04 Juni 2010

» Home » Suara Merdeka » Tak Percaya Produk Domestik

Tak Percaya Produk Domestik

SEKIRANYA kabar adanya suap kepada mantan pejabat teras Bank Indonesia (BI) 1,3 juta dolar AS atau sekitar Rp 12 miliar berkaitan dengan pencetakan uang pecahan Rp 100 ribu di Securency International dan Note Printing Australia (Peruri-nya Australia) benar adanya maka makin menguatkan kebenaran bahwa  korupsi di Indonesia tetap tinggi posisinya di dunia. 

Hal ini dinyatakan Harian The Age Australia yang melansir sebuah dokumen rahasia pajak, yang menyebutkan antara tahun 1999 dan 2006 terjadi penyuapan untuk memenangi kontrak mencetak 500 juta lembar pecahan Rp 100 ribu senilai lebih dari 50 juta dolar AS untuk Bank Sentral Australia (Reserve Bank of Australia).


Selain masalah korupsi yang merupakan akar segala masalah di Indonesia harus dipecahkan dalam rangka menuju Indonesia yang maju dan berkeadilan maka kasus pencetakan uang di luar negeri merupakan suatu keanehan. Hal ini karena beberapa negara asing justru mencetak uangnya di Indonesia (lewat perusahaan Grup Pura di Kudus). Kita malah tidak percaya pada kemampuan produsen di dalam negeri yang sebenarnya mampu.

Sekiranya dugaan tersebut benar adanya, maka patut disesalkan. Hal itu karena pejabat senior BI pasti tahu teori ekonomi, bahwa jika ada investasi di dalam negeri sudah pasti akan menaikkan pendapatan nasional, yang akhirnya dapat menyerap tenaga kerja.

Kasus pencetakan uang Indonesia di luar negeri barangkali sebagai salah satu kasus di mana kecintaan terhadap produk domestik cuma sebagai wacana menarik, tetapi dalam praktik banyak yang lebih mencintai produk asing. Motif pemberian pekerjaan kepada pihak asing mungkin dilandasi alasan kurangnya kualitas produk di dalam negeri, tetapi yang terjadi sebenarnya adalah kerja sama, kongkalikong untuk mendapatkan bagian keuntungan yang dibagi untuk sekompok kecil orang, terkait dengan tender proyek tersebut.
Sulit Diatasi Bahkan yang mengerikan, sekiranya diberikan kepada produsen dalam negeri merasa rikuh karena kenal sehingga pemberian sogokan susah diatur. Hal ini lain sekali dengan pihak luar karena tidak mengenal sama sekali sehingga secara transparan dapat diatur beberapa bagian yang dapat diperoleh terkait dengan proyek tersebut.

Korupsi berjamaah, bahkan bersaf-saf, terjadilah karena masing-masing pihak ingin memperoleh pekerjaan sejenis dengan pihak lain, karena pertimbangan sesaat, dan aji mumpung semasa menjabat.

Seolah-olah karena menjabat merupakan kesempatan langka dan emas, dan belum tentu datang lagi, maka berbagai pihak berlomba-lomba melakukan kesalahan bersama.

Korupsi yang mewabah ke mana-mana sulit diatasi karena sudah menjadi budaya sehingga masyarakat dapat memahami, memaafkan, bahkan mungkin menikmatinya. Tetapi apa yang terjadi, sebenarnya biaya tinggi begitu menyertai dalam memproduksi suatu barang sehingga tidak dapat berkompetisi dengan pihak lain. Rendahnya tingkat investasi karena biaya transaksi yang tinggi akibat peraturannya dibuat berbelit-belit sehingga mengakibatkan munculnya mafia pungutan liar di mana-mana.

Sebenarnya banyak barang produksi di dalam negeri yang cukup berkualitas dan sesuai standar yang ditetapkan, tetapi karena kurangnya diberi kesempatan akhirnya produk itu tidak berkembang. Gerusan efek demontrasi bahwa produk luar negeri lebih baik, lebih berkualitas, dan lebih murah harus dieliminasi karena hal tersebut merupakan strategi perang modern di mana cara berpikir masyarakat dibelokkan dan dibenarkan bahwa luar negeri lebih baik dari domestik.

Menggenjot rasa nasionalisme untuk mencintai produk dalam negeri sangatlah diperlukan. Kalau masyarakat punya nasionalisme tinggi tentu tidak akan takut terhadap serbuan barang asing. China dan Jepang adalah contoh negara yang tinggi nasionalisme dan kebangsaannya sehingga tidak khawatir akan serbuan produk asing. Hal itu juga didukung dengan produk sejenis di dalam negeri yang tidak kalah kualitasnya. (10)

— Purbayu Budi Santosa, guru besar Fakultas Ekonomi Undip, pegiat ekonomi kelembagaan

Wacana Suara Merdeka 5 Juni 2010