27 November 2009

» Home » Solo Pos » Mencari format pengganti UN

Mencari format pengganti UN

Pelaksanaan Ujian Nasional (UN) mesti dikaji kembali secara serius dan seksama. Meskipun pemerintah masih punya celah hukum dengan jalan mengajukan peninjauan kembali (PK) atas putusan MA soal UN, tetapi secara moral di mata publik, kebijakan itu telah runtuh.

Karena putusan kasasi Mahkamah Agung (MA), 25 November lalu, justru semakin menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (21 Mei 2007) dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tertanggal 6 Desember 2007 yang menolak permohonan pemerintah.


Sayangnya, pemerintah mengabaikan kasasi MA ataupun putusan pengadilan dan terus melaksanakan UN sesuai rencana semula. Alasannya, meminjam perkataan Mendiknas Mohammad Nuh, karena persiapan pemerintah untuk pelaksanaan UN mendatang sudah matang, jadwalnya telah ditentukan dan anggarannya pun telah dialokasikan. Akan tetapi, alasan itu tetap sulit diterima logika publik maupun akal sehat. Bagaimana mungkin sebuah aktivitas pendidikan yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dilakukan dengan jalan melanggar hukum?
Dalam situasi demikian, amat tidak bijak bila pemerintah bersikeras menyelenggarakan UN. Mematok nilai minimal kelulusan secara nasional dan siswa yang tidak memenuhi patokan minimal harus mengulanginya lagi. Akan lebih bijaksana bila pemerintah mengindahkan putusan kasasi MA, dan mendengarkan sekali lagi suara-suara publik yang bersikap kritis terhadap UN. Perlu dicari format penilaian baru yang bisa jadi bersifat nasional tetapi dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi daerah yang amat beragam.
Salah satu dalih pemerintah tetap menyelenggarakan UN adalah untuk memetakan mutu program dan kualitas satuan pendidikan di wilayah Indonesia. Kalau masalah ini yang menjadi alasan, pelaksanaan UN satu atau dua kali saja sudah cukup untuk menggambarkan peta situasi pendidikan yang nyata. Kalau sudah berkali-kali dilakukan UN, tetapi peta mutu program dan kualitas satuan pendidikan tidak kunjung rampung, jelas akan memunculkan tanda tanya besar. Jangan-jangan tujuan UN untuk memetakan mutu pendidikan hanya retorika.
Di lapangan, UN melahirkan efek domino yang berpotensi mendangkalkan esensi pendidikan. Siswa kelas IX dan XII selama satu tahun praktis hanya belajar mata pelajaran yang dujikan dan berlatih menjawab soal-soal latihan UN tahun lalu dan prediksi soal yang akan keluar pada UN mendatang. Merasa tidak cukup dengan jam tambahan sekolah, mereka berbondong-bondong mengikuti bimbingan belajar selepas jam sekolah hingga larut malam. Maka, tidak aneh, siswa mengalami depresi berat karena harus menanggung beban berat.
Dalam hal ini, sekolah tidak ubahnya seperti bimbingan belajar. Fungsi sekolah untuk mencerdaskan anak bangsa yang mampu menjawab persoalan-persoalan kehidupan nyata, kemudian dipreteli sedemikian rupa menjadi bimbingan belajar. Siswa berbulan-bulan hanya dilatih untuk mahir menjawab soal-soal UN, bukan menjawab persoalan kehidupan.
Tidak berhenti di situ, orangtua juga ikut merasa waswas kalau anaknya tidak lulus UN. Sekolah juga memiliki tim sukses yang bertugas membantu kelancaran program sekolah sehingga anak-anak bisa meraih hasil optimal. Ada juga tim sukses yang mencoba menerabas lewat jalur belakang dengan cara mencari kunci jawaban.
UN bukan hanya urusan siswa, guru, ataupun orangtua, tetapi juga merembes ke kursi kekuasaan, tepatnya walikota atau bupati. Bupati dan walikota mempunyai kepentingan agar nilai UN di wilayahnya masuk kategori baik. Mereka akan malu bila nilai UN anjlok. Oleh karena itu, mereka akan berusaha sekuat tenaga untuk mengamankan nilai UN agar tidak mencoreng nama baik daerahnya. Ungkapan “mengamankan nilai UN” akan diterjemahkan sedemikian rupa di lapangan sehingga nilai rata-rata UN mencapai nilai tinggi.
Demikianlah anatomi permasalahan UN di lapangan: begitu rumit dan amat kompleks. UN bukan sekedar alat evaluasi pendidikan, tetapi telah menjelma menjadi momok yang begitu menakutkan bagi siswa, guru, orangtua dan pejabat daerah. Oleh sebab itu, berbagai penyimpangan yang selalu muncul mengiringi setiap pelaksanaan UN menjadi sulit dielakkan. Kebocoran soal, munculnya kunci jawaban, kecurangan pengawas dan lain-lain menjadi pemandangan yang lumrah. Dan, bila tidak ada upaya serius untuk meninjau ulang keberadaan UN, sepertinya panorama ini belum akan lenyap pada pelaksanaan UN di masa mendatang.

