05 September 2010

» Home » Suara Merdeka » Lanjutkan: Lebih Tegas

Lanjutkan: Lebih Tegas

PIDATO singkat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) merespons krisis hubungan bilateral RI-Malaysia (01/09/10), memang lugas, jelas. Tapi sayang, bahasa dan intonasinya kelewat lembut.

Tak muncul sepatah kata pun yang bernada keras untuk menyikapi Malaysia yang kerap memicu ketegangan hubungan bilateral, termasuk insiden penangkapan dan penahanan tiga pegawai Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Riau oleh Polisi Diraja Malaysia di Pulau Bintan 13 Agustus lalu.


Yudhoyono tampak menekankan soft power dalam diplomasinya menghadapi negeri tetangga yang serumpun itu. Dengan demikian, pidato SBY itu hanya menegaskan diplomasinya yang lemah terhadap Malaysia.

Simaklah intisari pidatonya,’’ Dengan memahami perasaan emosional rakyat Indonesia terkait insiden Bintan, hubungan baik RI-Malaysia —yang dianggapnya sebagai pilar utama ASEAN dan sudah memberi banyak manfaat bagi masyarakat RI dan Malaysia— perlu dipertahankan sembari mengupayakan serius perundingan lateral, terutama untuk menyelesaikan masalah sengketa wilayah perbatasan, baik maritim maupun darat yang sejauh ini kerap menyulut ketegangan bilateral.

Keutuhan wilayah RI memang harus dipertahankan, kedaulatan negara harus ditegakkan, tapi dengan cara-cara  bermartabat, terhormat: dengan memprioritaskan langkah-langkah diplomasi. Indonesia sejauh ini menjadi contoh bangsa lain di dunia dalam menegakkan perdamaian di tengah pergaulan internasional. Kita perlu menjaga citra itu.”

Tepatkah diplomasi SBY yang lembut seperti itu? Demi mendinginnya suhu politik RI-Malaysia yang sedang memanas, memang tepat. Diplomasi tersebut rasional. Indonesia mesti berkepala dingin, tidak gegabah mengambil pemutusan hubungan diplomatik, apalagi menempuh langkah militer.

Sangatlah tinggi biaya sosial ekonomi yang harus dibayar jika Indonesia memutus hubungan diplomatik. Jumlah TKI di banyak sektor di Malaysia 2 juta orang lebih dengan menyumbang devisa tak kurang Rp 50 triliun setiap tahun.

Nilai perdagangan RI-Malaysia tahun 2009 tercatat 11,4 miliar dolar AS. Investasi Malaysia di Indonesia tahun lalu 1,2 miliar dolar, sedangkan investasi Indonesia di negeri Ipin-Upin itu 534 juta dolar. Wisatawan Malaysia yang melancong ke Indonesia tahun lalu 1,8 juta orang. Mahasiswa Malaysia yang kuliah di Indonesia sekarang 6.000 orang, sedangkan pelajar dan mahasiswa Indonesia yang belajar di sana mencapai 13.000 orang.

Dengan pertimbangan itu kita bisa mengapresiasi diplomasi SBY. Namun apakah SBY sudah memperhitungkan cermat jika di kemudian hari Malaysia berulah menyulut ketegangan lagi? Akankah SBY tetap bersikap lembut?

Memandang Inferior

Pasalnya fakta memperlihatkan, dalam rentang waktu 6 tahun terakhir pemerintahan SBY sedemikian banyak insiden pelecehan Malaysia: mulai penyiksaan bahkan pembunuhan TKI oleh majikannya, gaji TKI tak dibayar penuh, penganiayaan wasit karate Donald Peter Luther Kolobita asal Manado oleh polisi Malaysia, klaim Malaysia atas beberapa karya budaya Indonesia, klaimnya atas Ambalat, hingga insiden Bintan pertengahan Agustus lalu.    

Tak urung, berulangnya insiden pelecehan demi pelecehan oleh Malaysia terhadap kita itu telah menimbulkan persepsi masyarakat Indonesia bahwa negeri jiran yang kini berpenduduk sekitar 25 juta jiwa dan makmur itu memandang inferior Indonesia yang sekarang berpenduduk tak kurang dari 237 juta orang.
Di luar itu, dengan kompleksnya permasalahan bilateral, peluang Malaysia kembali menyulut ketegangan dengan melecehkan Indonesia lagi memang besar. Masalah TKI dan wilayah perbatasan maritim ataupun darat yang masih dipersengketakan merupakan dua celah yang paling rawan dimanfaatkan untuk kembali melecehkan kita.

Presiden dituntut mau memperbarui diplomasinya yang kelewat lembut itu, sembari memaksimalkan dan mengefektifkan pembangunan sosial ekonomi masyarakat serta memperbaiki manajemen wilayah perbatasan dengan Malaysia khususnya, dan segenap negara tetangga umumnya. Jika ini efektif dilakukan, Indonesia dimungkinkan akan menjadi entitas negara-bangsa yang betul-betul bermartabat dan lebih terhormat di mata bangsa Malaysia dan juga bangsa lain di dunia. (10)

— Chusnan Maghribi, alumnus Hubungan Internasional Fisipol UMY, peneliti CIIS di Yogyakarta 

Wacana Suara Merdeka 6 September 2010