16 Desember 2009

» Home » Pikiran Rakyat » Infrastruktur Air dan Kesehatan Masyarakat

Infrastruktur Air dan Kesehatan Masyarakat

Oleh Dwina Roosmini
Selama ini mungkin belum disadari benar bagaimana air dapat menjadi sumber penyakit yang dapat mewabah di masyarakat. Tokoh epidemiologi John Snow (1813-1858) merupakan orang pertama yang menemukan bahwa wabah kolera yang terjadi di Soho, London, pada 1854 sangat terkait dengan sumber air yang digunakan penduduk. Pada saat itu belum ditemukan mikroskop sehingga orang tidak mengetahui apa saja yang terdapat di dalam air. Akan tetapi, John Snow sangat yakin, wabah kolera disebabkan sumber air yang digunakan masyarakat. Ia mencabut pompa air yang digunakan masyarakat sehingga sumber air tersebut tidak dapat digunakan dan wabah kolera kemudian mereda.

 

Berbagai jenis agen (penyebab) penyakit menular dapat terkandung dalam air seperti diare, disentri, tifus, hepatitis A, polio, dan kolera. Yang lebih mengkhawatirkan adalah berbagai jenis polutan yang kemudian menjadi agen penyakit tidak menular. Kebanyakan agen pencemar organik, terutama organik terklorinasi bersifat karsinogenik yang menyebabkan kanker. Agen logam berat dapat menyebabkan gangguan saraf, kelahiran cacat, serta gangguan organ tubuh lainnya.
Coba lihat kondisi air yang ada di sekitar kita, mudahkah Anda menemukan air sungai atau air sumur yang jernih? Pada kebanyakan daerah, hal ini sulit ditemui. Hasil pengamatan Kelompok Keahlian Teknologi Pengelolaan Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung di lapangan menunjukkan, kebanyakan sumur masyarakat tidak memenuhi kriteria. Sumur-sumur tersebut sangat mudah tercemar limbah cair domestik yang mengandung tinja manusia. Bakteri Escherichia coli merupakan indikator apakah suatu perairan tercemar tinja limbah cair domestik atau tidak. Tidak heran, diare merupakan penyakit dalam peringkat atas setelah ISPA (infeksi saluran pernapasan akut) di beberapa daerah.
Bagaimana bakteri E. coli yang berada dalam tinja tersebut dapat memasuki perairan? Hal tersebut merupakan indikasi bahwa kita belum dapat mengelola limbah domestik dengan baik. Berarti kita perlu melihat bagaimana kinerja infrastruktur pengolahan tinja yang ada, siapakah yang bertanggung jawab untuk mengelola infrastruktur limbah cair domestik tersebut? Siapakah yang selama ini bertanggung jawab mengawasi kinerja infrastruktur tersebut, apakah Badan Lingkungan Hidup, Dinas Kesehatan, atau lainnya?
Jajaway adalah desa di Cileunyi Timur, Kabupaten Bandung, dengan angka kejadian diare menduduki peringkat kedua kejadian penyakit terbanyak di desa tersebut. Daerah ini belum mendapatkan akses terhadap air dari PDAM sehingga sumber air utama adalah sumur gali. Mengacu pada standar air minum berdasarkan SK Menkes No: 907/Menkes/SK/ 2002, jumlah coliform total dan fecal coliform yang diperbolehkan dalam air minum adalah 0 MPN/100 ml. Ternyata, 66,66% sumur pribadi di desa tersebut mengandung bakteri coliform lebih besar dari 2.400 MPN/100 ml, mengandung fecal coliform lebih besar dari 2.400 MPN/100ml, sedangkan 93,33% dari sumur umum mengandung coliform total lebih besar dari 2.400 MPN/100ml. Hal ini menunjukkan sumur-sumur tersebut tercemar limbah cair domestik seiring dengan kondisi infrastruktur limbah cair domestik yang sangat terbatas. Cubluk merupakan metode yang paling banyak digunakan masyarakat di sana.
Kondisi itu terkait erat dengan mengapa kita belum dapat menghilangkan penyakit menular seperti: tifus, diare, polio, dan hepatitis A. Saatnya kita menghitung dengan cermat, biaya yang selama ini dikeluarkan untuk mengatasi kejadian penyakit-penyakit tersebut serta penyakit bawaan air lainnya. Ada baiknya biaya itu dibandingkan dengan biaya untuk mengelola limbah cair domestik secara menyeluruh, yaitu membangun infrastruktur termasuk sistem pengelolaannya. Infrastruktur limbah cair domestik juga akan memperbaiki kualitas air baik air permukaan maupun air sumur. Dengan meningkatnya kualitas air, biaya produksi air bersih/minum akan menurun sehingga akses terhadap air bersih akan terjangkau seluruh lapisan masyarakat. Saat ini, masyarakat berpenghasilan rendah membelanjakan 33% dari seluruh pendapatannya untuk mendapatkan air minum.
Selanjutnya kita dapat meningkatkan fasilitas kesehatan agar dapat memonitor lebih baik lagi penyakit-penyakit tidak menular yang diakibatkan oleh pencemaran polutan kimiawi. Polutan kimiawi ini dapat bersumber dari kegiatan industri, pertanian, serta aktivitas manusia lainnya dalam meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Untuk itu, diperlukan peralatan canggih untuk mendiagnosis penyakit tidak menular tersebut yang biasanya hanya ada di rumah sakit besar. Jika angka kejadian penyakit tidak menular tersebut tidak banyak, terdapat dua kemungkinan: pertama memang penyakit tersebut tidak ada karena kualitas lingkungan kita sudah baik atau kemungkinan kedua adalah penyakit tersebut tidak terdiagnosis dan tidak tercatat karena keterbatasan peralatan diagnosis dan sistem pendataan penyakit di puskesmas atau fasilitas kesehatan lainnya.***
Penulis, Kelompok Keahlian Teknologi Pengelolaan Lingkungan Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung.
Opini Pikiran Rakyat 17 Desember 2009