04 April 2010

» Home » Suara Merdeka » Dikotomi Mal dan Pasar Tradisional

Dikotomi Mal dan Pasar Tradisional

PASAR dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia WJS  Poerwadarminta yang klasik itu diartikan sebagai tempat orang berjual beli, sebuah formulasi  pengertian yang sangat mendasar dan sederhana. Dalam perkembangannya sekarang pasar bukan lagi hanya sebuah tempat bertransaksi yang terikat hukum-hukum  supply and demand (penawaran dan permintaan).

Dalam disiplin posmo yang menjadi referensi banyak pemikir dewasa ini, pasar dapat juga diartikan secara lebih luas, misalnya sebuah wacana, sebuah konsep, sebuah kekuatan yang menawarkan gagasan baru yang  barangkali  sangat bertolak belakang dengan pengertian-pengertian sebelumnya atau yang telah mapan.


Dalam kamus kaum kapitalis, pasar adalah kekuatan utama yang bukan hanya menjadi trigger atau penekan suatu kesepakatan transaksional, tapi pasar juga menjadi alat untuk mengendalikan selera konsumen, publik atau masyarakat . Dengan kata lain, dalam masyarakat yang telah terkooptasi  ideologi kapitalisme, pasar telah menjadi kiblat seberapa jauh harga dan nilai suatu objek, bahkan seandainya objek itu bernama manusia.

Dalam hiruk-pikuk dunia pasar itulah kita sekarang berada dan ’’terbentuk’’. Lihat saja gaya hidup masyarakat yang berubah akibat hasutan iklan: mulai pencitraan diri, sampai aksesori.

Mana orang yang tidak merasa menjadi manusia jelata jika tidak punya telepon genggam? Mana orang yang tidak merasa modern jika tidak makan ayam goreng Kentucky, sosis, atau hotdog. Mana orang yang tidak merasa modis jika belum bersolek dengan harum parfum dan pakaian berlabel. Mana ada anak muda merasa modern jika tidak naik motor atau mobil, ngefans artis yang lagi ngepop, atau tenggelam dalam dunia dugem?

Bahkan ibu-ibupun tidak merasa pede jika datang ke arisan tidak membawa Blackberry atau yang mirip dengan itu, keramas dengan  sampo merk anu, pakai gincu merk ini, pakai bedak merk itu! Padahal, dulu-dulunya hidup mereka tidak pernah repot atau pikiran menjadi sewot tanpa kehadiran macam-macam merk kosmetik dan semua aksesoris itu.

Tekanan pasar juga telah merubah perangai manusia menjadi serakah, menjadi homo homini lupus. Atas nama pasar bebas permainan harga dilegalkan, fluktuasi dibenarkan, aksi dumping dizinkan. Impor minyak, impor kedelai, impor buah, bahkan impor  mebel, batik, sandal jepit, sapu plastik, sampai jamu  dan bermacam produk karya perajin lokal yang mestinya diproteksi pemerintah, dibiarkan merajalela diimpor dan dipasarkan di sembarang pasar tradisional.

Entah bagaimana nanti nasib perajin gerabah, penganyam  bambu, penjual sapu lidi dan pedagang singkong atau pedagang sayur-mayur melawan kekuatan pasar modern, mal, swalayan atau mart-mart yang saat ini telah menginvasi kampung-kampung  dan desa-desa di seluruh penjuru kota. Yang juga sangat mengkhawatirkan  kita adalah kekuatan pasar maya melalui teknologi informasi, yang dengan gampangnya dapat dimiliki siapa pun dengan harga murah.

Tak Pernah Kehabisan

Kembali pada persoalan pasar (konkret),  nampaknya sebagian besar masyarakat kita masih menyukai berbelanja di pasar-pasar tradisional. Orang masih bisa nyang-nyangan (tawar-menawar) daripada berbelanja di pasar modern yang harga-harganya sudah dibanderol, tidak bisa ditawar-tawar.
Lihat saja keramaian pasar Johar, Peterongan atau Pasar Bulu, Semarang. Meskipun harus uyel-uyelan, ruas jalan dan  lapak sempit tak beraturan  dan dengan  baunya yang  kadang masya Allah,  pasar-pasar tradisional itu tidak pernah kehabisan pembeli.

Dalam nuansa yang spesisfik seperti itu orang bisa berinteraksi secara natural, penjual dan pembeli merasa memperoleh keadilan harga melalui tradisi dol tinuku yang merakyat. Pasar tradisional  merupakan ruang publik yang masih benar-benar tersisa dan menjadi milik masyarakat, yang akan hilang kemerdekaan dan kemandiriannya itu begitu ia disulap menjadi pasar modern berupa mal, swalayan, supermarket, hypermart, dan sebagainya.

Barangkali begitulah filsafat yang tersirat di balik penolakan para pedagang Johar menolak renovasi. Mereka bukan hanya khawatir tergusur dari lapaknya begitu renovasi selesai, tapi lebih karena dorongan nurani, insting atau  hasrat alami yang sulit diformulasikan melalui kata-kata atau argumentasi. Jadi,  silahkan saja memakai pasar untuk berkampanye atau menjadikan pasar sebagai objek  proyek proposal. Asal pasar, pembeli dan penjual tidak dijadikan tumbal.(10)

— Djawahir Muhammad, budayawan. tinggal di Semarang

Wacana Suara Merdeka 5 Maret 2010