Akhir-akhir ini kejahatan korupsi mendapat sorotan  tajam dan perhatian khusus dari seluruh elemen masyarakat. Para tokoh  agama turut prihatin dan menjadi sorotan balik oleh sebagian pihak. 
Bukan karena korupsinya para tokoh agama,  melainkan peran ajaran agama yang mereka ajarkan. Bukan bemaksud  menyudutkan peran suatu agama tertentu, namun sungguh ironis jika  kenyataannya para koruptor yang tertangkap mayoritas beragama Islam.
Realitas  ini tidak beda dengan kondisi di Filipina atau negara lain yang  mayoritas penduduknya adalah Kristen, maka dapat mudah ditebak bahwa  para pelaku kejahatan korupsi adalah umat Kristen. Yang menjadi  pertanyaan adalah bukankah seluruh agama melarang dan membenci kejahatan  korupsi?
Bukankah Islam secara khusus mewajibkan pengikutnya,  untuk mencari harta yang halal? Bukankah Islam mewajibkan pengikutnya  untuk menjalankan amanah secara profesional? Bukankah Islam mengajari  umatnya untuk selalu mengingat Tuhannya minimal lima waktu dalam sehari?
Untuk  menjawab pertanyaan ini, saya yakin tidak ada kesulitan. Sebodoh apapun  orang dalam mengenal agamanya ia akan mengatakan tidak ada satupun  agama yang melegalkan kejahatan korupsi.
Perlu kita renungi  kembali sebagai bangsa yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Tuhan mengajari  kita berbagai ritual ibadah. Tentu Tuhan tidak bermaksud dengan ritual  tersebut “hanya” untuk memuaskan rongga batin yang sangat sulit diukur  dengan statistik. Ritual ibadah yang dimaksudkan Tuhan tidak hanya untuk  manusia dan diri-Nya saja, tetapi ritual yang mampu membawa kepada  perubahan diri dan sosial.
Allah Maha Kaya dan seluruh makhluk di  alam semesta semuanya fakir, butuh kepadanya (QS 35:15). Artinya kita  jangan sampai salah pengertian ketika melaksanakan ibdah itu berarti  Allah butuh kepada kita. Tentu tidak. Ibadah itu dimaksudkan adalah  untuk kita sendiri. Baik untuk kehidupan dunia dan akherat.
Di  antara sekian ritual ibadah yang diwajibkan bagi seluruh umat Islam yang  dewasa tanpa pengecualian dalam kondisi apapun adalah ibadah salat lima  waktu. Salat dikatakan sebagai tiang agama (HR Turmudzi No 2825). Siapa  yang mendirikan salat berarti ia menegakkan tiang agama, dan barang  siap menyia-nyiakan salat berarti ia merobohkan agama.
Kenapa  salat begitu penting dalam kehidupan beragama bagi umat Islam? Hal itu  karena Islam ingin menamkan kepada umatnya tentang nilai pengawasan  Allah kepada hambanya. Selalu ingat atas pengawasan Tuhannya yang tidak  pernah tidur (QS 20:14 ). Minimal nilai itu muncul dalam lima waktu.
Nilai  sosial ibadah
Antara rentang-rentang lima waktu itulah manusia  diharapkan mampu melakukan pengawasan diri sendiri yang bersumber dari  pengawasan Allah pada hamba ketika ia melakukan salat. Individu yang  mampu mengakses pengawasan Allah dengan baik dan sempurna dalam  salatnya, kemudian mampu mentransformasikan dalam pengawasan diri  sendiri dan pengawasan sosial dalam pekerjaan dan profesinya, maka sudah  bisa dipastikan ibadah itu akan menjelma menjadi ibadah antikorupsi.  Bagaimana tidak, ketika seseorang ada niatan untuk melakukan korupsi, ia  akan selalu merasa diawasi, baik oleh dirinya, sosialnya dan Tuhannya.
