18 Oktober 2010

» Home » Kompas » Feminisasi Bangsa

Feminisasi Bangsa

Beragam kritik dan kekecewaan muncul menanggapi isi pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait hubungan Indonesia-Malaysia yang disampaikan di Markas TNI, Cilangkap, 1 September 2010.
Kalangan akademisi menyayangkan ketakberpihakan pidato SBY terhadap kepentingan bangsa Indonesia dan ketaktegasannya untuk tak hanya mengandalkan sikap lunak terhadap Malaysia (Hikmahanto Juwana, Kompas, 3 September 2010). Masyarakat awam mengungkapkan kekecewaan dan protes terhadap sikap dan pidato SBY melalui jejaring sosial Facebook ataupun Twitter.


Sebagai seorang kepala negara berlatar militer, SBY diharapkan mengirimkan pesan tegas, sedikit menyentil arogansi Pemerintah Malaysia, dan meningkatkan harga diri bangsa. Namun, harapan itu tak kesampaian.
SBY seharusnya bisa menangkap pesan penting dari serangkaian protes rakyat, baik berupa demonstrasi di depan Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta, inisiatif warga membentuk kelompok anti-Malaysia, maupun—barangkali—ratapan veteran pejuang yang merasa dipecundangi dengan isi pidato yang tak mencerminkan semangat nasionalisme pejuang.
Intinya, ada kesenjangan umum antara harapan rakyat Indonesia dari berbagai lapisan dan sikap pemimpin tertinggi bangsa ini dalam menyikapi serangkaian konflik dengan Pemerintah Malaysia.
Feminisasi
Tesis Morris-Suzuki dalam bukunya, Re-Inventing Japan: Time, Space, Nation (1998), menyajikan analisis menarik mengenai negara laki-laki dan bangsa perempuan untuk melihat perkembangan Jepang. Suzuki memperkenalkan konsep ”feminitas bangsa” ketika budaya Jepang sering diasosiasikan dengan tradisi yang banyak melibatkan perempuan, seperti ikebana (seni merangkai bunga) dan upacara teh. Hasilnya, menurut Suzuki, pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 para pengamat Eropa dan Amerika memersepsikan Jepang sebagai bangsa perempuan dengan kualitas feminin: penurut, anggun, tetapi eksotis. Sangat berbeda dengan persepsi umum tentang Jepang sebagai negara laki-laki yang modern, tangguh, dan kuat di bidang militer.
Ketiadaan pesan tegas, keberanian, dan sikap patriotik dalam pidato SBY mengenai hubungan Indonesia-Malaysia mencerminkan karakter feminin bangsa Indonesia ala SBY. SBY ingin menampilkan bangsa Indonesia di kawasan regional dan internasional sebagai bangsa ramah dengan mengupayakan stabilitas dan keberlanjutan hubungan.
Pidato SBY tampak lebih mengedepankan pertimbangan pembentukan citra pemimpin regional (ASEAN) masa depan yang mengutamakan perdamaian dan menjadi inisiator penyelesaian masalah kawasan (”Pilih Amankan Posisi Ketua ASEAN”, Kompas, 3 September 2010).
Tak ada yang salah dengan karakter feminin seperti menurut, lembut, dan menjauhi konflik dibandingkan dengan kualitas karakter maskulin seperti tangguh, keras, dan menyerang. Yang penting adalah penggunaannya harus tepat disesuaikan dengan konteksnya.
Menurut saya, pilihan SBY menampilkan bangsa Indonesia yang kental dengan kualitas feminin dalam menghadapi Malaysia saat ini tidak tepat. Meski serangkaian investigasi mendalam masih dilakukan terhadap beberapa insiden terakhir, tidak berarti SBY harus mengurangi hak bangsa Indonesia mengirim pesan jelas yang berani, optimistis, dan mengajak Malaysia benar-benar menghormati martabat bangsa Indonesia.
