17 September 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Daya Saing Ekonomi

Daya Saing Ekonomi

Oleh ACUVIARTA KARTABI
KEMAMPUAN meningkatkan daya saing adalah tiket jika ingin berhasil memenangi kompetisi persaingan ekonomi global. Oleh karena itu, publikasi peringkat daya saing selalu ditunggu-tunggu banyak negara termasuk Indonesia. Dalam publikasi terbarunya, World Economic Forum (WEF) yang berpusat di Genewa, Swiss, menempatkan daya saing Indonesia di peringkat 44 dalam publikasi World Competitiveness Report 2010-2011. Tingginya potensi ekonomi Indonesia saat ini tidak diragukan dan akan menjadi lebih kuat, jika didukung dengan keberlanjutan peningkatan daya saing (terutama daya saing ekonomi).

 
Yang menarik, peringkat daya saing Indonesia meningkat tajam dari sebelumnya di posisi 54. Hal itu disebabkan meningkatnya peringkat daya saing hampir di semua indikator utama, kecuali sub indeks peningkatan efisiensi yang turun satu peringkat ke posisi 50. Namun, indeks lain mengalami peningkatan cukup signifikan. Peringkat indeks kebutuhan dasar peningkatan daya saing Indonesia naik 10 tingkat ke posisi 60. Peringkat inovasi dan sophistication factor naik tiga peringkat.
Melihat secara keseluruhan peringkat maupun level indeks daya saing tahun ini, ada beberapa hal yang harus menjadi fokus perhatian pemerintah, sektor swasta, dan semua pemangku kepentingan perekonomian. Perhatian tentu saja dapat lebih terfokus pada upaya peningkatan efisiensi sebagai salah satu variabel yang diamati dalam pengukuran daya saing global. Variabel-variabel yang diamati/diteliti/disurvei dalam pengukuran indeks peningkatan efisiensi di antaranya terkait tingkat pendidikan, efisiensi pasar barang, efisiensi pasar tenaga kerja, dan indikator lain terkait dengan pasar keuangan, kesiapan teknologi, dan ukuran pasar.
Tugas berat memperbaiki daya saing terjadi di semua subvariabel yang disurvei. Terkait dengan aktivitas bisnis misalnya, berdasarkan hasil survei, masalah inefisiensi birokrasi pemerintahan masih menjadi kendala teratas dari 15 hal yang terindikasi menghambat perkembangan aktivitas bisnis di tanah air. Efisiensi birokrasi terus menjadi sorotan dalam beberapa tahun terakhir, sejalan dengan meningkatnya persaingan antarnegara dalam mewujudkan ongkos birokrasi yang efisien dengan tingkat pelayanan yang cepat. Sayangnya, pencapaian hasil reformasi birokrasi yang sedang dijalankan di berbagai institusi pemerintah kurang terpublikasi dengan baik dan minim evaluasi, selain terkait adanya perbaikan tingkat penghasilan aparatur birokrasi. Satu hal yang dikhawatirkan, pola reformasi birokrasi yang ditempuh di Indonesia pada akhirnya kurang sejalan dengan tuntutan peningkatan daya saing.
Terkait pengurangan tingkat masalah korupsi, apa yang kita capai saat ini terlihat belum memuaskan. Indikasi itu tercium dari tingginya persentase tanggapan hasil survei WEF. Tingginya persentase tanggapan terhadap masalah korupsi terpaut tipis dengan masalah inefisiensi birokrasi. Jadi patut diduga ada hubungan yang erat antara ke dua variabel itu.
Peningkatan ketersediaan infrastruktur adalah satu persoalan yang cukup pelik. Ketergantungan pengembangan/peningkatan ketersediaan infrastruktur dengan anggaran fiskal memang harus segera dicari terobosan solusinya. Janji pemerintah untuk meningkatkan besaran alokasi anggaran peningkatan infrastruktur masih terus ditunggu publik. Untuk meningkatkan ketersediaan infrastruktur mau tidak mau pemerintah harus melibatkan sektor swasta. Dukungan pemerintah sangat diharapkan, baik dari sisi prioritas anggaran maupun prioritas pembangunannya.
Sesungguhnya, tidak ada substansi yang baru dari publikasi peringkat daya saing antarnegara tahun ini, selain berupaya mengingatkan kita, masih banyak masalah dalam perekonomian Indonesia yang penyelesaiannya masih jauh dari kata mendekati tuntas.
Beberapa persoalan terkait pengembangan pasar finansial juga menjadi sorotan tajam, seperti kesehatan perbankan. Kesehatan bank diupayakan sejalan dengan prinsip kehati-hatian bank dengan tidak mengurangi arti penting mendesaknya peningkatan ekspansi kredit perbankan. Prinsip keseimbangan ini diharapkan bisa terkoneksi dengan implementasi aturan BI terkait persentase loan to deposit ratio (LDR) yang juga dihubungkan dengan posisi giro wajib minimum (GWM). Kesehatan bank juga terkait erat dengan penuntasan masalah kejahatan sistematis dalam bisnis perbankan. Kepercayaan tersebut harus terus diupayakan agar sejalan dengan meningkatnya efisensi bisnis maupun produk yang ditawarkan bank.
Publikasi World Competitiveness Report 2010-2011 juga menyoroti kualitas penelitian yang dilakukan lembaga-lembaga penelitian di dalam negeri. Kualitas penelitian ke depan tampaknya terkait dengan kendala minimnya anggaran. Peningkatan kualitas penelitian menjadi tantangan besar pemerintah maupun swasta di dalam negeri. Penemuan dan pengembangan produk/komoditi serta inovasi lain yang berbasis hasil penelitian mau tidak mau harus terus diupayakan, jika ingin daya saing perekonomian meningkat.
Selain itu, disinggung pula soal penggunaan hak paten yang juga bersinggungan dengan masih rendahnya temuan produk/komoditi terkait hasil penelitian yang dilakukan lembaga-lembaga penelitian maupun perseorangan.***
Penulis, pengamat ekonomi/dosen di Jurusan Ekonomi dan Studi Pembangunan FE Unpas.
Opini Pikiran Rakyat 17 September 2010