03 Juni 2010

» Home » Kompas » Beranikah Dewan Keamanan PBB?

Beranikah Dewan Keamanan PBB?

Penyerangan tentara Israel terhadap kapal kemanusiaan Mavi Marmara pada Senin dini hari lalu melahirkan kecaman keras dari berbagai pihak.
Kapal yang berisikan para aktivis atau relawan kemanusiaan yang bermaksud memberikan bantuan kemanusiaan terhadap warga Palestina di Jalur Gaza yang mengalami blokade oleh Pemerintah Israel ternyata harus menghadapi kenyataan pahit menjadi target tindak kekerasan militer Israel. Sebanyak 600 aktivis termasuk 10 warga negara Indonesia (WNI) sempat ditahan oleh penguasa Israel. Dua WNI dikabarkan terluka dan harus menjalani perawatan intensif.
Sejak Israel memblokade Jalur Gaza untuk mengurangi ancaman kekerasan di wilayah Israel, sejumlah misi kemanusiaan yang merupakan gerakan masyarakat madani untuk membantu masyarakat Palestina yang menjadi korban dari aksi blokade memang telah meluncur ke wilayah Gaza. Namun, gerakan mereka selalu mengalami hadangan dari kekuatan militer Israel sehingga tak dapat menyuplai kebutuhan makanan dan obat-obatan masyarakat Palestina di Jalur Gaza.
Puncak dari peristiwa pengiriman bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza adalah terjadinya insiden Kapal Mavi Marmara. Gambar hasil video yang berhasil ditayangkan oleh media internasional memperlihatkan aksi kekerasan yang dilakukan militer Israel sehingga menimbulkan keprihatinan internasional. Lebih jauh lagi, berbagai pihak mengecam serangan militer Israel ke kapal kemanusiaan bermuatan masyarakat sipil, yang merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia.


