02 April 2010

» Home » Kompas » Melampaui Moralitas

Melampaui Moralitas

Sudah sejak awal, Paskah menimbulkan kontroversi. Paskah dirayakan di tengah kontroversi. Kubur yang kosong sebenarnya bukan bukti yang tak terbantahkan bahwa Yesus bangkit. Kubur tersebut kosong karena boleh jadi dia memang dikosongkan sebab orang telah mencuri jenazahnya. Ini versi yang beredar di kalangan para pemimpin politik dan agama saat itu.
Kontoversi itu terutama berkaitan dengan kredibilitas moral pribadi Yesus dari Nazaret. Apakah orang ini, yang pantas dijatuhi hukuman mati sebagai penjahat politik dan orang terkutuk dari komunitas agama, dapat dibangkitkan Allah untuk menjadi saksi kemuliaan dan kekudusan-Nya? Apakah Yesus yang tidak mengindahkan batas-batas moral yang telah dijaga dalam masyarakat pantas diakui sebagai duta istimewa Allah?


Moralitas yang direpresi
Paskah adalah perayaan kebangkitan Yesus yang menegaskan bahwa ada kehidupan setelah kematian. Namun, bagi tidak sedikit orang tema ini tidak relevan dan tidak menarik. Tidak relevan karena dipandang dapat menghalangi daya juang manusia untuk terlibat penuh dalam kehidupan sekarang. Tidak menarik sebab ketiadaan basis empiris apa pun.
Argumen untuk membela keberlanjutan kehidupan pasca-kematian antara lain didasarkan pada pertimbangan moral. Kant berbicara mengenai harapan seperti itu sebagai basis setiap tindakan moral.
Pertanyaan dasar bagi setiap insan bermoral menurut Kant adalah ”Bagaimana aku boleh mengharapkan bahwa aku, apabila sudah berlaku sedemikian sehingga aku layak memperoleh kebahagiaan, akhirnya sungguh memperoleh kebahagiaan itu?” Jawabannya adalah harapan akan adanya kehidupan pasca-kematian. Menurut Kant, hanya di dalam dunia yang nanti itu kelayakan untuk mendapat kebahagiaan karena telah bertindak benar secara moral, sungguh mendapat padanannya.
Namun, oleh sebagian orang, keyakinan akan kehidupan setelah kematian justru dipandang sebagai pengerdil kedaulatan manusia sebagai insan bermoral. Atas nama kedaulatan moral yang dilansir Kant, orang menolak gagasan adanya kehidupan setelah kematian sebab dalam bingkai keyakinan ini moralitas didasarkan pada ketakutan akan apa yang terjadi setelah kematian. Tuhan yang memeriksa kelayakan manusia setelah kematian dijadikan sarana kontrol untuk mendisiplinkan umat. Manusia hanya menjadi tawanan yang tidak pernah bebas dari rasa takut.
Ketaatan dalam beragama, kepatuhan mengikuti perintah komunitas religius dipandang sebagai kesempatan untuk memperoleh tiket bagi kehidupan yang akan datang. Kebahagiaan atau hukuman pasca- kematian adalah jualan yang menarik dan sarana ampuh untuk menggenggam kesetiaan para pengikut. Manusia dibawa pergi dari dunia sekarang dengan membuatnya terobsesi pada apa yang akan datang. Karena obsesi pada kehidupan yang dijanjikan itu, ada orang yang tega membunuh orang lain.
Prioritas solidaritas
Terlampau sering agama-agama direduksi semata sebagai sarana pendisiplinan moralitas. Agama dilihat sebagai guru yang mengajarkan, polisi yang mengawal dan hakim memutuskan apa yang mesti dilakukan secara absolut. Karena itu, dekadensi moral adalah kegagalan agama. Jatuhnya kredibilitas moral agama-agama dijadikan alasan untuk menjelaskan kehancuran tatanan etika masyarakat.
Kelompok yang menghendaki warga yang tertib dan patuh memanfaatkan agama sebagai perpanjangan kepentingannya. Mental kepatuhan yang dipelihara dalam agama-agama dijadikan kerangka untuk membina ketaatan warga terhadap rezim politik yang berlaku.
Masalahnya, ketika agama direduksi hanya sekadar sebagai kekuatan moral, dia menunjukkan wajahnya yang inhuman. Agama seperti ini menarik garis pemisah antara mereka yang dipandang bermoral dan umat yang dinilai tidak bermoral. Yang tidak bermoral disamakan dengan penjahat. Karena agama berurusan dengan yang kudus, maka dia dituntut untuk menjauhkan diri dari semua orang yang tidak bermoral dan menyangkal semua hubungan dengan mereka.
Menurut keyakinan Kristen, peristiwa Paskah adalah langkah Allah untuk mencabik tirai pemisah antara ruang kudus atau keramat dan ruang umat ma- nusia yang tidak bermoral. Allah telah menjadi solider secara radikal dengan manusia, dengan merasakan akibat dosa. Yesus adalah saksi bahwa Allah justru masuk ke dalam tempat kutukan, tempat yang paling berlawanan dengan tempat keramat.
Allah turun ke dalam dunia dan menerima dunia sampai ke dasarnya yang terdalam dan terjahat. Karena itu, manusia yang lain, juga yang paling hina (dan jahat) sekalipun, merupakan tempat perjumpaan dengan Allah. Solidaritas dengan manusia berarti bersatu dengan Allah dan sebaliknya dipisahkan atau memisahkan diri dari manusia berarti terpisah dari Allah.
Beriman memang tidak dapat dilepaskan sama sekali dari tanggung jawab moral. Kontribusi agama-agama bagi dunia adalah seruan moral yang perlu terus- menerus dikumandangkannya. Namun, bagi agama-agama itu sendiri, iman bukan pertama-tama soal kepantasan moral. Agama-agama pertama-tama hadir sebagai tanda bahwa yang Ilahi berbela rasa dengan manusia. Moralitas religius hanya dapat dibangun di atas iman akan solidaritas Allah.
Budi Kleden Dosen Teologi pada STFK Ledalero, Maumere, Flores

Opini Kompas 3 April 2010