29 Desember 2009

» Home » Kompas » Buah yang Selalu Getir

Buah yang Selalu Getir

MH SAMSUL HADI
Tahun 2009 yang segera berlalu terasa begitu lama bagi insan sepak bola nasional. Terasa lama bukan karena hari lebih panjang, tetapi akibat terlalu seringnya negeri ini menelan kegetiran tiada berkesudahan sepanjang tahun itu. Tumbangnya tim nasional 0-2 dari Laos di SEA Games, awal Desember lalu, jadi kado penutup tahun yang paling getir.
 Laos merupakan negara Asia Tenggara ketiga paling bawah dalam peringkat terbaru FIFA (per 9 Desember 2009), yakni peringkat ke-178, setelah Brunei (191) dan Timor Leste (200). Kekalahan itu memberikan tamparan keras dan kekecewaan mendalam bagi pencinta sepak bola nasional.


Tahun 2008, ketika timnas senior terjegal di semifinal Piala AFF, sudah muncul sinyal peringatan bahwa Indonesia sudah menjadi kekuatan kelas dua di peta sepak bola ASEAN. Satu level di bawah Thailand, Singapura, dan Vietnam; sejajar dengan Myanmar dan Malaysia.
Kini, setelah takluk dari Laos plus kekalahan serupa 1-3 dari Myanmar di SEA Games lalu, sepak bola negeri ini kian turun kelas. Jika ini dibiarkan, jangan kaget jika suatu saat level tim ”Merah Putih” sejajar dengan Laos, Kamboja, Timor Leste, dan Brunei.
Myanmar sudah menaklukkan kita, Malaysia yang merebut emas sepak bola SEA Games mulai meninggalkan kita. Ini sungguh membuat pencinta sepak bola di Tanah Air gundah gulana. Boaz Solossa, Tony Sucipto, dan lain-lain diharapkan jadi tumpuan tiga-empat tahun ke depan.
Namun, potensi yang mereka miliki, seperti yang telah mereka perlihatkan di klub, gagal dikelola menjadi timnas yang tangguh. Nasib tim U-23 itu mirip dengan senior mereka yang tertatih-tatih mengikuti kerasnya persaingan di kualifikasi Piala Asia 2011.
Dipoles Pelatih Benny Dollo, timnas senior sejauh ini maksimal hanya bisa seri menghadapi Australia, Kuwait, dan Oman. Bambang Pamungkas dan kawan-kawan masih punya dua laga tersisa, menjamu Oman pada Rabu pekan depan dan tandang ke Australia, 3 Maret.
Namun, bukan rahasia bahwa tipis peluang mereka bisa lolos ke putaran final Piala Asia, yang tidak pernah absen diikuti Indonesia dalam empat turnamen terakhir sejak 1996. Ini jelas kemunduran, terlebih di Piala Asia 2004 dan 2007 pencapaian ”Merah Putih” naik ke urutan ketiga babak grup dan tidak lagi penggembira atau juru kunci seperti di Piala Asia 1996 dan 2000.
Pada strata lebih yunior, Indonesia juga terbata-bata. Timnas U-19, yang disiapkan dua tahun di Uruguay, gagal lolos ke putaran final Piala Asia U-19. Hanya timnas U-16 yang memberi senyuman. Mereka lolos ke Piala Asia U-16 2010.
Ironisnya, mereka bukan tim yang disiapkan PSSI dan dilatih di Uruguay. Pemain timnas U-16 dibentuk Kantor Menteri Negara Pemuda dan Olahraga. Mereka cukup digenjot latihan di Bangkalan, Madura.
Problem kompetisi
Hasil itu buah yang harus dipetik akibat diabaikannya kompetisi usia muda oleh PSSI. PSSI lebih memilih jalan pintas, mengirim tim berlatih ke luar negeri meski sudah berkali-kali gagal. Merosotnya pencapaian timnas belum memperlihatkan kesinambungan antara kompetisi dan pengelolaan timnas.
Di satu sisi, kompetisi di level senior tetap berjalan, dengan segala karut-marut persoalan yang membelitnya, tetapi di sisi lain seperti tidak memberikan input apa-apa bagi timnas. Tidak jarang keduanya bergesekan, seperti pada awal tahun saat program timnas sampai menunda dimulainya putaran kedua Liga Super.
Liga yang pada 2009 memasuki tahun kedua dengan baju ”super” ternyata juga baru sebatas ingar-bingar di permukaan. Liga ini diklaim profesional, tetapi sebagian klub anggotanya masih menetek pada dana APBD. Ada klub musafir, berpindah dari satu kota ke kota lain; ada klub yang pengurusnya saling bertikai hingga tak mampu menggelar laga; ada pula klub yang tak mampu membayar hotel tempat pelatih menginap hingga ia diusir petugas hotel.
