22 Desember 2011

» Home » 23 Desember 2011 » Opini » Suara Merdeka » Membumikan Hari Ibu

Membumikan Hari Ibu

TIDAKLAH salah jika setiap peringatan Hari Ibu, 22 Desember, senantiasa diwarnai dengan berbagai seremoni sebagai bentuk penghargaan sekaligus momentum untuk mengingatkan kembali peran ibu yang demikian besar dalam berbagai dimensi.

Peringatan Hari Ibu berangkat dari 22 Desember 1928, saat Kongres Perempuan pertama di Indonesia diselenggarakan. Momentum peringatan ini diharapkan akan membawa dampak bagi sikap dan mental anak bangsa untuk terus menghargai ibu dan menempatkannya sebagai bagian penting dalam kehidupan.

Dalam agama mana pun, ibu merupakan sosok yang memperoleh tempat terhormat. Islam, misalnya, di sejumlah ayat dalam Alquran dijelaskan peran ibu dan kewajiban umat untuk berbakti. Demikian halnya dalam salah satu hadis Rasul menjelaskan ibu sebagai orang yang harus paling dihormati. Rasul menyebutnya hingga tiga kali, baru kemudian sang ayah.

Secara sosiologis, ibu memiliki peran yang sangat besar dalam membangun peradaban masyarakat. Peradaban masyarakat terbentuk dari budaya keluarga. Di sanalah, ibu memiliki peran yang sangat strategis. Dalam lingkup keluarga, ibu sebagai sosok yang melahirkan, mendidik, dan membimbing. Seorang ibu adalah sosok yang berkorban tanpa pamrih. Peran ibu tidak dapat tergantikan. Ibulah yang melahirkan dan menyusui. Tidaklah mengherankan jika kemudian ibu mampu menentukan karakter dan menanamkan nilai-nilai pengorbanan bagi sang anak dan menjadi dorongan bagi sang suami dalam segala aktivitasnya.

Ibu yang cerdas akan melahirkan anak yang pintar dan keluarga yang terdirik yang kemudian akan mampu membangun masyarakat yang bermartabat. Atas dasar itulah, sungguh tepat jika kemudian ibu menjadi sosok penting yang akan menentukan maju mundurnya sebuah bangsa, sebab bangsa yang besar berangkat dari masyarakat maju yang terbangun atas keluarga-keluarga yang baik.

Kewajiban Anak

Dalam dimensi kekeluargaan, membalas kasih ibu merupakan kewajiban bagi sang anak. Anak yang hanya bisa memberikan cinta, perhatian, hormat dan doa kepada ibu tidak akan mampu untuk membalas pengorbanan yang telah ibu berikan bagi masa depan anak-anaknya. Meskipun ibu telah wafat, masih menjadi kewajiban bagi sang anak untuk mendoakannya sebagai bentuk pengabdian. Apalagi jika melihat perkembangan sosial saat ini, di mana peran ibu tidak sekadar dalam ranah domestik namun juga pada saat yang sama ibu juga mampu berperan dalam ranah publik, sehingga beban kerja ibu semakin besar.

Di wilayah pesisir pedalaman, misalnya, menunjukkan bagaimana sosok ibu di kalangan nelayan dan petani memiliki jam kerja yang jauh lebih tinggi dibandingkan suami. Ibu dituntut tidak saja mengelola rumah tangga, namun juga menjadi bagian penting keluarga dalam memperoleh penghasilan. Jam kerja ibu mulai dari jam empat pagi menyiapkan sarapan, bersih-bersih rumah hingga jam sembilan malam menidurkan anak. Di siang hari, sang ibu juga harus bekerja. Kondisi inilah yang kemudian menghadirkan persoalan bagi seorang ibu, yang memerlukan penanganan melalui kebijakan yang tepat.

Sejumlah persoalan tersebut di antaranya adalah angka kematian ibu (AKI) masih menunjukkan tingkat yang cukup tinggi. Di Jawa Tengah misalnya, AKI pada tahun 2010 mencapai 104,97 per 100.000 kelahiran hidup. Selain itu masih tingginya angka buta huruf di kalangan ibu. Sementara itu, kekerasan yang dialami oleh ibu dalam rumah tangga tercatat 1.239 kasus di Jawa Tengah pada tahun 2009.

Rentetan persoalan tersebut membutuhkan kebijakan yang konsisten agar dapat terselesaikan secara efektif. Demikian halnya dengan tingginya angka putus sekolah di kalangan anak perempuan usia sekolah. Merekalah nantinya yang akan menjadi ibu dan mengasuh sang anak.

Mencerdaskan perempuan sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan ibu dan membangun masyarakat maju perlu memperoleh prioritas kebijakan. Selamat Hari Ibu. (24)

— Hj Novita Wijayanti SE MM, Ketua Komisi C DPRD Jawa Tengah/Ketua DPD KNPI Jawa Tengah.
Opini, Suara Merdeka, 23 Desember 2011,