Model UASBN
Mempertimbangkan uraian di muka, tampaknya pengkajian ulang UN menjadi suatu keniscayaan. Secara hukum, meskipun masih ada peluang PK, dengan ditolaknya kasasi MA menunjukkan bahwa pelaksanaan UN tidak memiliki legitimasi yang kuat alias rapuh. Pelaksanaan UN bisa dikatakan cacat hukum.
Merujuk pada Permendiknas No 20/2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan disebutkan ada tiga pihak yang berwenang melakukan penilaian, yaitu guru, satuan pendidikan (sekolah) dan pemerintah melalui UN. Selanjutnya pada huruf G No 1 dikatakan bahwa “penilaian hasil belajar oleh pemerintah dilakukan dalam bentuk UN yang bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi”.
Pemahaman teks tersebut cenderung bersifat tekstual, kaku dan tidak utuh. Seolah penilaian pemerintah dalam bentuk UN berdiri sendiri, tidak terkait dengan penilai lain (sekolah dan guru).
Ketika masyarakat sudah semakin cerdas dan kritis, tentu tidak produktif jika pemerintah memaksakan kehendak untuk tetap melaksanakan UN. Pemerintah harus membaca teks Permendiknas secara kontekstual, luwes dan utuh sehingga bisa ditemukan tali-temali dan pesan esensial model evaluasi pendidikan yang ideal.
Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) untuk SD/MI bisa dijadikan model UN masa depan. Sebab, UASBN lebih mendekati semangat desentralisasi pendidikan yang merangkul keragaman mutu pendidikan tiap daerah dan satuan pendidikan tanpa mengurangi bobot nasionalnya.
Pada prinsipnya UASBN menghargai satuan pendidikan dalam bentuk pemberian wewenang seluas-luasnya untuk menentukan Standar Kelulusan Minimal (SKM). Penentuan SKM setiap sekolah berlainan sesuai dengan kondisi sekolah. Ada yang SKM-nya mencapi 8, tetapi tidak sedikit yang hanya mematok SKM 3. UASBN tidak digunakan untuk menentukan kelulusan siswa, masih ada Ujian Akhir Sekolah (UAS).
Perbedaan daerah juga dihargai. Soal UASBN 40% berasal dari pusat dan 60% dibuat sendiri oleh masing-masing provinsi. Daerah dilibatkan secara aktif dalam proses pembuatan soal. Dengan demikian, ujiannya tetap berstandar nasional tetapi mampu merangkul keragaman potensi daerah dan satuan pendidikan. Cara ini jauh lebih demokratis dan manusiawi ketimbang UN. Oleh karena itu, penolakan kasasi MA adalah momentum yang berharga untuk mengkaji kembali keberadaan UN sebagai alat penilaian pendidikan. Dan, model implementasi UASBN layak dipertimbangkan sebagai salah satu alternatif yang paling mungkin. -

Oleh : Mohamad Ali MPd, Kepala SD Muhammadiyah Program Khusus Kottabarat Solo
Opini  Jawa Pos 28 November 2009