Perang bersenjata memang bukan pilihan paling masuk akal. Jika perang bersenjata sebagai salah satu representasi wajah sangat maskulin dari sebuah bangsa tidak bisa ditempuh, bedil dalam artian nonfisik setidaknya harus diledakkan. SBY sebagai pemimpin tertinggi merepresentasikan ”senjata” pamungkas untuk membela harkat dan martabat bangsa Indonesia.
Sayang isi pidato SBY yang lalu tidak meletus dan justru memaksakan menampilkan wajah bangsa yang feminin. Padahal, seharusnya SBY memperlihatkan kualitas maskulinitas bangsa Indonesia yang sudah teruji oleh sejarah sebagai yang disegani dan tak mudah didikte meski diterpa berbagai macam lapis krisis.
Efeknya akan sangat jauh berbeda. Tak saja meningkatkan posisi tawar bangsa Indonesia di mata Pemerintah Malaysia dan dunia internasional, yang lebih penting adalah dampak psikologis nasional: menumbuhkan kembali setitik harapan dalam setiap jiwa rakyat Indonesia yang sejatinya sudah amat sangat lelah dengan beragam ulah elite politik yang merampas uang rakyat tanpa malu-malu dan, lebih-lebih lagi, menyaksikan beragam drama pencitraan SBY.
Titik balik
Meski saat ini pendapatan per kapita Indonesia belum setinggi Malaysia atau Singapura, Indonesia bukan negara lemah. Contohnya, PDB per kapita Indonesia sekitar 2.362,10 dollar AS atau 13,5 persen lebih tinggi dibandingkan dengan PDB per kapita Filipina yang sekitar 1.749,60 dollar AS pada tahun 2009 (Eduardo Climaco Tadem, 2010:3). Dengan penduduk lebih dari 230 juta jiwa, Indonesia adalah pasar terbesar di Asia Tenggara.
Dengan pasar domestik yang kuat, Indonesia juga telah membuktikan diri menjadi negara paling tahan terhadap krisis keuangan global di Asia Tenggara pada tahun 2009. Bahkan, jika Indonesia harus menghentikan pengiriman TKI ke Malaysia, niscaya Malaysia pasti akan lebih merugi daripada Indonesia.
Selain tampilan makroekonomi, kita juga bisa melihat Global Gender Gap Index oleh World Economic Forum (WEF) yang mengevaluasi kondisi perempuan di seluruh dunia—termasuk di Asia Tenggara—yang diukur antara lain dengan partisipasi dan kesempatan ekonomi; capaian pendidikan, kesehatan, dan ketahanan hidup; serta pemberdayaan politik. Indonesia menempati posisi yang lebih baik daripada Malaysia dalam tiga indikator, kecuali dalam capaian pendidikan.
Bahkan, dalam indikator pemberdayaan politik, Indonesia jauh meninggalkan Malaysia (WEF, 2008, 2009). Dengan potensi dasar seperti itu, Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di Asia Tenggara—bahkan di dunia—memiliki peluang besar menjadi acuan berdemokrasi yang ramah perempuan dan bermartabat. Saya yakin ini pasti terjadi. Ini hanya masalah waktu!
Seyogianya SBY menjadikan momentum krisis dengan Malaysia ini sebagai titip balik meningkatkan optimisme bangsa dan memperbaiki citra kepemimpinannya yang peragu dan kompromistis. Sayangnya, yang terjadi kemarin tidaklah demikian.
Tampaknya SBY lupa bahwa harga diri dan martabat sebuah bangsa tidak hanya dilihat dari tampilan politik semu di tingkat regional. Namun, yang lebih menentukan adalah sikap tegas, berani, serta memahami dan memihaki nurani rakyat sendiri dari seorang pemimpin tertinggi.
Tidak ada kata terlambat. Jadi, cukuplah disudahi segala yang melemahkan bangsa sendiri. Jangan diulangi lagi, ya!
Kurniawati Hastuti Dewi Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI; Kandidat Doktor dari Universitas Kyoto, Jepang
Opini Kompas 18 Oktober 2010