20 November 2009

» Home » Suara Merdeka » Haruskah Minah Dipenjara?

Haruskah Minah Dipenjara?

Lengkap sudah tontonan fragmen peradilan di negeri ini, mulai dari yang besar semacam kasus Bibit S Rianto dan Chandra maupun yang kecil-keci semacam kasus Ny Minah.  Mestinya mereka malu dengan masyarakat yang tidak butuh disuguhi dengan kisruh tapi karya nyata korupsi/ koruptor yang harus diberantas dan masyarakat disejahterakan. 

Pengadilan Negeri Purwokerto pada hari Kamis, 19 November 2009 menggelar sidang guna memutus kasus Ny Minah (55), warga Desa Darmakradenan RT 4 RW 5  Kecamatan Ajibarang, Banyumas, yang dimejahijaukan karena didakwa mencuri tiga biji kakao seharga Rp 2.100 kemudian dijatuhi hukuman penjara 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan 3 bulan (Suara Merdeka, 20 November 200).

Majelis hakim dalam pertimbangannya menyatakan bahwa perbuatan Minah sudah memenuhi unsur pidana. Jaksa bisa membuktikan bahwa Minah melanggar Pasal 362 KUHP. Walaupun saat membacakan putusan secara bergiliran, nada ketiga hakim mulai lirih dan ada rasa sedih yang tak bisa mereka sembunyikan. Ketua majelis hakim Bambang Luqmono bahkan tak kuasa menahan air mata.
Kenapa Harus Dipenjara? Penjara adalah salah satu jenis pidana perampasan kemerdekaan yang utama di bawah pidana mati. Artinya sebagai sarana penanggulangan tindak pidana penggunaannya harus sangat hati-hati. Hanya dalam keadaan tertentu saja sarana ini digunakan. Bahkan kehati-hatian itu memunculkan prinsip untuk delik dengan bobot pidana di bawah satu tahun sebaiknya tidak digunakan sarana pidana penjara.

Hal itu mengacu dalam ketentuan pasal yang disangkakan kepada Ny Minah, yaitu pencurian dalam KUHP dirumuskan Pasal 362 dengan ancaman pidana berupa penjara maksimal 5 tahun atau denda Rp 60. Ancaman seperti ini membawa konsekuensi hanya dikenal satu-satunya pilihan, yaitu jenis penjara karena nilai Rp 60 sebagai ancaman pidana sudah tidak efektif lagi. Inilah yang dinamakan ”dead letter laws”, ada rumusannya tetapi tidak dapat lagi digunakan karena usang. Kelak akan dijumpai ”Minah-Minah” lain di kemudian hari dan selalu akan menghadirkan pidana penjara,

HL Packer mengingatkan hal seperti itu sebagai berikut. ”The criminal sanction is at once prime guarantor and prime threatener of human freedom. Used providently and humanely it is guarantor; used indiscriminately and coercively , it is threatener (HL Packer, 1969: 366).”  

Rumusan sebagaimana Pasal 362 KUHP adalah bisa dikatakan bersifat ”coercively” atau bersifat memaksa. Artinya bagi hakim tidak adanya alternatif lain selain penjara, sehingga mau-tidak mau, suka atau tidak suka ia terpaksa harus diputuskan penjara bagi pencuri. Penggunaan sanksi pidana yang seperti ini dikatakan Packer sebagai prime threatener of human freedom  (pengancam yang utama). Kata pengancam bisa ditujukan kepada keadilan, kepada kebebasan hakim, atau kepada munculnya dampak buruk dari penjara itu sendiri.

Memang Minah dengan masa percobaan tiga bulan tidak perlu menjalani pidana penjara, akan tetapi perlu diketahui bahwa sifat dari pidana percobaan itu sendiri adalah tidak imperatif bagi hakim. Yang imperatif adalah harus menjatuhkan pidana penjara itu sendiri. Inilah mengapa hakim sampai menangis karena ada kontradiksi nurani dan aturan.

Bagaimana kalau itu telah ada dalam hukum yurisprudensi? Yurisprudensi pun tidak bersifat mengikat karena kita tidak mengenal ”stare decisis”. Kita lebih condong ke prinsip ”persuasive precedent”.
Apakah Maknanya? Kebijakan kriminal sebagai upaya rasional untuk menanggulangi kejahatan bukan sesuatu yang berdiri sendiri lepas dari kebijakan yang lain. Namun ada keterpaduan antara kebijakan kriminal (criminal policy) dengan kebijakan penegakan hukum pada umumnya dan kebijakan sosial.

Pemahaman tentang kebijakan kriminal dengan demikian mengandung pemikiran yang integral/ sistemik. Berdasarkan perspektif tersebut penegakan hukum pidana yang merupakan bagian (subsistem) dari kebijakan kriminal itu ada dalam konteks sistem penegakan hukum nasional, oleh karenannya harus memperhatikan rambu-rambu kebijakan hukum nasional (national legal framework).

Artinya menegakkan hukum pidana tidak identik dengan menegakkan KUHP. Harus pula diperhatikan rambu-rambu kebijakan hukum nasional secara integral. Menghukum kasus pencurian pun tidak saja harus dengan pasal 362 KUHP yang harus sampai ke putusan hakim dan penjara.

Pemidanaan adalah sebuah proses yang hakikatnya sudah dimulai sejak tahap penyidikan. Fungsi pidana baik prevensi spesial maupun prevensi general bisa saja dimainkan di tahap penyidikan. Misal dengan pembinaan pelaku di kepolisian; tidak harus ke pengadilan. Selama ini terus-tidaknya perkara hanya berdasarkan cukup tidaknya bukti secara prosedur; Tidak berpikir cukup/ layak tidaknya kualitas perkara dan dampaknya.

Pasal 16 (1) UU 4 Th. 2004: Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih hukumnya tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Pasal ini mengandung prinsip mengakui keberadaan dan mekanisme penciptaan hukum dalam bentuk judge made law.

Ketika Rp 60 tidak jelas fungsinya sebagai sarana crime prevention  maka hakim tidak boleh menolak untuk menggunakan sarana sanksi denda tersebut. Sarana denda tetap dibutuhkan. Ia tidak boleh kehilangan keampuhannya untuk menghukumi hanya karena salah satu sarananya tidak bisa dipakai.

Ingat bahwa rambu-rambu kebijakan hukum nasional  tidak mengambil sikap ”legistik”, menerapkan UU secara ketat dengan metafora ”bouche de la loi”. Akan tetapi positivisme yang dianut adalah ”positivisme hukum” (rechtspositivisme) dan bukan positivisme Undang-Undang (wetpositivisme). Politik hukum nasional menghendaki sumber hukum untuk mengadili bukan saja Undang-Undang.

Cara lain adalah asumsi dasar yang harus dikembangkan bahwa ”hukum adalah untuk manusia”, bukan sebaliknya manusia untuk hukum. Oleh karenanya pasal 24 (1) UUD 1945 (amandemen ketiga) merumuskan ”Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Pasal 3 (2) UU:4/2004 : ”Peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila”. Berdasarkan rambu-rambu ini maka hakikatnya yang lebih imperatif bagi penegak hukum adalah visi keadilan.  (80)

—Kuat Puji Prayitno, dosen Fakultas Hukum Unsoed
Wacana Suara Merdeka 21 November 2009