29 Desember 2009

» Home » Suara Merdeka » Guncangan di Ruang Sosial Virtual

Guncangan di Ruang Sosial Virtual

Dengan kata lain sepanjang 2009 sesungguhnya muncul satu gairah hidup baru yang jika diucapkan dengan gaya Descartes, ”Aku hidup di ruang sosial virtual, karena itu aku ada.” Tanpa memasuki virtual social space orang merasa nothing, bahkan hopeless.

SEPANJANG 2009 tak pelak lagi kehidupan kebudayaan kita diguncang oleh peristiwa-peristiwa yang berbasis di dunia maya. Ada kisah penggalangan dukungan untuk para pimpinan Komisi Pemberantasan, Bibit Samad Rianto-Candra Hamzah di facebook yang membuat presiden, kejaksaan, dan kepolisian keder.


Ada cerita tentang Prita Mulyasari yang diadili gara-gara menulis surat elektronik tentang pelayanan Rumah Sakit Omni Internasional yang tak memuaskan.

Ada juga artis Luna Maya yang karena jengkel pada pekerja infotainment menulis di microblog twitter pribadinya, ”Infotainment derajatnya lebih hina daripada pelacur, pembunuh” sehingga ia dilaporkan kepada polisi dan dibidik para aparat dengan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Dan yang terkini, kita dikejutkan oleh buku Membongar Gurita Cikeas karya George Junus Aditjondro yang sebagian besar datanya diperoleh dari dunia virtual.

Apa makna dari peristiwa-peristiwa ini? Apakah semuanya merupakan kisah-kisah biasa yang lahir dan mengalir begitu saja? Atau hal itu merupakan adegan-adegan kehidupan yang tak terhindarkan karena memang ada tangan-tangan tak kelihatan yang mengonstruksi keberadaannya?

Manusia, kita tahu, tak pernah tinggal di sebuah ruang vakum sejarah. Ia tidak pernah berada di sebuah ruang sosial yang otonom atau kalis dari persoalan-persoalan yang membelit. Hidup di dalam mediamorfosis —yakni media yang berubah begitu cepat— telah mengubah persepsi kita atas manusia dan kemanusiaan.

Irwan Abdullah, dalam Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan, bahkan menyatakan, media semacam itu melahirkan jarak baru dengan realitas yang sesungguhnya sehingga proses empati menjadi persoalan besar. Akibatnya ruang-ruang sosial juga semakin sempit sejalan dengan pembentukan berbagai ruang elektronik (electronic space) yang lebih efisien.

Dalam situasi semacam itu, Abdullah mengingatkan: manusia kehilangan intensitas sosial akibat pola alokasi waktu yang berubah dan cenderung berhadapan dengan barang-barang elektronik ketimbang kelompok atau komunitas.

Ini menyebabkan keterpisahan yang akut antara individu dari kelompok sosial yang menyebabkan nilai dan pemaknaan menjadi bersifat relatif dan terdeferensiasi. Hubungan personal menjadi kurang penting sejalan dengan kemenghilangan empati emosional dalam diri individu-individu.

Simulasi Sosial

Jika tak percaya, lihatlah segala tingkah orang yang berada di dalam bilik-bilik warung internet. Mereka berada dalam satu ruang, tetapi tak berkomunikasi sama sekali. Mereka dalam satu waktu dan ruang real tetapi dalam kenyataan tak dipersatukan oleh sebuah topik atau kepentingan yang sama.

Dalam ungkapan Jean Baudrillard, masyarakat kita barangkali dalam proses menciptakan akhir sosial dengan menguburkan hal itu di balik simulasi sosial. Karena itulah Yasraf Amir Piliang dalam Posrealitas: Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika menyatakan, ”Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi mutakhir telah memengaruhi berbagai aspek dunia kehidupan sosial, dan telah menimbulkan tantangan serius terhadap berbagai prinsip yang membentuk masyarakat, seperti relasi sosial, dan realitas sosial. Bahkan konsep sosial, sosialitas, dan society itu sendiri kini dihadapkan pada berbagai kemungkinan dekonstruksi.”

Itulah sebabnya Yasraf menengarai ketika dua atau beberapa orang saling berinteraksi secara virtual lewat media tertentu, misalnya lewat teleconference atau mailling list group di internet, yang tercipta bukanlah realitas sosial yang hadir dalam wujud media, yang menghubungkan komponen-komponen sosial dalam sebuah relasi jarak jauh.

Dengan kata lain, realitas sosial menyatukan komponen-komponen sosial dalam sebuah ruang sosial (social space) yang nyata (real), sedangkan posrealitas sosial menyatukan mereka dalam sebuah ruang yang bersifat artifisial atau virtual (virtual social space).

