17 September 2010

» Home » Media Indonesia » Mengupayakan Kerukunan dan Keserasian

Mengupayakan Kerukunan dan Keserasian

ADA yang patut kita syukuri pada Ramadan yang lalu. Pembatalan rencana pembakaran kitab suci Alquran di Amerika sungguh melegakan para pencinta damai. Rencana membakar kitab suci menunjukkan sisi gelap manusia. Sikap demikian sama buruknya dengan serangan World Trade Center di New York, 9/11/2001, dan pembunuhan besar-besaran orang Yahudi oleh pemerintahan Nazi Jerman (1933-1945). Pembatalan pembakaran Al Qur'an memberi harapan.


Di sisi lain, penganiayaan fisik maupun batin yang dialami seseorang atau suatu kelompok adalah bukti bahwa tidak ada manusia sempurna. Ada unsur-unsur baik maupun buruk dalam dirinya. Unsur-unsur buruk itulah yang membangkitkan konflik dan ketidakadilan sosial. Ini yang akan terus-menerus kita waspadai.
Menjaga kerukunan beragama dengan Gangguan terhadap peradaban terkaiDENG rongrongan pada keyakinan agama yang menjadi landasan peradaban. Pendapat itu tersirat dalam tulisan-tulisan sejarawan Inggris Arnold Toynbee (1889-1975). Dengan kata lain, beda keyakinan agama yang merusak hubungan antarumat beragama pada gilirannya akan merusak landasanperadaban.
Dalam hal agama Islam, sejumlah pemuka agama yang bijak dalam khotbah mereka sering mengatakan, jangan menyangkut-pautkan terorisme dengan Islam. Anggapan bahwa terorisme dilakukan untuk membela Islam, atau Allah, samasekalki tidak bisa dibenarkan. Allah dan agama Islam bukan saja tidak perlu dibela, malahan sebaliknya kekerasan tidak dibenarkan oleh Islam atau agama lain mana pun. Layak bahwa Presiden Soesilo Bambang Yudoyono menganjurkan agar masyarakat jangan terprovokasi terkait serangan terhadap jemaat Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) di Bekasi hari Minggu, 12 September yang lalu. Oleh pihak berwajib, tindak kekerasan itu dianggap murni kriminal. Tentu masyarakat mengharapkan pembuktian lebih lanjut.
Sikap PBNU yang akan menurunkan Barisan Ansor Serbaguna untuk melindungi jemaat HKBP terasa menyejukkan; begitu pula sikap Ormas Muhammadiyah yang tidak mengingkari pluralisme. Bahwa organisasi-organisasi Islam besar menunjukkan sikap sesuai amanat konstitusi patut kitasyukuri. Namun bukan pertama kali terjadi bentrok semacam itu, yang membuktikan bahwa membangun kerukunan beragama masih menjadi tantangan bagi masyarakat negeri ini maupun bagi seluruh umat beragama di mana-mana. Konflik antarumat beragama merupakan salah satu pekerjaan rumah yang belum terselesaikan.

