17 September 2010

» Home » Lampung Post » Koruptor dan Perampok

Koruptor dan Perampok

AJ Susmana
Alumnus Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada
Berita di media massa akhir-akhir ini menyandingkan aksi koruptor dan aksi perampok. Ini memperlihatkan bagaimana kejahatan merajalela dan memaksa kita merenungkan lebih dalam atas kejahatan-kejahatan yang berlaku.


Aksi-aksi perampokan yang mencolok mata itu sendiri justru berlangsung di tengah bangsa kita merayakan kemerdekaan, suasana religius Ramadan dan Lebaran. Bukan tindakan-tindakan patriotis yang muncul menginspirasi, melainkan justru tindakan-tindakan yang mencederai hati nurani rakyat dan bangsa serta nilai-nilai religius dan keagamaan. Harkat dan martabat bangsa turun drastis seakan tak ada jalan lain untuk memperoleh kekayaan.
Berita-berita yang menyandingkan aksi koruptor dan perampok memenuhi benak kita dan menimbulkan kegelisahan tersendiri karena ada perlakuan yang berbeda. Pertanyaan yang bisa diajukan: apa beda koruptor dan perampok?
Secara substansial, keduanya tak ada beda. Keduanya mengambil barang atau uang yang bukan haknya. Koruptor juga perampok dengan caranya sendiri yang bertamengkan banyak alasan dan seringnya karena mempunyai peluang atas dukungan kekuasaan.
Walau keduanya sama-sama merugikan negara dan rakyat, kita melihat perlakuan yang sangat berbeda dalam menangani kejahatan korupsi dan kejahatan perampokan di negeri ini. Di negara lain pelaku kejahatan korupsi bisa ditembak mati atas dasar hukum. Sementara itu, di sini pelaku kejahatan korupsi bisa tenang, mempermainkan hukum, dan mendapatkan perlakuan istimewa baik selama persidangan maupun di dalam penjara.
Pada masa pemerintahan Jenderal Suharto kejahatan korupsi sering tak naik ke permukaan dan hanya menjadi kasak-kusuk. Tapi kejahatan para perampok ditangani dengan keras dan seringnya keji dari sudut kemanusiaan. Para perampok, orang-orang yang dikenal jahat karena suka memalak dan menodong itu, ditembak orang-orang misterius dan mayatnya ditinggalkan begitu saja.
Negara merasa sangat terancam dengan perampok yang nilai nominalnya sering jauh lebih kecil dari uang yang dirampok para koruptor. Namun, negara justru seakan tak terancam dengan aksi para koruptor (yang kerap bersekutu dengan tangan-tangan kekuasaan). Bila jarahan para perampok berkisar jutaan, jarahan para koruptor bisa mencapai miliaran sampai triliunan.
Para perampok biasanya beraksi karena terdesak kebutuhan ekonomi, sedangkan para koruptor lebih dari itu, bahkan bisa disebut sebagai tindakan menyabotase program-program negara yang mengkhianati rakyat.
Perbedaan-perbedaan yang mencolok antara koruptor dan perampok ini sudah dikenal rakyat. Korupsi pun saat ini dianggap sebagai musuh utama. Program pemberantasan korupsi menjadi slogan di era reformasi. Tapi korupsi terus berjalan dan hukuman keras terhadap para pelaku kejahatan korupsi seakan tak terjadi.
Justru dengan beralasan hukum dan kemanusiaan, beberapa pelaku kejahatan korupsi dibebaskan atau hanya mendapatkan hukuman ringan. Sementara itu, pelaku perampokan kerap dikenai hukuman berat.
Gambaran dari berita-berita media yang menyandingkan aksi koruptor dan perampok beserta penanganannya memperlihatkan bagaimana prioritas negara atau pemerintah dalam memberantas kejahatan. Apakah saat ini yang utama menyandera program penyejahteraan rakyat yakni para perampok ataukah para koruptor yang mentransfer uang negara ke rekening dan kantongnya sendiri?
Pertanyaan ini pantas diajukan agar kita tidak salah langkah dalam menangani kriminalitas rakyat yang merajalela dan mengkhawatirkan ini, sedangkan penyebab kriminalitas akibat sabotase para koruptor justru tak pernah tersentuh.
Opini Lampung Post 17 September 2010