Itu bukan akibat akhir. Hidup dalam era ”The Net Generation” (Don Tapsion)  ”The Next Generation” (Idi Subandy Ibrahim) ternyata orang harus mengikuti hukum-hukum, aturan-aturan, dan kebenaran-kebenaran dalam ruang digital atau dunia maya atau hiperrealitas. Orang harus hidup dalam dunia yang simulatif, penuh tiruan, dan nyaris seragam.

Dalam dunia yang serbasimulatif itu memang muncul simulakrum kebudayaan. Ada klise massal yang didesakkan oleh siapa pun yang anehnya bisa mengonstruksi kebenaran baru yang kadang-kadang berbeda dari kebenaran yang sedang dikonstruksi atau didesain di dunia real.

Dukungan dan perlawanan terhadap Bibit-Candra atau sekarang Luna Maya lengkap dengan kebenaran-kebenaran yang ditiupkan tak lain dan tak bukan adalah buah dari klise massal.

Anda tinggal menyatakan dukungan atau perlawanan, dunia akan menyerap tindakan itu dan segera mewartakan kepada khalayak. Kebenaran, dalam K besar, tiba-tiba menjadi sesuatu yang tak perlu diperdebatkan dengan argumentasi-argumentasi yang canggih.

Sakral-Profan

Bukti lain ”kebenaran” dunia maya sangat diperhitungkan muncul dalam iklan film Sang Pemimpi. Selain mencantumkan teks ”Film Box Office Kebanggaan Indonesia! Telah meraih 1,2 juta penonton hanya dalam 10 hari”, iklan itu juga menyertakan komentar Mahfud MD, Ketua Mahkamah Konstitusi dan penonton dari twitter.com.

Ungkapan Mahfud, ”Orang bijak atau yang ingin bijak perlu menonton film ini...” dipersandingkan dengan pernyataan penonton anonim, ”Filmnya bagus banget...dan jempolku kurang untuk Sang Pemimpi...Minta jempol donk!”

Mana yang harus percaya? Dalam terminologi iklan keduanya dianggap memiliki kebenaran sama, tak peduli yang satu doktor yang lain provokator. Keduanya —yang berasal dari dunia sakral dan profan— bisa dimanfaatkan oleh pasar karena keduanya menguntungkan.

Dari sinilah bisa terjelaskan dengan gamblang mengapa orang-orang yang ”sadar informasi dan sekaligus internet” mengonstruksi kembali dunia kebudayaannya dan menyesuaikan dengan kebenaran dunia virtual.

Malah mereka merasa tidak hidup dalam ”kebenaran terkini” jika tidak memasuki ruang sosial dunia virtual. Mereka merasa hidup pada jadul (jaman dulu) banget jika tak patuh pada kebenaran-kebenaran yang bermain di jejaring sosial maya semacam facebook atau twitter.

Dengan kata lain sepanjang 2009 sesungguhnya muncul satu gairah hidup baru yang jika diucapkan dengan gaya Descartes, ”Aku hidup di ruang sosial virtual, karena itu aku ada.”

Tanpa memasuki virtual social space orang merasa nothing, bahkan hopeless. Tanpa memasuki dunia yang sebenarnya sangat posrealitas itu orang merasa tak bisa berinteraksi (dengan dunia on line) dan berpartisipasi dalam masyarakat yang terbuka dan tanpa batas.

Pertanyaan yang kemudian muncul: jika tahun ini kita hidup dalam guncangan dunia virtual yang semacam itu, apa yang perlu kita persiapkan pada 2010? Karena konstruksi kebudayaan tak lahir dari ruang hampa, ada baiknya kita memasuki ruang sosial virtual dengan kritis.

Pertama, mari kita masuki ruang sosial virtual dengan sepenuh hati. Itu berarti kita mesti hidup dalam semua kemungkinan dunia komputer. Atau dengan cara sederhana kita memindahkan nilai-nilai dunia real ke dunia virtual. Dengan bahasa yang bombas, kita menyubversifkan dunia real ke dunia virtual.

Kedua, sebagaimana terungkap dalam berbagai tulisan terdahulu, kita bisa saja melakukan negasi besar-besaran pada dunia virtual dan mengembalikan diri ke dunia tanpa simulakrum, tanpa kesemuan, tanpa ruang-ruang yang hanya tergapai dalam imajinasi dan ingatan.

Atau ambil saja jalan tengah: misalnya dengan bertanya, ”apakah tidak sebaiknya kita membahas ulang Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan lebih memahami ”hakikat kebenaran” di ruang sosial virtual yang sangat relatif itu?
Jadi, tak perlu bimbang. Pilih ”konstruksi kebudyaan” paling menawan untuk bekal menghadapi 2010? (10)

—Triyanto Triwikromo, wartawan Suara Merdeka, tinggal di Semarang
Wacana Suara Merdeka 30 Desember 2009