Menghadapi korupsi dan kemiskinan
Berita tewasnya Joni Malela setelah mengejar saweran istana menjadi catatan tersendiri dalam kisah-kisah kemiskinan di Indonesia. Di kutub sama, pengungkitan kembali kasus Bank Century menunjukkan betapa sulitnya usaha memberantas korupsi. Bahwa ada kasus-kasus dari dua serangkai penyakit sosial - korupsi dan kemiskinan - menerobos masuk ke paruh terakhir Ramadhan, mudah-mudahan berhasil menyentak kesadaran kita tentang keseriusan masalah-masalah tersebut. Ahli-ahli kemasyarakatan umumnya berpendapat, problem sosial timbul karena lembaga-lembaga sosial kehilangan wibawa dan memang ada individu-individu yang ukuran moral dan sosialnya 'kurang'. Mereka tidak mampu atau tidak mau mengikuti pola-pola normatif masyarakat. Contohnya: para koruptor. Korupsi yang meliputi sogokan, pemerasan, dan nepotisme,sudah ada sejak masa lampau. Seluruh masyarakat mengenalnya dengan tingkat berbeda-beda, kecuali yang primitif.
Tokoh terkenal dalam ajaran Islam, Imam Ahmad Ibnu Hanbal (780-855), misalnya, menentang keras korupsi. Dia sering dianiaya dan dipenjara oleh penguasa di zamannya karena memandang rendah jabatan hakim, yang waktu itu menjadi sasaran sogokan. Dia juga selalu menolak 'hadiah' dari raja. Tokoh Islam lainnya, Abdul Rahman Ibnu Khaldun (1332-1406), terkenal sebagai penentang korupsi. Ahli sejarah ini pernah meringkuk dalam penjara karena ketika menjabat sebagai hakim berusaha menghapuskan korupsi. Dia gagal dan dipecat dari jabatan.
Dilemanya, problem-problem sosial, seperti korupsi dan kemiskinan, menjadi penghambat perkembangan peradaban yang diperlukan demi terciptanya tertib sosial. Menurut hasil penelitian lembaga-lembaga sosial internasional, sampai seperempat abad yang lalu, separo penduduk dunia hidup miskin, malahan seperempatnya hidup di bawah garis kemiskinan. Indonesia termasuk kelompok penampung penduduk miskin terbesar. Masalahnya terletak pada pemerataan hasil produksi. Sekarang, dengan kemajuan teknologi dan perubahan sistem sosial-ekonomi, taraf penghidupan umumnya meningkat, tetapi kesenjangan antara yang mampu dan tidak mampu tetap luarbiasa, apakah dinilai dari kesenjangan antarnegara atau antarwarga masyarakat.

Sejak revolusi industri di abad 18, dunia Barat berubah pesat secara sosial, psiklologis, politik maupun ekonomi. Nilai-nilai kemanusiaan ikut berubah sesuai perubahan gaya hidup akibat industrialisasi. Efek dominonya meluas ke seluruh dunia. Keluarga, yang semula menjadi unit terpenting dalam masyarakat, sekarang hanya bagian kecil dari struktur sosial. Ikatan-ikatan kelompok yang semula demikian menentukan, kemudian lebur dalam massa. Dalam abad 20-21, sekalipun kita memiliki kemampuan menghapuskan kemiskinan, tetapi kita juga mampu melenyapkan eksistensi kebersamaan. Persaingan memperburuk keadaan dan mengaburkan makna hak azasi dan rasa kemanusiaan. Menurut ekonom terkemuka dunia John K. Galbraith (1908-2006), tiga perempat penduduk negara-negara berkembang umumnya tinggal di daerah-daerah pedesaan. Kemelaratan justru mengakar kokoh di pedesaan. Kenyataan tersebut tercermin pada hiruk-pikuk arus mudik dan arus balik, yang tiap tahun menjadi masalah di masyarakat kita.

Galbraith beranggapan, kemelaratan melemahkan motivasi untuk melawannya; membuat yang bersangkutan malas untuk secara proaktif bekerja keras mengentaskan diri. Mereka memilih jalan pintas, antara lain dengan urbanisasi, mencari pekerjaan seadanya. Tugas paling penting kalangan elite dan jajaran pimpinan adalah memerangi sikap semacam itu dan mencarikan solusi bagi mereka. Harus ada kesadaran bahwa kemelaratan bersifat destruktif dan tidak manusiawi. Seperti halnya korupsi, penyakit sosial ini harus dimusnahkan bersama. Senjata paling ampuh untuk itu adalah pendidikan. Sayangnya, kata Galbraith, sistem pendidikan di negara-negara berkembang pada umumnya kurang menegaskan perlunya peningkatan kualitas diri, dan tidak membuat orang bertekad untuk melepaskan diri dari kemelaratan.

Demi kemaslahatan bersama, mudah-mudahan ke depan kita akan mampu menghadapi tantangan-tantangan sosial mendesak seperti terpapar di atas, termasuk usaha pemberantasan korupsi, menghapuskan kemiskinan meningkatkan pendidikan yang tepat dan menggalang kerukunan beragama yang dibutuhkan untuk pengembangan peradaban.

Oleh Toeti Adhitama, Anggota Dewan Redaksi Media Group
Opini Media Indonesia 17 September 2010