektif, efisien, dan tepat sasaran. Bukankah sampai saat ini sudah terkumpul ratusan juta rupiah?

Niat yang mengiringi adalah membangun kesadaran kolektif masyarakat atas penderitaan sesamanya. Koin demi koin alias uang receh dikumpulkan para dermawan dan sukarelawan untuk disumbangkan Prita, meskipun akhirnya terjadi perdamaian dari segi perdata, sehingga Prita tidak perlu membayar denda sebesar Rp 204 juta. Siapakah Prita dan bagaimana asal muasal permasalahan yang kemudian menohok sanubari kita, tentu semua mafhum. Namun, ada fenomena menarik di balik gerakan moral 'Peduli Prita'. Solidaritas dan kesetiakawanan bangsa ini ternyata belum mati suri.

Mari kita belajar bersama fenomena tersebut. Pertama, yang mencolok adalah kenyataan bahwa saat ini masyarakat Indonesia masih punya solidaritas dan kesetiakawanan antarsesamanya. Kenyataan ini sekaligus menghapus stigma negatif bahwa masyarakat Indonesia tidak lagi memiliki kepedulian, individualistik ataupun egoistik. Selama ini masyarakat nyaris percaya pada pandangan bahwa bangsa Indonesia tidak lagi memiliki kelembutan perasaan, hati nurani, dan akal budi. Selain hanya bisa menyalahkan orang lain, melancarkan fitnah, atau caci-maki di antara sesama anak bangsa.

Kedua, sebuah kenyataan juga, kalau sebagian yang peduli sesamanya adalah masyarakat kecil, meskipun tidak menafikan banyak juga pejabat dan konglomerat yang terketuk hatinya. Misalnya, sumbangan dari anggota DPD dan mantan menteri, selebihnya adalah anak yang bertahun-tahun menabung untuk beli kucing, rela menyerahkan isi tabungan kepada Prita. Hal yang sama dilakukan sopir angkot, abang becak, pengamen, dan tukang parkir. Tentunya, sebuah kenyataan yang mengharukan karena justru rakyat kecil yang belum kehilangan hati nurani.

Ketiga, masyarakat terketuk hatinya karena melihat sendiri ada ketimpangan mencolok antara rakyat kecil dengan sebuah kekuasaan. Bagi masyarakat awam, makna keadilan memang relatif, tetapi sebuah ketidak-adilan bisa dirasakan jika sebuah kekuatan dihadapkan langsung pada ketidakberdayaan, kemiskinan berhadapan dengan kekayaan yang melimpah ruah. Rasa ketidakadilan itulah yang menggerakkan kepedulian masyarakat terhadap penderitaan Prita Mulyasari maupun 'Prita-prita' yang lain.

Keempat, mengapa koin yang disumbangkan? Masyarakat mafhum, koin adalah uang terkecil. Namun, di balik itu mampu menjadi simbol perlawanan terhadap kesewenang-wenangan. Masyarakat awam bisa menangkap makna, selain nilai nominal yang tidak seberapa, tetapi di sisi lain mengandung energi spiritualitas dan nilai sosial yang tinggi sehingga peminta-minta sekalipun yang ingin berpartisipasi, bisa mewujudkan simpati tersebut. Kenyataan yang tidak bisa dinafikan bahwa kepedulian itu tidak pandang bulu.

Kelima, aksi solidaritas tersebut merupakan 'unjuk rasa' yang unik dan spesifik. Tidak seperti lazimnya unjuk rasa dengan membawa pamflet dan teriak di jalanan. Dengan lain istilah, aksi ini bisa dimaknai sebagai unjuk perasaan yang hakiki. Yaitu, dengan konkret menyodorkan solusi. Walaupun masyarakat menaruh harapan agar keadilan tetap ditegakkan. Tetapi, bukan tanpa alasan masyarakat juga menyiapkan akibat terburuk dari sebuah proses peradilan, yaitu mengumpulkan sumbangan untuk pembayaran denda.

Keenam, aksi berupa kepedulian untuk Prita ini, mungkin bisa jadi model aksi yang lain, sehingga perilaku pengunjuk rasa lebih elegan, aksi berjalan aman, damai, dan menyejukkan. Mudah-mudahan sasaran atau objek aksi tersebut peka menangkap pesan moral yang terkandung. Bukankah Indonesia memiliki peradaban yang luhur?

Banyak hal bisa dijadikan pelajaran dari kasus Prita. Dari fenomena tadi, diharapkan lahir inspirasi kreatif seluruh masyarakat untuk membangun masa depan yang lebih baik. Disadari bahwa potensi solidaritas, merupakan energi yang secara kultural dimiliki bangsa dalam mengawal nilai kemasyarakatan dan moralitas hidup.

Prita Mulyasari adalah sosok seorang ibu yang menuntut keadilan. Kebetulan kasusnya mendapatkan liputan luas di media masa. Tetapi, sejujurnya masih banyak 'Prita-prita' lain yang terserak di seantero negeri ini yang juga memerlukan perhatian dan solidaritas bersama, seperti Mbok Minah dengan tiga butir kakaonya.

Dan secara keseluruhan, semua itu adalah tugas kita bersama untuk mengangkat harkat dan derajat bangsa ini dari keterpurukan nilai-nilai ekonomi, sosial, dan budaya. Masyarakat sudah menunggu langkah-langkah nyata para pemimpin, mereka letih menonton tindakan koruptif, kesewenang-wenangan maupun perseteruan yang terjadi selama ini. Semogalah fenomena Prita ini menjadi pelajaran berharga bagi kita semua.

Opini Republika 16 Desember 2009