20 November 2009

» Home » Okezone » Saatnya lurik ikuti jejak batik

Saatnya lurik ikuti jejak batik

Pada 2 Oktober 2009, gaung batik di berbagai wilayah semakin populer. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta kepada rakyat Indonesia pada tanggal tersebut, untuk mengenakan batik sebagai penghargaan terhadap budaya sendiri. Batik telah diakui UNESCO sebagai satu warisan budaya bukan benda warisan manusia.


Seperti dikutip dari wikipedia.org, batik adalah salah satu cara pembuatan bahan pakaian. Selain itu batik bisa mengacu pada dua hal. Yang pertama adalah teknik pewarnaan kain dengan menggunakan malam untuk mencegah pewarnaan sebagian dari kain.
Pengertian kedua adalah kain atau busana yang dibuat dengan teknik tersebut, termasuk penggunaan motif-motif tertentu yang memiliki kekhasan. Batik Indonesia, sebagai keseluruhan teknik, teknologi, serta pengembangan motif dan budaya yang terkait, oleh UNESCO, ditetapkan sebagai warisan kemanusiaan untuk budaya lisan dan nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity).
Disini, penulis tidak akan mengupas banyak tentang sejarah batik maupun proses pembuatannya. Hingga kini, batik yang dikenal masyarakat luas antara lain batik cap dan batik tulis. Beberapa batik yang sudah dikenal antara lain yang berasal dari Solo, Yogyakarta dan Pekalongan.
Batik pun bukan lagi barang ekslusif yang digunakan oleh kalangan ningrat di keraton atau istana. Batik juga tidak hanya dikenakan pada acara-acara resmi. Kini, masyarakat pada umumnya, baik dari kelas atas, menengah maupun bawah dapat mengenakan batik pada setiap kesempatan. Mereka dapat memperolehnya dengan mudah sesuai keinginan dan kemampuan kantong masing-masing. Di pasaran, harga baju batik cap termurah yang siap pakai pernah penulis temui untuk ukuran orang dewasa sekitar Rp 20.000 per potong.
Bagi mereka yang berduit dan berkelas, barangkali dengan gampang mendapatkan batik tulis yang harganya ratusan ribu sampai jutaan rupiah.
Diakui atau tidak, popularitas batik kian meroket karena ada pihak-pihak yang secara intens mendukung keberadaannya. Baik itu lewat kebijakan maupun promosi.
Di instansi pemerintah, PNS memiliki peran dalam mengkampanyekan batik. Untuk memasyarakatkan batik, pemerintah memiliki kebijakan agar batik menjadi salah satu pakaian yang dipakai saat bertugas. Begitu pula dengan karyawan swasta maupun pelajar yang kini banyak mengenakan batik.
Lurik, seperti yang dikenal banyak orang merupakan corak kain berupa lajur atau bermotif belang. Di Jawa Tengah khususnya Solo dan Yogyakarta, terdapat tradisi bagi ibu hamil yang mengenakan kain lurik ketika acara selamatan tujuh bulan atau mitoni.

Pelestarian lurik
Ketua Dewan Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Yuwono Sri Suwito mengatakan para pejabat Pemprov Jateng maupun pemerintahan daerah se-Jateng dulu juga menggunakan pakaian lurik dalam aktivitas dinas mereka.
Yuwono juga menyampaikan lurik sangat bisa diakui PBB lewat UNESCo sebagai warisan budaya dunia. Lurik memiliki dua persyaratan yang dibutuhkan untuk ditetapkan sebagai warisan budaya dunia itu. Yakni punya nilai filosofi dan budaya. Lurik itu memiliki filosofi sendiri atas masing-masing coraknya. Tahapan awalnya ini harus dipatenkan dulu, terus menasional dan bisa masuk world heritage (SOLOPOS, 31/10).
Di Kabupaten Klaten, Bupati Sunarna berupaya mengangkat potensi wilayah melalui penggunaan pakaian lurik. Melalui Surat Edaran (SE) Bupati Klaten No 025/575/08 tanggal 25 Juni tentang Uji Coba Penggunaan Pakaian Dinas Lurik/Batik khas daerah, saat ini setiap Kamis seluruh PNS dan perangkat pemerintahan desa mengenakan pakaian lurik.
Lurik yang dikenal sebagai peninggalan orangtua dulu adalah hasil produksi alat tenun bukan mesin (ATBM). Di Indonesia, selain lurik dari Klaten, hasil tenunan ATBM yang sudah tidak asing lagi yaitu tenunan pengrajin Troso Jepara dan ulos, selendang khas dari Batak.
Bicara soal lurik di Klaten, Pemkab Klaten perlu membuat kebijakan yang bisa melestarikan keberadaan lurik. Pada satu sisi, Pemkab Klaten memiliki tugas untuk melestarikan lurik ATBM dan di sisi lain tetap melihat realitas tentang perekonomian warga. Sebagai pembanding, barangkali pengembangan lurik bisa melihat bagaimana batik akhirnya begitu populer.
Masyarakat pada akhirnya dapat memperoleh batik dengan harga yang termurah sampai yang mahal dan semua lapisan bisa mengenakannya. Sedangkan lurik hasil ATBM, sampai saat ini masih sulit dijangkau masyarakat kelas menengah ke bawah. Harga lurik ATBM dengan kain katun bervariasi mulai Rp 25.000/meter. Penulis memastikan warga ekonomi menengah ke bawah akan lebih memilih membeli kebutuhan pokok daripada membeli lurik ATBM.
Realitas di atas setidaknya dapat menjadi bahan pertimbangan bagi Pemkab Klaten khususnya dan pemerintah pusat dalam mengembangkan lurik ATBM. Perlu diingat, tidak semua PNS maupun pegawai serta pelajar termasuk dalam golongan menengah ke atas. Keadaan ekonomi masyarakat yang heterogen dapat menjadi pertimbangan dalam menentukan kebijakan tentang penggunaan lurik. Kebijakan stakeholders diharapkan bisa mengakomodasi semuanya.
Penggunakan lurik ATBM bagi pejabat Klaten boleh lebih ditekankan apalagi bagi jajaran wakil rakyat di DPRD. Sehingga, mereka dapat mengangkat perekonomian pengrajin lurik ATBM sekaligus ikut melestarikan budaya Indonesia itu.
Pengrajin tentunya tetap harus berinovasi dan berlomba-lomba membuat produk lurik ATBM yang variatif dengan kualitas bagus dan jika memungkinkan dapat dijangkau semua lapisan masyarakat.
Penulis melihat Pemkab Klaten semakin gencar mempromosikan lurik. Salah satunya dengan pameran produk lurik ATBM di Ambarukmo Plaza Yogyakarta, Kamis-Sabtu (19-21/11).
Satu upaya yang harus dilakukan terus-menerus yaitu menjadikan lurik sebagai brand image Klaten dan kekayaan negeri ini.
Ke depan, bagaimana akhir dari perjalanan lurik? Akankah lurik dapat mengejar popularitas batik? Paling tidak bisa menyamai batik atau lurik akan tenggelam ditelan zaman? Untuk tetap mempertahankan eksistensi lurik, semua pihak dan komponen yang ada di dalamnya sangat dibutuhkan peran sertanya. Pembuat kebijakan, LSM, media, pengrajin dan masyarakat pada umumnya mempunyai peran dalam melestarikan salah satu warisan budaya Indonesia itu. -

Oleh : Nadhiroh Wartawan SOLOPOS
Opini Solo Pos 21 November 2009