Bahkan, dalam beberapa segi, musim ini telah terjadi kemerosotan dibandingkan dengan musim lalu. PT Liga Indonesia, yang dulunya Badan Liga Indonesia, plin-plan dan bermuka ganda menerapkan standar kompetisi. Demi menyelamatkan kompetisi, itulah alibi mereka.
Ini contoh kecilnya. Persitara Jakarta Utara dilarang menjamu lawan-lawan mereka di Stadion Lebak Bulus, tetapi ”silakan” untuk Persija Jakarta. Persitara sendiri diperbolehkan menggunakan stadion standar mahasiswa, Stadion Soemantri Brojonegoro.
Sepanjang 2009 juga diwarnai jadwal kompetisi yang terus berubah. Ini terkait sempat dihentikannya izin menggelar pertandingan oleh aparat kepolisian di beberapa daerah karena pemilu. Polisi tentu bukan tidak punya alasan mengambil langkah itu.
Kompetisi sepak bola negeri ini sering diwarnai kerusuhan, di dalam maupun di luar lapangan, sudah seperti penyakit kronis. Di dalam lapangan, sedemikian parahnya kericuhan itu, polisi di Solo sempat menangkap pemain saat laga masih berjalan.
Peristiwa yang mungkin baru pertama di dunia sepak bola ini simbol betapa impotennya PSSI mengatasi masalah kericuhan itu. Di tengah kompetisi yang karut-marut, Persipura Jayapura juara Liga Super dan mewakili Indonesia di Liga Champions Asia 2010.
Masih dari dalam lapangan, final Copa Indonesia antara Sriwijaya FC dan Persipura juga ricuh. Persipura mogok dan Sriwijaya juara Copa. Tak lama setelah kejadian itu, pihak Dji Sam Soe selaku sponsor memutuskan tidak memperpanjang kontrak dengan PSSI.
Dalam percaturan antarklub di level Asia, mirip yang terjadi dengan timnas, klub negeri ini tidak mampu bersaing. Lihatlah, Sriwijaya dijadikan lumbung gol di Liga Champions Asia 2009, antara lain dilibas Shandong Luneng dan Gamba Osaka 0-5, disikat FC Seoul 1-5.
PSMS Medan, yang tampil di Piala AFC, agak lumayan. Mereka lolos dari babak penyisihan grup sebelum kandas di babak 16 besar, disingkirkan Chonburi FC, (Thailand), 0-4.
Kegetiran 2009 semakin komplet ketika, Juli lalu, Manchester United, juara Liga Inggris, batal beruji coba dengan timnas di Jakarta karena teror bom.
Piala Dunia
Di tahun yang penuh dengan kegetiran itu, apa yang dilakukan PSSI? Empat bulan pertama pada 2009, energi organisasi itu terkuras untuk menyelesaikan konflik ketua umumnya, Nurdin Halid, dengan FIFA.
Sejak Oktober 2007, kepemimpinan Nurdin dibekukan FIFA yang menemukan pelanggaran statuta saat Nurdin terpilih kedua kali sebagai Ketua Umum PSSI. Persoalan itu baru selesai, April 2009, ketika FIFA mengirim surat pengakuan kepada Nurdin atas rekomendasi Presiden Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC) Mohamed bin Hammam.
Ini balas budi Bin Hammam atas dukungan PSSI kepadanya dalam perebutan kursi anggota Komite Eksekutif FIFA. Bukan itu saja, saat bermasalah dengan FIFA, Nurdin melalui koleganya di PSSI melontarkan sensasi dengan mencalonkan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia 2018 dan 2022.
Belakangan, PSSI menarik diri dari Piala Dunia 2018 dan bersaing untuk 2022. Menko Kesra Aburizal Bakrie sudah memberikan persetujuan terhadap langkah PSSI. Namun, langkah itu dinilai banyak kalangan sebagai diplomasi PSSI dengan FIFA, terutama agar persoalan Ketua Umum PSSI saat itu bisa diselesaikan.
Karena itu, wajar jika sampai hari ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono belum memberikan dukungan. Seperti berkali-kali ditegaskan Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng, PSSI sebaiknya berkonsentrasi pada peningkatan prestasi, bukan mengejar sensasi ingin menggelar Piala Dunia.
Bagaimana 2010?
Tidak ada jalan lain, harus ada pembenahan pada 2010 yang segera tiba. Untuk timnas, PSSI harus menyiapkan tim sematang mungkin. Kualifikasi Piala Dunia 2014, seperti diumumkan AFC, dimulai 8 Oktober mendatang, di samping juga Piala AFF.
Kompetisi juga harus diperbaiki. Dua pilar (timnas dan kompetisi) itulah yang seharusnya digarap serius PSSI, bukan fokus pada hal-hal sensasional, seperti tuan rumah Piala Dunia 2018 dan 2022 yang akan diumumkan Desember mendatang. Ini agar setidaknya ada secuil buah yang manis pada tahun 2010.

Opini Kompas 30 Desember 2009