Ibadah  tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan spiritualitas pribadi tetapi juga  bagaimana mampu menjelma dalam hubungan pola interaksi sosial. Maka,  shalat bukan sekedar kepuasan ritual batin, atau bahkan hanya sekadar  ritual politik panggung. Yang terakhir ini kelihatannya mudah kita temui  pada saat Pemilu digelar. Para tokoh politik mencitrakan dirinya  sebagai colon-colon pembela umat yang pantas untuk dipilih. Namun ketika  mereka sudah terpilih, mereka tidak sungkan-sungkan untuk menggelar  sederetan sandiwara pembohongan dan penggarongan harta rakyat.
Berangkat  dari pencitraan diri yang dibuat-buat, tidak tulus dari lubuk hati yang  jernih, bukan ikhlas karena Tuhannya, maka tidak mengerankan jika  banyak pejabat kelihatan rajin salat bahkan berhaji tiap tahun, tetapi  rajin korupsi dan memanipulasi angka tiap anggaran tahunan.
Memang  tidak ada satu pun orang yang mengatakan simbul syariat seperti salat  dan haji serta syarat rukun sahnya suatu ibadah tidak penting. Tetapi  ada hal yang tidak kalah pentingnya untuk dipahami oleh umat. Yaitu  memahami esensi dari pelaksanaan suatu ibadah. Diantara esensi dari  pelaksaan ibadah salat adalah rasa akan selalu adanya pengawasan yang  melekat dan totalitas dalam kehidupan diri kita. Diantara esensi haji  adalah adanya sebuah pencerahan, perubahan yang positif dalam kehidupan  kita.
Sistem
Jadi kita setiap hari salat, namun nilai  pengawasan Allah tidak hadir dalam kehidupan kita sehari-hari, maka  perlu kita mengevaluasi kembali apa yang selama ini kita kerjakan.  Kesuksesan orang dalam mencapai kesalehan spiritual tidaklah dikatakan  berhasil, jika belum sukses dalam mencapai kesalehan sosial. Kesuksesan  spiritual yang pribadi itu tidak akan menjelma menjadi kesalehan sosial  yang memasyarakat jika tidak didukung oleh sistem yang membudayakan  ibadah antikorupsi.
Memahami pentingnya hal tersebut, Umar bin  Khoththob RA ketika menjabat sebagai kepala negara Islam saat itu,  membuat semacam surat edaran kepada seluruh gubernur. Surat itu  berbunyi, “Wahai seluruh wali negeri, sesunguhnya tugas yang kupandang  paling penting yang harus kamu kerjakan dengan seksama adalah urusan  salat. Maka barang siapa mengerjakan salat, niscaya ia memelihara  agamanya. Orang yang menyia-nyiakan salat maka ia akan lebih  menyia-nyiakan yang lain. Tidak ada bagian apa-apa dalam Islam bagi  orang yang meninggalkan salat (HR Malik dalam Muwaththo`, No 10).
Sudah  waktunya para pemimpin bangsa ini untuk mampu menjadi contoh dan mampu  menciptakan sistem yang membudayakan ibadah antikorupsi. Sehingga  berbagai tindak korupsi dan permainan terhadap hukum bisa segera disapu  bersih. Tanpa usaha serius dan ikhlas–-bukan karena sebuah pencitraan  dan kepentingan sesaat—bangsa ini kapan pun, dipimpin oleh siapa pun  tidak akan terbebas dari petaka korupsi dan permainan hukum.
Itu  artinya, harapan untuk mencapai kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh  rakyat Indonesa, hanya ada dalam dasar negara dan nyanyian Garuda  Pancasila. Sebagai penutup cukup kita renungkan firman Tuhan yang tahu  hari esok,“Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak khusus menimpa  orang-orang yang zalim saja di antara kamu” (QS 8:25). - Oleh : Moh  Abdul Kholiq Hasan Anggota Komisi Fatwa MUI Solo Dosen Pascasarjana  STAIN Surakarta
 Opini Solo Pos 5 Juni 2010
04 Juni 2010
Mengembangkan ibadah antikorupsi
Thank You!