02 April 2010

» Home » Kompas » Kembali ke Khitah yang Belum Selesai

Kembali ke Khitah yang Belum Selesai

Muktamar Nahdlatul Ulama di Makassar yang baru berakhir cukup mencekam. Terutama tentang pemilihan Rais ’Am NU.
Posisi ini memang sangat penting. Rais ’Am bukan sekadar jabatan tertinggi dalam struktur kepengurusan jam’iah NU, tetapi juga sebagai simbol wibawa ulama di kalangan santri di lingkungan jamaah NU. Posisi dan wibawa Rais ’Am di lingkungan jemaah nahdliyin bagaikan seorang kiai di lingkungan pesantren. Oleh karena itu, tak terbayangkan apabila posisi Rais ’Am diperebutkan sebagaimana terjadi dalam organisasi politik yang biasanya tidak bebas dari trik dan intrik.
Memang, munculnya persaingan untuk menduduki jabatan Rais ’Am bukan kali ini saja terjadi, tetapi telah terjadi dalam muktamar NU sebelumnya ketika Gus Dur mencalonkan diri untuk posisi Rais ’Am. Akan tetapi, pemilihan Rais ’Am kali ini dihangatkan oleh sejumlah isu yang membuat banyak orang sesak dada dan merasa cemas. Syukurlah ketidakbersediaan KH Hasyim Muzadi untuk maju ke pemilihan Rais ’Am dengan melalui mekanisme voting memberi jalan bagi keterpilihan KH Sahal Mahfudz selaku Rais ’Am NU secara aklamasi dan membuat cuaca muktamar lebih sejuk.