Pemerintah Israel sendiri bersikeras bahwa tindak kekerasan dan penyerangan militer terhadap kapal tersebut dikarenakan Mavi Marmara dianggap telah melewati batas blokade di kawasan Jalur Gaza dan telah menerima peringatan keras dari Pemerintah Israel.
Sejumlah negara telah menginisiasikan agar PBB, khususnya Dewan Keamanan (DK), melakukan pertemuan khusus membahas kejadian ini sekaligus memberikan sanksi terhadap tindakan Israel. Bahkan, mulai muncul usulan untuk membawa Pemerintah Israel ke Mahkamah Internasional atau ke Peradilan Kejahatan Kemanusiaan.
Namun, pertanyaan utama adalah apakah PBB punya power yang cukup untuk dapat melakukan tekanan melalui aksi yang nyata untuk melakukan ”penghukuman” terhadap Pemerintah Israel yang dianggap melanggar Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia sesuai dengan semangat dalam Bab VII Piagam PBB.
Tindakan penghukuman
Sebagai sebuah bentuk collective security dan berdasarkan pernyataan dalam Bab VII Piagam PBB, PBB sebenarnya memiliki tugas dan kewajiban utama, yaitu ”menghukum” pihak-pihak yang dianggap melakukan tindakan yang mengganggu keamanan dan perdamaian internasional.
Dengan adanya kecaman dari masyarakat internasional, sebenarnya tindakan Israel terhadap kapal dengan misi kemanusiaan, Mavi Marmara, dapat dikategorikan sebagai tindakan agresi terhadap masyarakat sipil yang berada dalam kapal. Apabila ingin ditarik lebih jauh lagi serangan Israel terhadap Jalur Gaza sampai pada keputusan untuk memblokade Jalur Gaza juga dapat dianggap sebagai aksi negara agresor yang berdasarkan Bab VII Piagam PBB harus memperoleh tindakan penghukuman.
Tindakan penghukuman dimulai dari embargo ekonomi dan sanksi khusus sampai pada pembentukan pasukan multinasional untuk melaksanakan prinsip peace-enforcement. PBB juga dapat meminta pihak-pihak lain, misalnya organisasi regional, untuk melaksanakan tugas tersebut.
Pelaksanaan dari proses penghukuman pada Bab VII harus didasari Resolusi DK PBB. Langkah ini pernah dilakukan PBB ketika Irak melakukan invasi ke Kuwait tahun 1990. Dengan segera PBB mengeluarkan resolusi yang didukung penuh oleh AS untuk membentuk pasukan multinasional di bawah komando AS untuk melakukan serangan militer ke Irak dan menghalau pasukan Irak dari Kuwait.
Kemudian aksi pengeboman NATO terhadap Serbia tahun 1999 guna memberikan penghukuman terhadap Pemerintah Presiden Slobodan Milosevic sehubungan tindakan pembersihan etnis di Bosnia 1995 dan Kosovo 1998. PBB juga dapat membentuk peradilan kejahatan perang untuk mengadili pihak-pihak yang terbukti melakukan kejahatan kemanusiaan.
Misalnya, seperti ketika PBB membentuk International Criminal Tribunal on Yugoslavia di Den Haag yang berhasil mengadili Milosevic dan mengadili tertuduh penjahat perang Balkan, Radovan Karadzic, serta sejumlah petinggi militer Serbia. Kemudian pembentukan International Criminal Tribunal on Rwanda untuk mengadili pihak-pihak yang terbukti melakukan pembantaian etnis Tutsi pada konflik etnis Hutu-Tutsi di Rwanda tahun 1994.
Namun, mampukah PBB melaksanakan peace-enforcement terhadap Israel kemudian membentuk peradilan kejahatan perang yang akan mengadili para petinggi politik dan militer Israel? Tentu ini akan mengalami kendala besar. Keberhasilan peace-enforcement terhadap Irak dan Yugoslavia lebih dikarenakan PBB mendapat dukungan penuh dari AS dalam hal pembentukan pasukan multinasional dan juga peradilan kejahatan perang.
Namun, dalam kasus Israel, apakah AS mau melakukan hal yang sama? Kendati mulai terjadi perbedaan pendapat antara Pemerintah AS di bawah Obama dan pemerintahan Netanyahu, terutama dalam konteks masalah perluasan permukiman Yahudi di wilayah Palestina sejak tahun lalu, Israel tetap akan jadi sekutu terdekat AS.
Terlebih kekuatan lobi Yahudi senantiasa memengaruhi proses pengambilan keputusan di Kongres AS. Melahirkan resolusi DK PBB yang melicinkan jalan untuk melaksanakan peace-enforcement selain bagian dari pelaksanaan Bab VII Piagam PBB juga bagian penting dari pelaksanaan konsep humanitarian intervention (intervensi kemanusiaan) yang kemudian diperhalus jadi responsible to protect (perlindungan masyarakat sipil).
Dalam kasus penyerangan kapal kemanusiaan Mavi Marmara, persoalan utama yang lebih ditekankan sudah seharusnya lebih kepada masalah kemanusiaan sehingga semangat peace-enforcement memang akan lebih diarahkan dalam konteks upaya PBB untuk melakukan perlindungan terhadap masyarakat sipil atau responsible to protect.
Namun, upaya tersebut membutuhkan dukungan penuh tidak saja dari AS sebagai penyumbang dana dan pemilik kapabilitas militer terbesar untuk pelaksanaan operasi peace-enforcement, melainkan juga dukungan nyata khususnya dari negara-negara anggota PBB, terutama negara-negara Arab, untuk melakukan tekanan yang lebih keras terhadap Israel.
Namun, beranikah dunia internasional mewujudkan langkah tersebut? Terlebih, selama ini Israel tidak pernah tunduk sepenuhnya terhadap Resolusi DK PBB dalam konteks proses perdamaian dengan Palestina dan senantiasa melakukan pelanggaran. Dan, jangan lupa bahwa Israel juga memiliki kekuatan militer yang kuat yang harus dihadapi oleh pasukan multinasional PBB apabila terjadi proses peace-enforcement untuk membuka blokade Jalur Gaza.
Nurani Chandrawati Pengajar di Departemen Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI

Opini Kompas 4 Juni 2010