22 Desember 2011

» Home » 22 Desember 2011 » Opini » Suara Merdeka » Manuver Kebijakan PSSI

Manuver Kebijakan PSSI

MASIH lekat di ingatan kita tentang bagaimana Syahrini dan Jambul Khatulistiwanya menjadi fenomena media akhir November lalu, terutama dalam kaitannya dengan kedatangan ikon sepak bola dunia David Beckham dengan klubnya LA Galaxy untuk sebuah pertandingan persahabatan melawan Indonesian Selection. Dalam pertandingan di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) Jakarta terlihat jelas animo masyarakat Indonesia terhadap cabang olahraga ini cukup besar walaupun laga tersebut berakhir dengan kekalahan tim Indonesia dengan skor 1-0.

Secara statistik, di negara yang menyumbang 4 persen populasi dunia ini, sepak bola memiliki superioritas di hati pecinta olahraga sehingga tak heran jika banyak atensi pemerintah dicurahkan ke lapangan hijau. Ironisnya, sepak bola yang seharusnya menjadi kebanggaan seluruh lapisan masyarakat ternyata gagal untuk bersinar, bahkan di level Asia.

Lebih parah lagi, di tengah stagnasi prestasi Tim Garuda, PSSI kembali terbelit dengan repetisi pergolakan pada semester awal 2011. Setelah sempat memasuki masa-masa mencekam di bawah ultimatum FIFA yang berujung pada reformasi Solo awal Juli lalu, badai tak sedap kembali menerpa.

Beberapa waktu yang lalu, Komisi Disiplin (Komdis) PSSI dipimpin Bernhard Limbong dan Catur Agus Saptono mengeluarkan sederetan sanksi dan larangan krusial menyangkut perseteruan dalam dualisme kompetisi persepakbolaan Indonesia.

Dalam putusan tersebut, PSSI, di bawah komando Djohar Arifin Husein, memandatkan pengelolaan kompetisi sah versi PSSI, Liga Prima Indonesia (LPI) dan Divisi Utama, kepada PT LPIS pimpinan Widjajanto. Keputusan itu secara tak langsung menempatkan Indonesian Super League (ISL) dan Divisi Utama versi PT LI pimpinan Herbiansyah Hanafiah & Syahriel Taher dalam status liga ’’bawah tangan’’ dan sudah seharusnya mendapatkan sanksi.

Jika awalnya perseteruan hanya sekadar timbul tenggelam dan berupa wacana di kalangan elite publik sepakbola dalam negeri, kini aroma perpecahan mulai merambat ke hampir semua aspek persepakbolaan nasional. Dualisme kompetisi di Indonesia mulai menelan korban di level klub. Menyusul keputusan PSSI, sanksi diberikan kepada 8 kesebelasan pembelot atas keikutsertaan mereka di LPI.

Sanksi yang seharusnya berfungsi sebagai media untuk mendisiplinkan oleh beberapa pihak dinilai sebagai intensi mematikan potensi klub, seperti dialami Persib Bandung. Setelah ’’membantu menyelamatkan’’ PSSI dari ancaman sanksi FIFA dengan melakoni laga pembuka IPL lalu, Maung Bandung dikenai Statuta PSSI Pasal 57 (1) & (2) jo. Pasal 32 dan 23.

Selain didiskualifikasi dari LPI musim ini, didegredasi musim depan, dituntut untuk mengembalikan kontribusi LPIS, dilarang melakukan transfer pemain, Persib Bandung juga didenda Rp 1 miliar, lipat dua denda bagi 7 klub lainnya.

Yang terjadi pada Persib semacam menjadi peringatan dini pada klub-klub mapan di Indonesia seperti Persija Jakarta dan Arema Malang. Banyak klub papan atas mulai bergeming dan mengalami konflik internal yang terpaksa melibatkan mereka dalam perpecahan kongsi demi memilih kompetisi yang dikehendaki masing-masing kubu.

Pergolakan di tubuh PSSI ini juga menggagalkan partisipasi Persipura mewakili Indonesia di kancah Liga Champions Asia (LCA), sebagaimana ditegaskan dalam laman situs FIFA yang hanya mencantumkan klasemen LPI dengan 13 klub —minus Persipura— sebagai kompetisi yang diakui.

Sarat Manuver

Keputusan Komdis PSSI juga berimbas pada tataran individu atau kepengurusan dalam struktur klub yang ada. PSSI mendenda dan melarang komisaris dan direktur PT LI untuk berkiprah di dunia sepak bola tiga tahun ke depan, melarang pemain dan pelatih yang berkiprah di kompetisi nonresmi untuk mengisi jajaran timnas (Statuta FIFA Pasal 79), serta bersiap pula untuk menginvestigasi ofisial pertandingan yang terlibat di ISL.

Rangkaian konsekuensi tersebut menghadirkan ancaman serius terhadap kelangsungan timnas di level senior ataupun junior karena sekitar 80 persen punggawanya berlaga di kompetisi PT LI.

Rahmad Darmawan (RD) selaku mantan Head Coach Timnas U-23 pernah mempertanyakan pelarangan bergabungnya pemain yang berkompetisi di ISL. Disampaikan lebih lanjut oleh RD, pemain tidak pantas dipersalahkan karena afiliasi mereka dengan klub tertentu adalah bentuk profesionalisme.

Dengan mundurnya RD dari jabatannya di timnas, publik mulai bertanya-tanya siapa yang akan menyuarakan aspirasi masyarakat ke PSSI yang terkesan teguh dengan pendiriannya. Jika memang demikian, mungkin sekarang saatnya PSSI merefleksikan kebijakan persepakbolaan di negeri ini yang terkesan aneh karena terlihat makin seperti manuver politik dan bisnis.

LPI yang disponsori Arifin Panigoro, yang pernah diharamkan pada era Nurdin, justru menjadi acuan utama saat ini, terlepas dari absennya klub-klub elite yang justru berlaga di ‘’kompetisi sebelah’’.

Pro dan kontra pun mulai bermunculan. Selain perang spanduk dukungan kompetisi oleh suporter yang tersorot dalam tayangan live pertandingan dan pernyataan sikap Indonesia Football Watch, Pengprov PSSI Jatim juga tengah ancang-ancang menyelenggarakan KLB (lagi!).

Parahnya, isu ini naik ke permukaan di pengujung 2011 dan pascaeuforia Tim Garuda Muda di SEA Games XXVI; yang walaupun gagal di final tetap membanggakan KITA. Berkaca pada akhir masa kepemimpinan Nurdin, ada kemungkinan besar reformasi di tubuh PSSI bakal terulang karena ternyata representatif masyarakat di tingkat nasional gagal menyuarakan pikiran dan harapan rakyat.

Inikah potret persepakbolaan kita, yang miskin pencapaian tapi kaya oleh intrik? Ekspektasi publik untuk melihat Merah Putih berkibar di ajang sepak bola internasional kelihatannya masih cukup jauh dari asa. Bukankah sepak bola adalah bentuk seni dan olahraga untuk dinikmati? Bukan serangkaian debat argumentif tanpa titik temu. Kita harusnya malu, sebagai bangsa yang terpelajar, untuk tetap mempergunjingkan ini. (10)


Mikael Dian Teguh PP, mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, narasumber SBS Network Australia untuk forum sepak bola
Opini, Suara Merdeka, 22 Desember 2011