02 April 2010

» Home » Kompas » Mitos Menolak RPP Rokok

Mitos Menolak RPP Rokok

Setelah sempat dihilangkan, ayat tembakau dalam Pasal 113 Ayat (3) UU Kesehatan yang menjustifikasi tembakau sebagai zat adiktif, kini pengaturan pengendalian dampak merokok kembali diganjal. Dengan dalih surplus ekonomi tembakau, ada kalangan yang menolak Rancangan Peraturan Pemerintah Pengamanan Produk Tembakau sebagai Zat Adiktif bagi Kesehatan yang disiapkan Kementerian Kesehatan. Padahal, isinya hanya melanjutkan perintah UU Kesehatan.
Ironisnya justru sektor nonkesehatan, seperti kementerian industri, perdagangan, dan pertanian, dengan dalih dan mitos ekonomi tembakau, menolak (sebut saja) RPP Rokok. Seakan menutup mata hati atas kerugian ekonomi dan biaya kesehatan yang mesti dibayarkan lewat APBN, dampak tembakau terhadap kesehatan yang terbukti berlipat kali. Hasil studi Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Ekonomi Tembakau, dan studi Bank Dunia tentang tembakau telah meruntuhkan mitos manfaat ekonomi tembakau itu. Malah menciptakan rantai kemiskinan bagi kaum miskin.


Pengeluaran rokok bagi rumah tangga miskin mencapai Rp 117.624 per bulan, sedangkan pendapatan masyarakat miskin tertinggi kedua digunakan untuk membeli rokok, yaitu 12,4 persen dari pendapatan, sehingga dana untuk konsumsi gizi dan pendidikan tergusur. Menurut Ketua Koalisi untuk Indonesia Sehat Prof dr Firman Lubis, keuntungan industri rokok sekitar Rp 13 triliun, sementara kerugian yang ditimbulkan mencapai Rp 42 triliun lebih. Kerugian itu dibayar lewat biaya kesehatan dalam APBN. Alhasil, uang rakyat ”tercuri” lewat konsumsi rokok yang eksploitatif.
Namun, petani tembakau selalu menjadi dalih menolak RPP Rokok, bahkan saat membahas ayat tembakau dalam RUU Kesehatan. Padahal, versi data BPS, jumlah petani tembakau cenderung menurun 40 persen, dari 913.000 tahun 2001 menjadi 582.000 tahun 2007. Data ekspor impor menunjukkan bahwa selama 17 tahun (1990-2007) terjadi kecenderungan peningkatan nilai impor daun tembakau, bahkan Indonesia juga mengimpor tembakau dari Singapura. Pada tahun 2007, Indonesia defisit 97 juta dollar AS dalam perdagangan daun tembakau. Selain akibat (cukong) impor, petani tembakau juga tereksploitasi akibat adanya cukong (tengkulak) tembakau dalam negeri. Harga tembakau dibeli murah oleh para tengkulak dan dijual mahal kepada pabrik rokok (kompas.com, ”ITCN Tolak Intervensi Industri Rokok”, 24 Februari 2010).
Dari sisi ekonomi kesehatan, merokok merenggut kesehatan rakyat dan berbiaya tinggi. Sebab, dalam kandungan setiap batang rokok terdapat lebih kurang 4.000 zat kimia, antara lain nikotin yang bersifat adiktif dan tar yang bersifat karsinogenik. Zat yang sudah secara faktual mengakibatkan penyakit kanker, penyakit jantung, impotensi, penyakit darah, enfisema, bronkitis kronik, dan gangguan kehamilan. Ini biaya tinggi ekonomi kesehatan bagi rakyat.
Iklan rokok
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menegaskan bahwa rokok adalah pembunuh yang akrab di sekeliling korbannya, dengan iklan rokok yang melampaui akal sehat. Setiap enam detik, satu orang meninggal karena merokok. Ini adalah penyebab kematian yang berkembang paling cepat di dunia di atas semua penyakit lain.
Anehnya, walaupun rokok bersifat adiktif dan karsinogenik serta mematikan, iklan rokok masih dibenarkan, bahkan digelar agresif dengan strategi pencitraan yang menyesatkan.
Sasarannya anak-anak dan remaja agar menggantikan perokok lama yang sadar atau meninggal. Anak-anak adalah substitusi sekaligus perokok baru yang loyal dan jangkar keberlanjutan industri rokok. Iklan, promosi, dan sponsorship adalah mediumnya.
Kalau iklan rokok tidak dilarang, akan meningkatkan prevalensi anak-anak merokok, semakin rendahnya usia anak merokok, dan tidak dapat berhentinya anak-anak (dan remaja) dengan segenap implikasinya terhadap hidup, kelangsungan hidup, dan tumbuh kembang anak.
Industri rokok multinasional yang kini merupakan produsen rokok terbesar di Indonesia menggarap anak dan remaja dengan pernyataan berikut ini: ”Remaja hari ini adalah calon pelanggan tetap hari esok..., pola perokok remaja penting bagi kami”. (Fact Sheet Departemen Kesehatan dan WHO, 04/2/2004)
Indonesia yang hingga kini belum meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) menjadikan Indonesia satu-satunya negara di Asia Pasifik yang belum meratifikasi konvensi global ini. FCTC melarang secara komprehensif iklan, promosi, dan sponsor rokok. Komisi Penyiaran Indonesia masih tidak melarang iklan promosi rokok, padahal Pasal 46 Ayat (3) huruf b UU Penyiaran melarang promosi zat adiktif.
Haruskah menafikan RPP Rokok dengan mitos ekonomi tembakau yang sudah usang dan runtuh? Saya merasakan adanya campur tangan Tuhan yang mengatur kembalinya ayat tembakau ke pangkuan UU Kesehatan. Dengan spirit transendental itu pula, kehendak politik Menteri Kesehatan mengegolkan RPP Rokok ibarat misi suci kemanusiaan menyelamatkan kehidupan dari tembakau yang membunuh.
Muhammad Joni Wakil Ketua Komnas Perlindungan Anak; Koordinator Lawyer Committee on Tobacco Control

Opini Kompas 3 April 2010