22 Desember 2011

» Home » 23 Desember 2011 » Opini » Suara Merdeka » Perilaku ala Geng Cokor

Perilaku ala Geng Cokor

KENAKALAN sekelompok remaja yang menamakan diri Geng Cokor, mengundang keprihatinan banyak pihak. Lima anggota geng itu ditangkap petugas Reskrim Polsek Semarang Barat karena menganiaya serta merampas motor dan ponsel milik Dewi Larasati (19), warga Kabupaten Semarang, di belakang SPBU Jalan KH Abdurahman Saleh Semarang pada Selasa (29/11/11). Aksi mereka dipicu oleh ketersinggungan atas teguran terhadap salah satu anggota geng itu.

Geng (kadang ada kelompok yang menuliskan dengan genk) adalah sebutan yang biasa disematkan terhadap sekelompok anak muda (remaja), namun dengan konotasi yang cenderung negatif terkait dengan aktivitas yang kurang tepat, bahkan cenderung meresahkan dan merugikan masyarakat. Apakah remaja selalu cenderung mendapatkan label atau stigma negatif?

Masa remaja adalah periode kehidupan dimulai dari fase kanak-kanak usai, yakni usia 13-14 tahun, dan diakhiri ketika individu memasuki masa dewasa, sekitar usia 17-18 tahun. Periode peralihan itu ditandai antara lain oleh penolakan disebut anak-anak (kecil). Namun sejatinya mereka belum bisa dikatakan pribadi dewasa karena perilakunya belum mencerminkan orang dewasa. Masyarakat biasa menyebutnya usia tanggung.

Pada masa remaja, selain terjadi perubahan fisik yang ditandai dengan berkembangnya fungsi seksual, terjadi juga perkembangan mental yang ditandai dengan kondisi emosi yang meledak-ledak dan kurang stabil. Mereka cenderung ingin menang sendiri, sulit diatasi, dan diajak kompromi sehingga secara umum publik mengatakan bahwa masa remaja adalah masa sulit diatur.

Minat remaja untuk berkelompok dengan teman sebayanya sebenarnya wajar dan sah-sah saja. Justru kelompok (peer) itu bisa menjadi media untuk melatih keterampilan sosialnya. Di dalam kelompok mereka mendapat kesempatan berbagi, bekerja sama, bahkan mengelola konflik atau pertentangan. Keberhasilan melatih keterampilan sosial itu akan memberikan manfaat dan landasan untuk tumbuh menjadi pribadi dewasa.

Melalui kelompok pula, remaja dapat belajar berempati dan mengembangkan rasa solidaritas. Bahkan bila kelompok itu solid, anggotanya akan saling mengidentifikasi melalui simbol-simbol yang mereka jadikan ciri kelompok, seperti pakaian dan aksesoris, sebutan, nilai, dan gaya hidup lainnya. Pengidentifikasian diri terhadap kelompok ini secara eksternal tercermin dalam solidaritas dan rasa senasib sepenanggungan terhadap sesama anggota.

Fondasi Keluarga

Mereka mencoba merasakan suka dan duka bersama-sama, seperti halnya ditunjukkan oleh anggota Geng Cokor, yakni mengeroyok seseorang dengan mendasarkan pada alasan rasa setia kawan. Kekompakan ini kadang menutup kemauan mereka menerima masukan dari luar, sekalipun dari keluarga. Lantas bagaimana caranya agar anak usia belasan tahun bisa melewati masa remajanya dengan aman?

Dalam era serbaterbuka, hampir semua hal bisa diakses melalui dunia maya, ada banyak pilihan minat dan aktivitas untuk dilakukan siapa saja. Karena itu, yang perlu diperhatikan bagi remaja adalah teman atau kelompok aktivitas apa yang mereka pilih. Hal ini penting mengingat bila salah memilih teman dan kelompok, remaja bisa terjebak dalam aktivitas yang kurang terarah.

Keberhasilan mengarahkan minat dan aktivitas, tidak hanya tanggung jawab remaja sendiri. Sebagai fondasi, keluarga menjadi peletak dasar bagi segala aktivitas mereka, termasuk aktivitas di luar rumah.
Kemampuan orang tua memahami minat dan kemauan anak melalui komunikasi yang hangat, penghargaan, dan kasih sayang bisa menjadi landasan kokoh pada saat anak mulai menapaki masa remaja dan meluaskan lingkup pergaulannya. Dengan pola itu, tatkala anak (remaja) menjumpai permasalahan di luar, mereka cenderung kembali ke keluarga untuk mendiskusikannya.

Perkembangan positif remaja pun tidak lepas dari peran sekolah, sebagai rumah kedua. Berbagai kegiatan ekstrakurikuler bisa menjadi sarana untuk menyalurkan minat, bakat, dan kemampuan.
Sekolah melalui guru kelas serta guru bimbingan dan konseling dapat menjadi media bagi remaja untuk mengonsultasikan segala aktivitasnya, baik aktivitas akademik maupun nonakademik. (10)

— L Rini Sugiarti SPsi MSi, dosen Fakultas Psikologi Universitas Semarang
Opini, Suara Merdeka, 23 Desember 2011