27 November 2009

» Home » Jawa Pos » Menyembelih Sifat Hewaniah

Menyembelih Sifat Hewaniah

MENYEMBELIH ternak kurban merupakan salah satu ritual penting dalam ritus Idul Adha. Ritual kurban itu merujuk pada ritus historis Nabi Ibrahim dan Ismail. Ternak yang dijadikan kurban merupakan simbol tebusan ganti nyawa Ismail yang diberikan Allah. Yaitu, kerelaan Ibrahim melaksanakan perintah Allah untuk menyembelih putra kesayangannya. Juga, kerelaan Ismail mengorbankan jiwanya demi semata-mata memenuhi perintah Allah.

Nabi Ibrahim merupakan bapak para nabi yang menurunkan agama-agama besar yang mampu bertahan hingga kini. Yaitu, Yahudi, Nasrani, dan Islam. Sedangkan Nabi Ismail merupakan kakek moyang Nabi Muhammad SAW yang kemudian memperoleh amanah Allah untuk membawa dan menyebarkan agama Islam. Karena itu, momentum Idul Adha ini sudah selayaknya terus menjadi sarana kontemplasi diri untuk selalu memiliki semangat rela berkurban.

Yang dilakukan Ibrahim dan Ismail merupakan teladan tentang bagaimana semestinya seorang manusia rela menyembelih nafsu hewaniahnya. Sebab, bila nafsu hewaniah tersebut tidak segera disembelih dari ruang kehidupan manusia, bisa dipastikan seluruh manusia terperosok ke dalam jurang kemusnahan. Belumlah layak disebut telah berkurban bila seseorang itu hanya mampu memotong ternak kurban. Sebab, berkurban secara sejati adalah menyembelih nafsu-nafsu hewaniah yang masih bersemayam dalam diri.

Dalam sejarahnya, minimal ada dua ujian berat yang diberikan Allah kepada Ibrahim (dan Ismail). Yaitu, menghadapi kekejaman Raja Namrud tatkala Ibrahim mempertanyakan aspek rasionalitas dari menyembah berhala serta menghadapi setan yang menghalang-halangi Ibrahim dan Ismail untuk memenuhi perintah Allah yang dilewatkan mimpinya.

***

Pada era sekarang, tidak bisa dimungkiri sedang terjadi neo-Namrudism. Yaitu, orang-orang yang sangat angkuh dengan kekuasaan dan kekayaannya, sehingga merasa berhak berbuat apa saja demi memenuhi kesenangannya. Termasuk, mengorbankan sesama yang dipandang berposisi lebih lemah. Para Namrud meletakkan hukum tidak di atas semangat keadilan, tapi di dalam belitan otoriterismenya. Keadilan diinjak-injak demi mementingkan kepuasan nafsu pribadi atau kelompoknya.

Dalam dunia kebinatangan, kita mengenal istilah ''asu gedhe menang kerahe'' (anjing besar menang bertarung) karena yang berlaku adalah hukum rimba. Ironisnya, hukum rimba ini secara nyata digelar untuk menegakkan supremasi hukum di negeri ini.

Orang-orang kecil hampir tidak tersentuh keadilan. Karena itu, orang seperti Mbok Minah yang dianggap mencuri tiga buah kakao harus dihukum agar jera dan tidak mengulangi perbuatannya. Di sisi lain, orang-orang besar yang kenal dekat dengan pusat kekuasaan dengan santai menghadapi proses pengadilan yang tidak pernah ada ujung akhirnya.

Di sisi lain, para iblis dan setan secara kompak berdiri di belakang Namrud dan bekerja keras untuk membungkam mulut-mulut orang kecil yang tertindas. Telinga orang-orang lemah ini dijauhkan dari suara-suara yang sedang berjuang menegakkan keadilan dan mulutnya dibungkam agar suaranya tidak terdengar oleh Tuhan. Bukankah suara kelompok mustadz'afin (orang lemah) ini selalu didengar Tuhan?

Karena itu, momentum Idul Adha ini sesungguhnya momentum bagi para pemegang kekuasaan dan pewaris kekayaan untuk sudi kembali merenung. Ingatlah kembali ketika Siti Hajar dan putranya (Ismail) ditinggal Ibrahim di tengah padang pasir yang sunyi dan terpencil. Beban hidup berat yang ditanggung Hajar dan Ismail dilalui dengan kesabaran serta keyakinan penuh bahwa Allah pasti melindungi.

Dengan rasa haus mendalam ditambah tangisan Ismail, semangat hidup Hajar untuk sekaligus menyelamatkan hidup Ismail mengharuskan dirinya mondar-mandir dari Bukit Shafa ke bukit Marwa sampai tujuh kali demi mencari seteguk air (lambang kehidupan). Sampai akhirnya, ditemukan sumber air yang disebut sumber air Zamzam yang konon merupakan hasil injakan kaki malaikat Jibril.

Hadirnya mata air Zamzam tersebut menarik perhatian para kabilah -di antaranya dari Suku Jurhum- yang lewat untuk membuat kemah. Hadirnya para kabilah yang membuat kemah di sekitar Zamzam sangat menggembirakan Hajar karena telah menghindarkan dirinya dari kesunyian dan kesepian selama ini.

Meski mata air tersebut ditemukan Hajar, dia tidak ingin menguasai sendiri. Dia ingin berbagi rezeki yang datang dari Tuhan untuk membangun kehidupan sosial yang harmonis. Karena itu, alangkah damainya hidup ini manakala para penguasa dan saudagar di negeri ini memanfaatkan kekuasaan dan kekayaannya untuk menegakkan kehidupan sosial yang harmonis sebagaimana yang diajarkan Siti Hajar.

Untuk bisa melakukan itu, kuncinya hanya satu. Yaitu, kerelaan untuk menyembelih nafsu hewaniah. Yakni, nafsu yang ingin selalu memperturutkan keinginan perut dan mengabaikan kebutuhan untuk menyelamatkan hajat, harkat, serta dan martabat bersama.

''Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahanam) kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai hati, tapi tidak digunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tapi) tidak digunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tapi) tidak digunakan untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.'' (QS 7: 179). (*)

*). Abd. Sidiq Notonegoro , pengajar di Universitas Muhammadiyah Gresik
Opini Jawa Pos 27 November 2009