17 September 2010

» Home » Media Indonesia » Solusi Kemacetan

Solusi Kemacetan

Masalah klasik kemacetan kembali menjadi fokus pembicaraan yang tak habis-habisnya dibicarakan belakangan ini. Walaupun fokusnya ditekankan pada kemacetan yang terjadi di Jakarta, implikasinya erat dengan rencana dan solusi ke depan dalam membangun sistem transportasi nasional (sistranas). Pasalnya, pertama, penyelesaian sistem transportasi Kota Jakarta dapat menjadi pelajaran dan cermin penting bagi penyelesaian masalah transportasi nasional. Kedua, pembangunan perkotaan masih terus menjadi obsesi pemerintah pusat dan daerah dalam meraup sumber dana pembangunan vis-a-vis pembangunan perdesaan. Seolah-olah rezeki manusia bergantung pada keberadaan pembangunan perkotaan.


Solusi keblinger
Berbagai solusi dalam mengurai masalah kemacetan kota, khususnya di Jakarta, telah didiskusikan secara panjang lebar. Bahkan beberapa tawaran solusi kemacetan di Kota Jakarta telah pula dilaksanakan pihak terkait. Paling tidak, dua kategori penyelesaian masalah transportasi kota telah dilakukan. Perbaikan dimaksud ialah perbaikan dalam manajemen transportasi kota di satu pihak, dan pemanfaatan teknologi transportasi di lain pihak.
Beberapa contoh perbaikan manajemen transportasi perkotaan yang menonjol yang telah dilakukan ialah kebijakan pembatasan penumpang pada jam sibuk (three in one), pengaturan tata ruang kota, pengaturan lampu lalu lintas dan berlalu lintas, pengaturan areal perparkiran, serta diturunkannya polisi lalu lintas di jalan raya. Bahkan wacana untuk memindahkan Jakarta ke lokasi lain juga semakin berkembang belakangan ini seakan-akan merupakan alternatif terbaik mengatasi kemacetan.
Adapun perbaikan terbatas dalam hal pemanfaatan teknologi antara lain meliputi penambahan jalan (termasuk jalan tol), pembangunan koridor busway dan bus transkota, kereta api, dan lain-lain telah pula dilakukan. Rencana perbaikan dalam sistem transportasi dimaksud kini telah dirangkum dalam Undang-Undang No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) setebal 254 halaman sebagai pengganti UU No 14 Tahun 1992.
Harus diakui, beberapa solusi yang telah dijalankan tersebut memang telah membuahkan hasil. Namun sayang, hasilnya belum memadai dalam mengurai masalah kemacetan terutama di Kota Jakarta. Jika tidak hendak dikatakan, masih tumpul. Kalau mau dievaluasi, penyebabnya sangat jelas. Di satu sisi karena masih rendahnya komitmen semua pihak dalam menjalankan undang-undang dan peraturan dimaksud. Sementara di sisi lain ialah karena rendahnya perhatian mengurai masalah kemacetan kota melalui pembangunan perdesaan.
Rendahnya komitmen menjalankan UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Jalan Raya dapat dilihat dari masih rendahnya sosialisasi undang-undang tersebut di masyarakat, rendahnya disiplin masyarakat dalam berlalu lintas, dan adanya tabrakan antara semangat isi undang-undang tersebut dan kebijakan pemerintah untuk meningkatkan pendapatan. Salah satu contoh nyata dari yang disebut terakhir ini ditunjukkan dari menjamurnya pusat-pusat perbelanjaan maupun bangunan megah lainnya di jalan-jalan utama. Anehnya, kesemrawutan tersebut bukannya malah segera dibenahi, tetapi terus dibiarkan. Seolah-olah pembangunan mal dan pusat bisnis menjadi simbol keberhasilan pemerintah dalam pembangunan Kota Jakarta khususnya, maupun kota/kabupaten lain umumnya.
Cara pandang ini jelas 'keblinger' jika harus mengorbankan pembangunan kualitas kehidupan masyarakat kota. Belum lagi berbicara tentang kebijakan ekonomi yang berkaitan dengan pembatasan kendaraan bermotor pribadi vis-a-vis kendaraan bermotor umum yang masih merupakan mimpi di siang bolong, khususnya di kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya.

Hentikan obsesi membangun kota
Kegagalan mengurai masalah kemacetan kota (termasuk kota Jakarta) juga terletak pada besarnya obsesi untuk menjadikan suatu lokasi menjadi kota. Bahkan untuk Kota Jakarta yang transportasinya sudah nyaris stagnan ini, masih juga direncanakan menjadi kota megapolitan. Obsesi seperti ini tentu harus dicoret dalam agenda ke depan pembangunan Kota Jakarta ataupun kota lainnya. Argumentasinya, tidak saja karena masih kentalnya karakteristik dualisme sosial ekonomi masyarakat kota dan desa sebagai akar masalah, melainkan juga karena ketergantungan pembangunan kota tidak pernah akan mampu mengatasi dinamika kebutuhan daerah perdesaan. Apalagi kota juga bukan merupakan satu-satunya simpul dalam sistem transportasi nasional sehingga pembangunan perdesaan mutlak diperlukan.
Untuk beberapa kalangan, pikiran yang antikota dan atau antimegapolitan ini pasti terdengar naif dengan segudang alasannya. Namun, jika kita mau belajar dari pengalaman dan kondisi kekinian pembangunan kota selama ini, obsesi membangun kota saja terbukti telah menghasilkan dampak negatif lebih besar daripada perolehan keuntungannya. Selain menimbulkan dampak buruk membengkaknya migrasi penduduk dari desa ke kota yang selanjutnya menggeser kurva pasokan jumlah pengangguran di kota ke sebelah kanan.
Obsesi pembangunan yang hanya berkiblat pada perkotaan juga telah menimbulkan tumbuh dan berkembangnya sektor informal di perkotaan yang telah memberikan masalah tersendiri di satu pihak dan pemindahan kemiskinan dari desa ke kota di lain pihak (lihat misalnya Arthur Lewis, 1954, dan Harris Todaro, 1970). Ujung dari benang kusut ini seterusnya membuahkan kemacetan, penyakit sosial, dan lingkungan seperti kriminalitas, kawasan kumuh di perkotaan, dan polusi.
Oleh karena itu, resep kebijakan dalam pemecahan masalah kemacetan di kota (termasuk Kota Jakarta) sangat ditentukan oleh kemauan keras dan cerdas semua pihak untuk menghentikan obsesi pembangunan nasional yang hanya diarahkan ke perkotaan semata. Inilah sebenarnya kebijakan pembangunan yang semestinya dikerjakan semua pihak agar dualisme kehidupan sosial ekonomi antara kota dan desa mengerucut hilang.
Cara-cara berpikir dalam penyelesaian masalah pembangunan (termasuk kemacetan) yang tambal sulam harus segera dihilangkan dalam agenda pembangunan nasional dan daerah agar kehidupan masyarakat menjadi adil, makmur, dan sejahtera. Namun, mengapa kebijakan seperti ini masih saja separuh hati kita lakukan? Haruskah kita menunggu sampai persoalan 'acakadut' kemacetan khususnya dan dualisme antar kota dan desa umumnya semakin melebar? Tentu tidak, bukan. Semoga.

Oleh Carunia Mulya Firdausy, Anggota Komisi Teknis Transportasi Dewan Riset Nasional dan Guru Besar serta Profesor Riset Bidang Ekonomi
Opini Media Indonesia 17 September 2010