Suasana sejuk setelah pemilihan Rais ’Am membuat pemilihan Ketua PB Tanfidziyah NU berlangsung lebih lancar dan tidak terlalu emosional. Keterpilihan Said Aqil Siradj sebagai sosok ulama NU yang dari segi keilmuan cukup mumpuni dan dari segi pemikiran cukup terbuka pada keragaman pendapat cukup memberikan harapan. Selaku pendamping, KH Sahal Mahfudz akan membuat pimpinan NU tidak akan terjebak dalam godaan politik dan terlibat dalam kontroversi antara generasi tua dan generasi muda.
Kembali ke khitah
Satu hal yang mungkin perlu direnungkan kalangan nahdliyin adalah munculnya kembali seruan untuk kembali kepada khitah. Tidak kurang dari Rais ’Am sendiri, KH Sahal Mahfudz, yang berulang kali menyuarakan ungkapan ini. Tekad untuk kembali ke Khitah dikumandangkan menjelang muktamar NU di Situbondo tahun 1984. Muktamar yang memilih KH Ahmad Siddiq selaku Rais ’Am dan Gus Dur selalu Ketua PB Tanfidziyah NU memutuskan bahwa NU kembali menjadi organisasi sosial keagamaan, tidak lagi melibatkan diri dalam kegiatan politik praktis.
Akan tetapi, ketersentuhan NU dengan politik tidak berlangsung mulus seperti dibayangkan sebelumnya. Kehadiran Orde Reformasi yang membuka ruang yang lebih luas bagi keterlibatan politik warga negara melahirkan euforia politik dengan segala plus-minusnya. Boleh jadi suasana seperti ini yang membuat proses kembali ke khitah tidak sampai tuntas.
Pada masa NU berkiprah sebagai organisasi sosial keagamaan, agaknya tidak terjadi saling rebut posisi kepemimpinan organisasi. Mereka tidak mengenal lembaga tim sukses ataupun baliho dan pamflet saling memuji diri dan merendahkan pihak lain. Apalagi praktik mirip-mirip politik uang. Apa yang terjadi sering kali justru saling menolak untuk maju dan saling menyilakan tokoh lain untuk memimpin organisasi.
Ke depan mungkin kepengurusan NU yang akan datang perlu memikirkan proses pemilihan Rais ’Am dan Ketua Umum PB Tanfidziyah NU yang lebih sesuai dengan posisinya sebagai jam’iyah keagamaan dan sebagai organisasi kemasyarakatan.
Menjaga martabat ulama
Sebagai jam’iyah keagamaan posisi Rais ’Am sangat sentral. Ia tidak hanya sekadar pucuk pimpinan kepengurusan, melainkan juga sebagai simbol perserikatan ulama. Segi senioritas dalam keilmuan dan pengalaman seharusnya melekat pada posisi Rais ’Am NU. Sangatlah tidak pada tempatnya apabila posisi Rais ’Am diperebutkan. Karena itu, sebaiknya pemilihan Rais ’Am tidak dilakukan terbuka dan para pemilihnya terbatas hanya oleh ketua-ketua Syuriah wilayah dan para Rais serta A’wan Syuriah Pusat. Untuk memelihara kerahasiaan pemilihan Rais ’Am, para ketua Syuriah dan Rais serta A’wan Pusat hendaknya dikarantina dalam suatu tempat sampai mereka berhasil memilih Rais ’Am.
Berbeda dengan pemilihan Rais ’Am, pemilihan Ketua Umum PB NU seyogianya dilakukan secara terbuka. Namun, mestinya perlu dibedakan dengan pemilihan ketua partai politik. Boleh jadi proses pemilihannya sudah dilakukan sejak sebelum Muktamar. Dilakukan penjaringan calon pengurus PB Tanfidziyah NU sebagai lembaga kolektif. Mungkin perlu dibakukan jumlah PB NU. Maka, yang dilakukan kemudian dalam muktamar adalah pemilihan sejumlah anggota PB NU dan Ketua Umum PB Tanfidziyah diambil calon yang memperoleh suara terbanyak calon-calon yang terpilih. Dengan menghindari pemilihan terbuka yang bersifat mengadu para calon Ketua Umum PB NU, solidaritas dan suasana kolegial para tokoh NU bisa terpelihara.
Melanjutkan terobosan
Keterpilihan KH Said Aqil mengingatkan saya kepada Gus Dur. Menjelang kepulangan KH Said Aqil dari studinya di Universitas Ummul-Qura, Mekah, Gus Dur sudah banyak bercerita tentang KH Said Aqil, bukan tentang pribadinya, melainkan tentang disertasinya. Gus Dur memang berharap banyak kepada KH Said Aqil. Dia mengajak saya ke Bandara Cengkareng menyambut kepulangan KH Said Aqil. Boleh jadi kita bisa berharap KH Said Aqil akan bisa menghidupkan kembali semangat Gus Dur untuk membangun NU yang dinamis dan kreatif, terbuka, tetapi tidak meninggalkan akarnya. Terutama dalam kegairahan menghidupkan tradisi keilmuan.
Salah satu langkah awal yang diambil Gus Dur ketika dia terpilih sebagai Ketua Umum PB NU adalah meminta KH Masdar Mas’udi menyelenggarakan telaah kembali kitab-kitab klasik. Gus Dur ingin memberi makna pada nama jam’iyah: Nahdlatul Ulama, kebangunan para ahli ilmu. Kegiatan itu tidak hanya menggairahkan kalangan kiai muda, tetapi juga meresahkan sementara kiai tua. Gus Dur pasang badan untuk melindungi kemunculan studi kritis yang dilakukan oleh para kiai muda.
Yang menarik adalah sikap KH Sahal Mahfudz yang mengambil posisi menjembatani antara yang bergairah dan yang resah. Karenanya pasangan KH Sahal Mahfudz dan KH Said Aqil Siradj cukup memberikan harapan apa yang pernah dirintis Gus Dur bisa dilanjutkan. Dan hal ini disadari benar oleh KH Aqil Siradj, seperti tersirat dalam bisikannya kepada saya bahwa ia akan membuka kembali apa yang tertutup setelah Gus Dur lengser dari jabatan Ketua Umum PB NU.
NU adalah sebuah organisasi besar. Potensinya sangat dahsyat. Generasi muda nahdliyin sangat potensial. Sangat kaya dan bervariasi. Generasi terdidik yang ada di dalamnya sangat majemuk latar belakang pendidikan dan pengalaman intelektualnya, dari yang sangat konservatif hingga yang sangat liberal. Yang diperlukan adalah pimpinan yang tidak saja pintar ”ngomomg”, tetapi juga harus pandai ”ngemong”, yang mampu mengarahkan dan bukan menghambat kegairahan pemikiran di kalangan generasi muda Nahdliyin.
Djohan Effendi Ketua Umum Indonesian Conference on Religion and Peace

Opini Kompas 3 April 2010