21 April 2010

» Home » Okezone » Membongkar Otak Birokrasi

Membongkar Otak Birokrasi

SEWAKTU Ibnu Soetowo terlibat kasus di Pertamina (1974), Presiden Soeharto memutuskan untuk menarik seluruh pengelolaan keuangan Pertamina ke Departemen Keuangan.

Sejak saat itu, Pertamina yang semula dikelola secara bisnis dan kulturnya sangat entrepreneurial dan dinamis berubah menjadi tak ubahnya badan pemerintah lain: birokratis dan stabil. Reinvestasi aset dan usaha-usaha baru yang dulu begitu gencar dilakukan Ibnu hilang sama sekali. Harap diingat, Ibnu membangun Pertamina dari segala kesulitan dan keterbatasan. Dia memutar otak dan memasarkan by-products yang tak ada harganya menjadi bernilai. Karbon yang dibuang dijadikan uang, gas yang hanya dibakar ditangkap menjadi LNG dan LPG. Kantor dibangun dan segala kesulitan pemerintah membangun fasilitas publik dipecahkan dengan uang Pertamina.



Sayangnya, kewirausahaan yang tinggi kala itu tak diimbangi panel kontrol akuntansi keuangan yang memadai. Ibnu pun terperangkap utang dan penyalahgunaan kekuasaan. Dia pun diturunkan dari Pertamina. Dinamika kewirausahaan yang ritmenya tinggi berubah menjadi sangat tenang. Semua orang bekerja rutin. Uang penjualan minyak langsung masuk ke kas negara. Pertamina dipegang birokrat senior yang sangat hierarkis, controlling (mengendalikan), patuh pada pemerintah dan SDM-nya dikelola persis seperti di departemen-departemen pemerintah. Evaluasi dilakukan dengan alat yang dikenal dengan DP3––yang mengedepankan unsur loyalitas.

Ketika Indonesia memasuki era persaingan bebas, desain seperti itu ternyata menjadi masalah besar. Lima tahun terakhir ini Pertamina mati-matian mengubah kulturnya. Saya melihat hasilnya mulai kelihatan. Hal serupa juga terjadi di Bank Mandiri dan Garuda Indonesia. Uji coba perubahan juga dilakukan pemerintah di Departemen Keuangan, tetapi sayang Gayus dan teman-temannya membalikkan impian Sri Mulyani memiliki birokrasi baru yang bersih dan berwibawa. Bisakah kita membongkar otak birokrasi?

PGPS

Birokrasi yang rutin dan tenang adalah produk dari desain organisasi pemerintahan yang politiknya terkendali dan mekanisme pasarnya terpasung. Itulah masa-masa cocok untuk orang-orang yang menghendaki konsistensi, bekerja dengan tradisi, tidak perlu banyak berpikir karena sudah dipikirkan atasan masing-masing. Kepatuhan menjadi andalan setiap atasan dalam memimpin dalam era Orde Baru, desain birokrasi yang demikian menghasilkan banyak kemajuan. Namun menjelang reformasi, desain seperti itu menimbulkan banyak masalah.

Satu per satu persoalan terungkap. Mulai dari korupsi yang merajalela, servis yang buruk, ketidaktanggapan birokrasi dalam menghadapi bencana sampai ketiadaan kerja sama antara lembaga negara dan ketidakmampuan melakukan self correction. Dari penanganan bencana tsunami sampai konflik di kepolisian dan markus yang merajalela di badan-badan penegakan hukum, sungguh memprihatinkan. Di birokrasi istilah PGPS (pintar–goblok penghasilan sama) atau RMS (rajin malas sama) telah menjadi beban bagi orang-orang yang mengejar prestasi. Tidak mengherankan bila anggaran negara habis dipakai sebagai uang proyek yang dibagi-bagi di antara sesama PNS untuk menopang kesejahteraan.

Dalam situasi seperti itu ternyata tidak banyak pemimpin yang peduli menciptakan perubahan. Sebagian besar justru menunggu agar perubahan didorong atasan-atasannya atau departemen/kementerian lain. Tidak aneh bila reformasi birokrasi berjalan di tempat dan hanya Menkeu yang berhasil memperbaiki sistem remunerasi di jajaran birokrasinya.

Merombak Cara Berpikir

Benar bahwa perubahan memerlukan sistem yang kompleks. Namun sangat tidak bijak bila para pemimpin berpura-pura tidak tahu bahwa perilaku dan desain otak para aparat di bawah departemen masing-masing menjadi tanggung jawabnya. Sangat tidak bijak bila mereka menunggu sampai peraturan perundang-undangan lengkap dan tersedia. Sebagai manajer, tiap menteri dan kepala lembaga perlu segera menata cara berpikir staf dan aparat di bawahnya.

Cara berpikir harus diubah dengan mengenali gaya lama seperti yang tampak dalam pola tradisional, rutin, sekadar ada, melayani atasan dan kekuasaan, menghabiskan anggaran, dan mentalitas menunggu. Saya pernah memperkenalkan metode from-to dalam buku cHaNgE! yang saya tulis untuk membantu eksekutif mengidentifikasi perubahan dan melihat kontras. Dari situ mereka perlu diajak melihat cara berpikir baru, yaitu menjadi birokrasi yang melayani rakyat, bekerja cepat, proaktif, menciptakan produktivitas, dan berorientasi pada tindakan. Tentu saja hal itu tidak dapat dilakukan semata-mata dengan pidato, ceramah, atau seminar. Juga tidak bisa dengan surat edaran saja. Semua itu harus disatupadukan dengan grand strategy perubahan yang berisi tentang arah perubahan.

Membongkar otak harus dibangun dengan strategi yang terarah, bukan dengan sekadar langkah coba-coba, comot sana-comot sini. Perubahan ini memerlukan upaya yang sistematis, mulai dari pencerahan sampai pemantauan. Pembentukan agen-agen perubahan di sela-sela proses perubahan dijalankan dengan teknik-teknik yang tepat. Pengalaman yang terjadi di Bank Mandiri dan Pertamina menunjukkan adanya upaya serius dari setiap atasan untuk menerapkan perubahan secara sistematis dan terarah. Perusahaan tentu memiliki karakter yang berbeda dengan badan-badan publik.

Selain lebih terbuka (open system), risiko yang dihadapi pemimpin dalam mengambil inisiatif memang lebih besar. Namun ini bukanlah penghalang bagi birokrasi untuk segera melakukan perubahan. Saya percaya, membongkar otak birokrasi sudah sangat mendesak. Jangan tunggu sampai semua landasan hukum tersedia, tetapi siapkanlah cara berpikir baru yang lebih responsif, proaktif, bertanggung jawab, dan lebih bersih.(*)

RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI

Opini Okezone 22 April 2010