16 Desember 2009

» Home » Suara Merdeka » Hijrah, Momentum Basmi Korupsi

Hijrah, Momentum Basmi Korupsi

Sangat tidak pantas Indonesia termasuk salah satu negara terkorup di Asia mengingat penduduknya mayoritas Islam yang seharusnya mengikuti teladan Nabi Muhammad

JUMAT besok, 18 Desember 2009, umat Islam merayakan Tahun Baru Hijriyah 1431. Peringatan hijrah Nabi Muhammad SAW ini mempunyai makna penting dalam mereformasi moralitas pemimpin agar cita-cita membangun clean and good governance bisa terealisasi dengan baik dan sukses.


Segala macam potensi yang mengarah kepada perilaku korupsi harus dibasmi tuntas sampai ke akar-akarnya. Jangan memberikan ruang kepada korupsi sedikit pun karena bisa cepat menjalar dan mematikan sel-sel lain. Momentum hijrah ini bermakna bila pemimpin konsisten memberantas korupsi, tegas dalam menegakkan hukum tanpa pandang bulu, dan berusaha mencapai kesejahteraan dan keadilan sosial.

Islam, agama yang dibawa Nabi Muhammad mengharamkan korupsi. Pelaku korupsi, baik yang menerima maupun yang memberi, diancam neraka dengan siksa pedih. Setiap orang yang beriman kepada Allah, Nabi Muhammad dan hari kiamat pasti akan takut menghadapi hari pembalasan yang transparan, akuntabel, dan mahaadil di mana pelaku korupsi akan disiksa dengan siksaan berat.

Menurut Quraish Shihab (2006), orang yang melakukan korupsi termasuk golongan orang yang sakit jiwa. Penyakit kejiwaan tidak hanya bisa dilihat secara fisik, tetapi juga dari aspek yang lebih dalam. Kecenderungan meningkatnya kasus kejahatan di Indonesia, dari sisi agama, terjadi akibat kurang ingatnya manusia pada Tuhan. Penyebab lainnya adalah pengaruh materialisme yang menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan dan kekosongan jiwa.

Nabi Muhammad menjadi sosok pemimpin yang konsisten membasmi korupsi sampai ke akar-akarnya. Ia menegaskan penegakan hukum tanpa diskriminasi, bahkan kalau anaknya sendiri Fatimah mencuri pasti akan dipotong tangannya. Menurutnya, diskriminasi dalam penegakan hukum itulah yang menghancurkan sebuah tatanan dan ajaran yang benar pada umat sebelumnya.

Nabi memberikan contoh yang baik kepada para sahabat dan umatnya agar tegas dan konsisten membasmi korupsi, jangan sampai ragu dan bermental panas-panas tahi ayam. Abubakar, Umar, Utsman, Ali, dan Umar bin Abdul Aziz adalah sosok pemimpin Islam yang diakui integritas, kredibilitas, dan akuntabilitasnya dalam menegakkan korupsi. Bahkan mereka enggan menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi, apalagi mengorupsi uang negara.

Sangat tidak pantas negara ini termasuk salah satu negara terkorup di Asia mengingat penduduk negara ini mayoritas beragama Islam yang seharusnya mengikuti teladan Nabi Muhammad, para sahabatnya, dan pemimpin-pemimpinnya agungnya yang mengharamkan korupsi. Kesalehan ritual yang begitu kaya harus diimbangi dengan kesalehan sosial dalam bentuk kejujuran, keteladanan, keperpihakan pada wong cilik, dan konsisten membasmi korupsi demi kesejahteraan masyarakat.
Peran Agamawan Peran agamawan dan organisasi sosial keagamaan dalam memberantas korupsi sangat vital, karena mereka bisa memberikan pencerahan pemikiran dan pembaharuan pemahaman yang benar terhadap fenomena korupsi dan bahayanya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

NU dan Muhammadiyah, sebagai ormas terbesar Islam sudah mengeluarkan panduan lengkap terkait korupsi ini yang menjadi acuan bagi komunitasnya di seluruh Indonesia, bahkan sampai luar negeri. Kedua ormas ini harus menggalakkan terus menerus jajarannya sampai ranting dalam upaya membasmi korupsi. Motivasi keagamaan akan menyulutkan semangat perjuangan melawan korupsi yang sistemik.

Menghadapi tantangan besar ini, kebersamaan dan soliditas tim menjadi amat penting di semua lini. Media massa, kalangan mahasiswa, akademis kampus, LSM, lembaga kajian, agamawan, dan ormas harus bersatu padu berjuang membasmi korupsi.

Tembok tebal kekuasaan dan uang tak terbatas yang menjadi senjata koruptor tidak boleh melemahkan semangat pembasmian. Kedisiplinan dalam berjuang di jalur yang sulit ini muaranya pada integeritas dan moralitas pemimpin, birokrasi, dan aparat penegak hukum, dan akhirnya kesejahteraan dan keadilan rakyat akan terealisasi, tidak sekadar jargon palsu.

Ulama yang mewarisi peran kesejarahan Nabi harus tampil sebagai pioner terdepan dalam perjuangan pembasmian korupsi. Jangan sampai ulama hanya duduk di singgasana prestis dan status sosial tanpa membumi di tengah realitas objektif. Menurut Ziaul Haq, para Nabi bukan hanya sosok pembimbing moralitas umat, tapi juga sosok pejuang ulung dalam memberantas ketertindasan, korupsi, kezaliman, eksploitasi, otoritarianisme, dan segala macam tirani. Nabi Ibrahim, Musa, Isa, dan tentu saja Nabi Muhammad SAW adalah sosok revolusioner dan reformis yang berjuang di tengah realitas objektif masyarakat.

Ulama seyogianya meneruskan spirit perjuangan ini untuk memberantas korupsi sebagai sumber segala permasalahan di negeri ini. Menurut M Hilaly Basya, tokoh agama bukan sekadar mengurusi ritualitas agama yang justru menjauhkan mereka dari persoalan umat. Tokoh agama adalah pihak yang sejatinya menyuarakan kebajikan dalam masyarakat.

Moeslim Abdurahman (2003) menyebut tokoh-tokoh agama semacam itu sebagai agamawan organik. Agamawan organik adalah orang (siapa saja) yang bisa mengartikulasikan kea- daan dan menemukan suara-suara agama (religious voices) menjadi kritik sosial dan counter hegemony terhadap sistem yang menindas.

Keberadaan agamawan organik tak sebatas membimbing ritualitas dan spiritualitas umat, tapi menumbuhkan kesadaran kolektif agar umat memiliki kesadaran tentang asal-muasal atau sumber penindasan dan bagaimana menyikapinya.

Di sinilah pentingnya peringatan Tahun Baru Hijriyah 1431 ini memotivasi umat Islam untuk selalu ber-amar maĆ­ruf dan ber-nahi munkar, khususnya dalam pembasmian korupsi.(10)

— Jamal Ma’mur Asmani, peneliti Center for Pesantren and Democracy Studies (Cepdes), Jakarta
Wacana Suara Merdeka 17 Desember 2009