06 November 2009

» Home » Kompas » Gempa Politik

Gempa Politik

Menakjubkan bagaimana masalah hukum bisa lepas kendali hingga merajalela menjadi gempa politik seperti kasus Dreyfus di Perancis, Sacco-Vanzetti di Amerika Serikat, Aung San Suu Kyi di Myanmar, dan Bibit- Chandra di Indonesia.
Gempa politik akibat penahanan dua Wakil Ketua (nonaktif) KPK oleh Polri mendominasi pemberitaan, memicu polemik, menyulut gerakan kekuatan rakyat dari demo, menghimpun dukungan lewat internet, sampai menggagas Hari Berkabung Nasional yang menggelisahkan presiden.


Semua manusia mendambakan keadilan sebagai unsur hakiki peradaban dan kebudayaan adiluhur. Namun, keadilan dalam makna sempurna—benar-benar adil—memang sulit bahkan mustahil dihadirkan. Makna keadilan itu sendiri nisbi sambil tak pernah jelas mengenal batasan pemilah antara yang dianggap adil dan yang tidak adil.
Bahkan sampai titik tertentu, apa yang disebut kehidupan ini sendiri, dapat ditafsirkan tidak adil bagi yang merasa dirinya diperlakukan tidak adil maupun yang sekadar menonton lalu menafsir tontonannya sebagai tidak adil. Kita semua pasti memiliki contoh yang siap ditafsirkan sebagai adil atau tidak adil.
Keadilan makin parah di lembaga yang disebut peradilan apalagi pengadilan. Selama peradilan dan pengadilan diserahkan pada pertimbangan kebijaksanaan manusia, maka unsur-unsur subyektif, seperti opini, selera, keyakinan, etika, moral, dan akhlak, langsung berperan mempersulit perjalanan menuju keadilan. Lebih parah lagi, unsur-unsur subyektif itu bukan saja memengaruhi pelaku peradilan, tetapi juga mereka yang diadili maupun masyarakat yang mengamati sikap dan perilaku para pelaku peradilan dan pengadilan.
Kemelut suasana serba tidak adil senantiasa bahkan niscaya menghantui suasana peradilan dan pengadilan. Maka, keputusan hakim harus dipaksakan secara dogmatis sebagai keputusan yang teradil dari sekian banyak ketidakadilan tanpa bisa diganggu gugat meski atau justru karena keputusan hakim dibuat berdasarkan suara nurani sang hakim yang biar bagaimanapun lebih subyektif ketimbang obyektif.
Celakanya dalam sistem peradilan, pemutlakan kebenaran keputusan final hanya dipersembahkan kepada hakim, sementara kerabat-pelaku lain, seperti polisi, jaksa, dan pembela, tak punya perlindungan pemutlakan kebenaran apa pun. Tak mengherankan jika polisi, jaksa, dan pembela harus selalu siap menjadi bulan-bulanan sasaran tuduhan tidak adil.
Maka, meski Polri benar-benar yakin penangkapan dua Wakil Ketua (nonaktif) KPK adalah benar sesuai prosedur hukum, Polri harus siap menghadapi hujan kritik dan badai tuduhan tindakan penahanan itu dinilai tidak adil bahkan sewenang-wenang!
Polisi
Di sejumlah negara—kecuali mungkin Inggris—polisi selalu menjadi obyek curiga, cemooh, dan caci maki masyarakat. Film produksi Hollywood dan Bollywood gemar menokohkan polisi sebagai penjahat, penipu, pengorup, penganiaya, atau ibarat tokoh pada wayang kulit selalu ditancapkan di sisi kiri dalang. Polisi yang baik pun, seperti Dirty Harry, selalu tampil bengis, kejam, tak kenal ampun, dan gemar melanggar prosedur. Gelar sheriff bahkan sejak zaman Robin Hood sampai zaman Barack Obama lebih berkonotasi ejekan sinis ketimbang pujian terhadap profesi yang sebenarnya amat penting sebagai penjaga keamanan dan pelindung masyarakat dari ancaman berbagai marabahaya.
Di Jerman pada masa merebaknya gerakan demo mahasiswa mengikuti jejak Perancis, polisi dijuluki bulle alias sapi jantan yang tampak perkasa, tetapi hanya mampu mengembangbiaki betina dan memamah biak.
Sebenarnya persepsi berdasarkan prasangka buruk itu tak adil sebab ada polisi yang brengsek, tetapi bukan berarti semua polisi brengsek. Memukul rata memang lebih mudah dan nyaman ketimbang repot memilah, memilih, lalu memisahkan yang brengsek dari yang tidak.
Terlepas dari prasangka negatif terhadap polisi, pada hakikatnya kondisi kasus Bibit-Chandra belum separah Dreyfus, Sacco-Vanzetti, atau Aung San Suu Kyi. Masalah yang dihebohkan masih berkutat pada tahap penahanan. Alasan penahanan sebenarnya sederhana, mencegah dua Wakil Ketua (nonaktif) KPK melarikan diri yang sebenarnya sudah dijamin banyak tokoh (sampai calon dan mantan presiden) yang jaminannya layak dipercaya. Dengan sedikit kerelaan mengorbankan apa yang disebut sebagai kewibawaan, sebenarnya Polri tidak perlu khawatir apalagi malu untuk melepas Bibit- Chandra dari tahanan.
Semula Polri bersikeras melanjutkan penahanan. Konsekuensinya, memberi kesempatan gerakan pro-Bibit-Chandra dan kontra Polri terus membengkak, hingga presiden perlu membentuk tim khusus untuk menangani kasus hukum yang sudah lepas kendali merangsek masuk teritorial politik.
Syukurlah, setelah rekaman dugaan rekayasa diputar di Mahkamah Konstitusi, Polri mengabulkan penangguhan penahanan Bibit-Chandra. Maka (untuk sementara), gempa politik berlalu.
Jaya Suprana Budayawan

Opini Kompas 7 November 2009