PARTAI Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)  pada 6-9 April mengadakan  kongres III di Bali. Salah satu agendanya adalah apakah tetap beroposisi  atau berkoalisi. Sikap itu muncul seiiring memudarnya sikap beberapa  partai politik (parpol) seperti Partai Golkar (PG), PPP dan PKS yang  selama ini berkoalisi dengan pemerintah tetapi saat voting dalam kasus  Bank Century mereka justru berseberangan. 
Mengambil pendapat Robert Michels dalam bukunya Political Parties, A  Sociological Study of  the Oligarchical Tendencies of Modern Democrazy  (1962) bahwa gambaran parpol-parpol di Indonesia saat ini memiliki sifat  oligarkis yaitu kekuasaan dipegang oleh beberapa orang.
Berdasarkan pandangan Michels tersebut maka ada baiknya kita setback  bahwa PDIP merupakan parpol lama yang berawal dari Partai Nasional  Indonesia (PNI) pada zaman Bung Karno dan menguasai jagad perpolitikan.  Buktinya pada Pemilu 1955, PNI mampu memperoleh dukungan suara 8.434.653  (22,32%) dan mendapatkan 57 kursi (22,18%). Keberadaan PNI merupakan  empat pilar kekuatan politik bersama Masyumi, Nahdlatul Ulama (NU), dan  Partai Komunis Indonesia (PKI).
Setelah Pemilu 1955 yang disebut sebagai pemilu paling demokratis,  Indonesia tidak menyelenggarakan pemilu karena kondisi politik saat itu  tidak stabil hingga 1971. Indonesia baru menyelenggarakan pemilu pada  awal pemerintahan Orde Baru. Hasil Pemilu 1971 menunjukkan bahwa  dukungan suara PNI turun dan hanya memperoleh 3.793.266 (6,93%) suara,   20 kursi. Turunnya suara PNI seiiring dengan melemahnya dominasi Bung  Karno dan menempatkan Golkar di peringkat 1 dengan meraih 34.348.673  (62,82%) suara setara dengan 236 kursi. 
Pemilu berikutnya (1977 sampai 1997) terjadi penyederhanaan parpol,  hanya melibatkan tiga partai yaitu PPP gabungan partai bernapaskan  keagamaan (Islam), Golkar, dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) gabungan  partai-partai nasionalis. Selama pemilu yang diselenggarakan oleh Orde  Baru itu, PPP dan PDI tidak pernah menang. 
Pemilu 1999, PDIP mampu memperoleh suara 33.706.618 (33,75%) dan meraih  153 kursi (33,12%). Sedangkan perolehan suara di Jateng 7.352.298  mendapat 39 kursi. PDIP terus mengalami pasang surut dan mengalami  konflik internal sampai setelah Pemilu 2004, hingga menyebabkan para  elite yang tidak sepaham dengan kelompok Megawati membuat partai baru,  yaitu Partai Demokrasi Pembaruan (PDP). 
Berdasarkan gambaran itu, dapat diindikasikan bahwa PDIP tidak solid.  Sampai saat ini partai itu tidak mempunyai tokoh sentral atau masih  berlindung di bawah kebesaran nama Megawati yang juga anak Bung Karno.
Oposisi atau Koalisi Megawati secara psikologis jelas tidak mempunyai chemistry dengan Susilo  Bambang Yudhoyono (SBY), karena Mega pernah menjadi presiden ke-5 dan  mantan atasan SBY. Sehingga, sepanjang Mega masih memimpin PDIP rasanya  sulit berkoalisi dengan pemerintahan SBY dan tetap memutuskan  beroposisi. 
Mengambil sikap oposisi akan memperkuat jatidiri untuk menumbuhkan  kepercayaan rakyat pada Pemilu 2014, makanya kalau sudah mengambil sikap  oposisi jangan setback, harus konsisten, dan terus melakukan kontrol  terhadap kekuasaan. Oposisi dapat diibaratkan semacam vitamin agar masa  depan demokrasi semakin sehat.
Jika PDIP ingin mengambil sikap berkoalisi, maka harus dicermati bahwa  koalisi cenderung bagi-bagi kue jabatan, sehingga koalisi menjadi tidak  efektif. Dalam koalisi sebaiknya platform dan program harus sama dan  dapat mengamankan kebijakan. Jelas kondisi ini bertentangan. Karena  Indonesia menganut sistem presidensiil bukan parlementer, sehingga tidak  perlu ada koalisi karena koalisi hanya akan melahirkan praktik politik  dagang sapi.
Bagaimana peluang Megawati pada masa yang akan datang? Masalahnya,  sekarang usia Mega semakin tua dan di internal partai belum ada  kaderisasi bahkan jika sekarang diamati pada anatomi PDIP terdapat  kelompok ideologis (Megawati) dan pragmatis (Taufik Kiemas). Apakah  partai itu  akan selamanya tergantung pada figur Mega dan Taufik yang  saat ini ada dalam lingkaran pemerintahan SBY sebagai Ketua MPR? 
Jika hasil kongres III nanti partai itu masih dipimpin oleh Mega  dan  dia dicalonkan menjadi presiden pada Pemilu 2014, apakah masih layak?  Pasalnya hasil Pemilu 2004 dan Pemilu 2009, menunjukkan perolehan suara  partai itu cenderung menurun.  Pemilu Legislatif (Pileg) 2004 suara PDIP  menurun dibandingkan hasil Pemilu 1999, yaitu memperoleh 21.026.629  (18,53%) suara dan mendapat 109 kursi (19,82%). Sedangkan perolehan  suara di Jateng 5.262.749 dan mendapat 31 kursi.
Pileg 2009 perolehan suara PDIP cenderung menurun lagi dibandingkan  Pemilu 1999 dan Pemilu 2004, yaitu hanya memperoleh suara 14.600.091  (14,03%) dan jumlah kursinya 93 (16,61%). Sedangkan perolehan suara di  Jateng 3.438.306 dan mendapat 23 kursi.
PDIP pada Pilpres 2004 hanya mampu memperoleh suara 44.990.704 (39,38%)  pada putaran II. Perolehan suara di Jateng 8.991.744 (48,33%). Pada  Pilpres 2009 perolehan suaranya cenderung menurun dibandingkan 2004  yaitu mendapat 32.548.105 (26,79%) suara. Perolehan suara di Jateng juga  cenderung menurun dibandingkan Pilpres 2004, yaitu sebesar 6.694.981  (38,28%). Sedangkan pada Pilgub Jateng 2008 pasangan gubernur dan wakil  gubernur yang diusung oleh PDIP memperoleh suara 6.084.261 (43,44%).
Jadi keputusan dalam kongres III untuk tetap beroposisi atau berkoalisi  sangat menentukan masa depan partai dan perolehan suara pada Pemilu  2014.  Nasib PDIP terpulang pada elitenya, mau dibawa ke mana.(10)
— Doktor Ari Pradhanawati, dosen FISIP Universitas Diponegoro
Wacana Suara Merdeka 5 April 2010