22 Desember 2011

» Home » 23 Desember 2011 » Opini » Suara Merdeka » Tanah dalam Ketahanan Pangan

Tanah dalam Ketahanan Pangan

MENJELANG akhir 2011 Provinsi Jawa Tengah mendapat kado istimewa dari pemerintah, yaitu penghargaan mengenai ketahanan pangan Adhi Karya Pangan Nusantara 2011. Dalam lima tahun terakhir provinsi ini meraih penghargaan prestisius antara lain untuk pengembangan ketahanan pangan tingkat nasional, ketahanan pangan kategori pembina tingkat kabupaten tahun 2004 untuk Bupati Sragen, ketahanan pangan tingkat nasional untuk Tim Penggerak PKK Karang Klesem Kecamatan Kutasari Kabupaten Purbalingga dan Kelompok Lumbung Pangan Mardi Makmur Kalimandi Kecamatan Purwareja Kabupaten Banjarnegara, serta penghargaan untuk pengembangan pangan lokal dan makanan tradisional tingkat nasional.

Tatkala menyerahkan Adhi Karya Pangan Nusantara pada 6 Desember 2011, Presiden SBY kembali berpesan agar tidak ada lagi alih fungsi lahan pertanian menjadi nonpertanian sehingga ketersediaan lahan dapat mendukung penciptaan ketahanan pangan. Kepala Negara juga mengingatkan, selain mengawasi dan mengendalikan lahan pertanian agar tidak berubah fungsi, juga perlu mengupayakan peningkatan produktivitas hasil pertanian.

Laksana hantu yang menakutkan, alih fungsi tanah pertanian merupakan ancaman bagi pencapaian kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan karena punya implikasi serius terhadap produksi pangan, lingkungan fisik, dan kesejahteraan masyarakat pedesaan yang kehidupannya bergantung pada tanah. Ketersediaan tanah untuk usaha pertanian merupakan keharusan demi mewujudkan peran sektor pertanian secara berkelanjutan, terutama mewujudkan kedaulatan pangan secara nasional.

Di Jawa, alih fungsi tanah pertanian ke penggunaan nonpertanian tercatat 100 ribu ha/ tahun (Kompas.com, 04/11/11). Badan Ketahanan Pangan Nasional menyebutkan tahun 2009 saja ada 110 ribu ha sawah beralih fungsi. Survei Kementerian Pertanian menyatakan pada 2007-2009 di Jawa terjadi alih fungsi lahan pertanian (sawah) seluas 600 ribu ha, atau per tahun rata-rata 200 ribu ha. Untuk tingkat nasional tercatat luas komulatif lahan sawah yang beralih fungsi 1,6 juta ha atau rata-rata 81.376 ha/ tahun.

Khusus di Jateng, luas tanah pertanian yang beralih fungsi ke penggunaan nonpertanian
berkisar 2.000-2.500 ha/ tahun (Kompas, 19/10/11). Data BPS Provinsi Jawa Tengah tahun 2009 menyebutkan luas sawah di provinsi ini 990.652 ha. Dengan kisaran alih fungsi lahan sawah 2.500 ha/ tahun dan produktivitas padi 5,506 ton/ ha/ panen maka wilayah ini akan kehilangan produksi padi per tahun 2.500 x 5,506 ton x 2 (2 kali panen per tahun) = 27.530 ton padi/ tahun. Angka yang cukup signifikan.

Kemerebakan alih fungsi tanah pertanian ke nonpertanian di provinsi ini direspons serius oleh Gubernur Bibit Waluyo dengan terus mengingatkan jajaran pemkab/ pemkot dan BPN Provinsi Jawa Tengah agar menyelamatkan lahan pertanian. Gubernur Jateng bahkan mengancam memidanakan pejabat yang mengeluarkan perizinan alih fungsi tanah pertanian pangan yang tidak sesuai dengan RTRW.

Kanwil BPN Provinsi Jawa Tengah mencatat, tahun 2003-2010 luas lahan pertanian pangan yang atas izin bupati/ wali kota beralih fungsi ke penggunaan lain mencapai 5.055 ha.

