05 September 2010

» Home » Kompas » Polri dan Pemolisian Demokratis

Polri dan Pemolisian Demokratis

Polisi dan juga kriminolog umumnya meyakini kebenaran diktum bahwa senjata rahasia yang ampuh bukan gas air mata, peluru karet, atau peluru kosong, melainkan simpati masyarakat.
Sampai hari ini, itulah tantangan terbesar Kepolisian Negara Republik Indonesia. Insiden Buol, Sulawesi Tengah, yang menewaskan tujuh warga masyarakat, beberapa hari lalu, sekali lagi menunjukkan terjalnya jalan yang harus ditempuh polisi untuk menjalin kemitraan sejati dengan masyarakat. Harus diakui secara jujur bahwa di antara upaya keras Polri untuk bekerja sama dengan komunitas, masih ada segelintir petugas yang kadang terjebak pada perilaku warisan masa lalu yang cenderung brutal. Akibatnya, timbul titik api yang merusak simpul keharmonisan antara polisi dan masyarakat.


Padahal, simpati masyarakat hanya mungkin terwujud apabila pemolisian masyarakat bergeser dari model konvensional ke modern. Saya lebih suka mempergunakan istilah pemolisian demokratis. Maksudnya, kerja sama proaktif dan efektif antara polisi dan masyarakat guna mencapai tertib hukum dan keadilan hukum yang bukan lagi bersifat sentralistik, melainkan berbasis pada keunikan tiap komunitas. Dengan cara begitu, bukan saja masyarakat merasa dihargai sehingga tumbuh simpati dan kemitraan hakiki dengan polisi, melainkan juga terjaga profesionalitas dan akuntabilitas Polri.
Selain itu, pemolisian demokratis secara otomatis juga menempatkan hak asasi manusia (HAM) di tempat terhormat. Dalam mewujudkan tertib hukum dan keadilan hukum, HAM menjadi penjuru setiap upaya Polri dalam menjalankan tugasnya. Di sini berlaku konvensi tak tertulis yang harus dipanggul setiap petugas polisi, yaitu ”tidak boleh lagi ada tangis dan darah mengalir di kantor polisi”.
Tantangan ekstrem
Praktik pemolisian demokratis tidak bisa lagi ditunda-tunda penerapannya kini. Masih terjadinya ketidakseimbangan antara pemolisian konvensional yang menitikberatkan pada beberapa model pemolisian, seperti sikap reaktif, paramiliter, reaksi cepat, dan sekadar penegakan hukum harus segera digeser menjadi upaya- upaya penuntasan masalah dan pemberian pelayanan serta jasa-jasa publik. Semua aktivitas itu digerakkan secara mandiri oleh personel kepolisian setempat dan komunitas lokal.
Jika langkah tersebut tidak segera diambil, tak mustahil Polri akan semakin sulit menghadapi tantangan masa depan. Ini berkaitan dengan terjadinya perubahan ekstrem dalam kehidupan manusia di dunia, termasuk Indonesia, seperti krisis ekonomi, perubahan iklim, geopolitik, energi, internet, kesehatan, perdagangan global, dan bioteknologi.
Perubahan ekstrem pada bidang-bidang tersebut secara otomatis juga akan membawa persoalan- persoalan baru di bidang kamtibmas. Perubahan iklim yang ekstrem dan tak terduga, misalnya, bisa membuat petani gagal panen. Jika keadaan tersebut sering terjadi, kemiskinan akan meningkat dan petani akan mudah marah. Konflik horizontal dipastikan akan mudah pecah. Semua itu bermuara pada kemungkinan terjadinya konflik sosial.
Juga pada bidang bioteknologi sebagai contoh lain. Perubahan ekstrem bidang ini akan menjadi etiologi kriminal persoalan yang tak terbayangkan sebelumnya. Polisi bisa tiba-tiba dihadapkan pada konflik antara pasien dan rumah sakit menyangkut masalah organ-organ rekayasa biologi, sel punca, dan lain-lain. Masalah yang dihadapi polisi akan semakin kompleks jika perubahan ekstrem lain, seperti geopolitik, energi, dan internet, ikut diperhitungkan.
Pendeknya, tantangan ekstrem dan tak terduga akan semakin banyak menghadang Polri di masa depan. Oleh sebab itu, konsolidasi internal untuk menegakkan pemolisian demokratis harus segera dilakukan. Dengan jumlah personel polisi yang hanya sekitar 400.000 orang, dengan keterbatasan peralatan dan fasilitas yang memadai, pintu masuk bagi efektivitas kerja Polri dalam mencapai tertib hukum dan keadilan hukum memang hanya satu, yaitu bermitra dengan komunitas. Dalam konteks ini, penghargaan pada keunikan tiap komunitas merupakan kunci keberhasilan pemolisian masyarakat.
Visi ke depan
Agar pemolisian demokratis mencapai hasil optimum, visi ke depan kemitraan polisi dan komunitas perlu menggabungkan secara sinergis antara variabel geografis, sosiokultural, dan bidang-bidang yang mengalami perubahan ekstrem di tiap wilayah. Keadaan ini menuntut penempatan personel yang mempunyai kemampuan dasar dalam memahami koneksitas ketiga variabel tersebut.
Dengan demikian, model pemolisian masyarakat dalam bentuk Forum Kemitraan Polisi Masyarakat adalah unik dan spesifik sesuai dengan karakter komunitasnya.
Berkaitan dengan efektivitas kerja Polri dalam pemolisian demokratis, jangka waktu penempatan personel, meskipun ini tampak sederhana, sejatinya adalah faktor krusial. Penempatan petugas dalam masa pendek di suatu komunitas tidak saja membuat hubungan batin antara petugas dan komunitas berjarak, tetapi juga terbuka ruang lebar untuk kegagalan memprediksi potensi terjadinya kejahatan dan gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat secara umum.
Untuk semua itu, dalam keadaan kemampuan Polri yang sangat terbatas, tidak ada pilihan lain bagi Polri kecuali tetap mengupayakan peningkatan sumber daya personel dan melakukan penyesuaian internal.
OEGROSENO Kepala Polda Sumatera Utara
Opini KOmpas 6 September 2010