Legitimasi itu diberikan melalui izin lokasi, izin perubahan penggunaan tanah, dan izin penetapan lokasi. Memang ada iktikad baik dengan menerbitkan peraturan yang lebih kuat, guna lebih mengendalikan alih fungsi tanah pertanian melalui UU dan peraturan pemerintah.

Misalnya, UU Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Seharusnya dua regulasi tersebut membawa angin segar bagi upaya pengendalian alih fungsi tanah pertanian, tetapi faktanya hingga saat ini pelaksanaan di lapangan belum berjalan efektif.

Penulis melihat ada beberapa persoalan mendasar yang menyebabkan kurang efektifnya instrumen hukum itu untuk mencegah alih fungsi tanah pertanian. Pertama; kebijakan yang kontradiktif, artinya di satu pihak pemerintah berupaya melarang alih fungsi tanah, tetapi di sisi lain kebijakan pertumbuhan industri/ manufaktur dan sektor nonpertanian lainnya mendorong terjadinya alih fungsi tanah pertanian.

Kedua; peraturan yang ada cenderung bersifat imbauan dan tidak mencantumkan sanksi tegas bagi pihak yang melanggar. Ketiga; rendahnya keterlibatan semua pemangku kepentingan dalam proses penyusunan dan impelementasi kebijakan. Keikutsertaan berbagai instansi pada proses penyusunan RTRW rendah, pada umumnya mereka hanya menerima hasil akhir dari penyusunan RTRW yang disusun Bappeda dan konsultan.

Keempat; banyak RTRW yang justru merencanakan mengalihfungsikan sawah beririgasi teknis menjadi lahan nonpertanian. Kelima; tidak adanya lembaga yang memantau jika terjadi alih fungsi tanah pertanian yang tidak sesuai dengan peraturan. Keenam; sulit menelusuri lembaga yang paling bertanggung jawab untuk ditindak karena izin alih fungsi tanah adalah keputusan kolektif berbagai instansi. Ketujuh; terbatasnya peta penggunaan tanah skala besar yang dapat digunakan untuk perencanaan tanah pertanian yang akan dipertahankan.

Konversi tanah pertanian kian menghawatirkan dengan intensitas yang makin meningkat pula. Tingginya konversi tanah pertanian itu umumnya dipakai untuk kepentingan di luar pertanian, seperti membangun jalan tol, industri, perumahan, pusat perbelanjaan, dan fasilitas umum lainnya. Sawah-sawah produktif dikonversi untuk penggunaan nonpertanian. Penyelamatan tanah pertanian sangat mendesak dilakukan karena jika luas sawah terus menyusut hal itu dikhawatirkan bisa mengancam swasembada pangan.

Upaya pemerintah mengendalikan alih fungsi tanah pertanian telah dilakukan sejak 1990-an, dengan mengeluarkan keppres, permen, surat edaran menteri/ kepala BPN/ Bappenas, serta instruksi dan keputusan gubernur yang melarang alih fungsi sawah ke penggunaan nonsawah. Fakta di lapangan, pendekatan yuridis oleh pemerintah belum efektif dan regulasi itu laksana dokumen tidur yang tidak berdaya. Termasuk tatkala pemerintah berupaya lebih keras menyelamatkan tanah pertanian dengan menerbitkan payung hukum lebih kuat, yaitu UU Nomor 41 Tahun 2009.

Alih fungsi tanah pertanian merupakan persoalan rumit sehingga agar pengendaliannya efektif maka selain pendekatan yuridis dengan instrumen hukum perlu melakukan pendekatan ekonomi (kebijakan harga, asuransi pertanian,
keringanan pajak tanah sawah, pengembangan infrastruktur dan bantuan pengembangan teknologi) secara simultan sehingga penguatan terhadap jaring pengaman ketahanan pangan di Jawa Tengah bisa mengejawantah. (10)
— Ir Doddy Imron Cholid MS, Kakanwil Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Jawa Timur, dipaparkan pada Seminar Nasional dan Kongres X Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI) di Surakarta

Opini, Suara Merdeka, 23 Desember 2011,