21 April 2010

» Home » Kompas » Menunggu (Ang)-Godot II

Menunggu (Ang)-Godot II

Kasihan juga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kita masih ingat pelaksanaan National Summit, 29-31 Oktober. SBY pernah mengutarakan perasaan kecewa karena isu National Summit tertutup berita seputar penahanan Bibit-Chandra pada hari yang sama.
Kini, Rapat Koordinasi Menteri, Gubernur, dan Lembaga Negara lain di Tampak Siring yang dibuka SBY, 19 April, juga terbenam oleh berita Bibit-Chandra kembali jadi tersangka.
Pemerhati tentu bisa bertanya-tanya apakah hal ini hanya kebetulan saja? Atau ada yang memainkan agenda-setting? Bagaimana pula melihatnya dalam konteks kempesnya isu Century tergeser oleh ekspos media tentang Susno Duadji dan soal markus pajak?


Tulisan ini mengajak merenung siapakah ”Godot” yang membuat pengaturan tersebut atau justru yang bisa menyelesaikan masalah (meminjam drama karya Samuel Beckett, juga menyambung tulisan saya terdahulu ”Menunggu (Ang)-Godot” (Kompas, 16/12/09).
Kembali ke masalah Bibit dan Chandra. Jika memang ada rekayasa manajemen isu, penahanan mereka pada 29 Oktober lalu atau kembalinya status mereka sebagai tersangka 19 April ini hanya memiliki satu pesan sederhana. Pemerintah, ingin dikesankan, tak ada hubungannya dengan apa yang menimpa Bibit- Chandra. Buktinya, mereka sedang sangat sibuk dengan rapat koordinasi nasional.
Jika ternyata tidak ada yang menata isu-isu tersebut, ya artinya Presiden dan pemerintah sedang sial saja. Setiap mereka mengadakan hajatan penting nasional selalu dikalahkan isu Bibit- Chandra.
Beralih ke Susno Duadji, mantan Kabareskrim Polri ini merasa pantas memberikan perlawanan terhebat. Posisinya sekarang memang seperti pihak yang dikucilkan atau ”terbuang”. Tambahan lagi, belakangan ia merasa mendapat dukungan publik dan media sebagai whistle blower. Bagi media, sepak terjang Susno menarik karena selalu ada unsur kejutan dan menyeret nama-nama baru.
Proses selanjutnya dapat menuju penghancuran semua nama yang terlibat, yang bisa ditahan, dinonaktifkan, atau dinyatakan pensiun dengan tidak terhormat. Bagi pelapor tentu lebih baik terbuang beramai-ramai daripada sendirian.
Jika memang ada yang melakukan pengelolaan isu, mereka cukup mendorong saja peristiwa saling menjatuhkan sekaligus bermakna pembersihan ini. Hal tersebut dijamin menyumbang kempesnya isu Century secara signifikan.
Jika ternyata tidak ada yang menata isu-isu ini, maka lagi-lagi hanya kebetulan, dan yang tertimpa sial adalah para aktivis beserta mahasiswa yang ngotot mengawal Kasus Century.
Anggodo memang super
Soal Anggodo, dia memang ada supernya, misalnya, kita bisa terus bertanya-tanya kenapa Presiden SBY tidak pernah melaporkan Anggodo ke polisi? Dari percakapan rekaman telepon yang begitu komprehensif di Mahkamah Konstitusi (MK), SBY jelas disebut-sebut sudah tahu dan dikesankan mendukung apa yang dilakukan Anggodo.
Kita, sebagian besar warga negara saat itu geram kepada Anggodo karena dia membawa-bawa nama Presiden kita dalam upaya penyuapan dan rekayasa itu.
Kesuperan Anggodo makin terbukti ketika kepolisian seperti ”kehilangan akal” untuk mencari pasal yang tepat guna memproses Anggodo. Sampai akhirnya perkara Anggodo dilimpahkan ke KPK.
Puncaknya tentu saja ketika hakim tunggal Nugroho Setyadi antara lain menyatakan bahwa aspek sosiologis masyarakat tidak boleh menjadi alasan untuk penerbitan surat keputusan penghentian penuntutan (SKPP) terhadap Bibit-Chandra.
Kalau logika hakim ini diikuti, kita harus membayangkan bahwa apa yang diperdengarkan di MK itu terjadi di ruang hampa, tanpa interaksi sosial sama sekali. Jadi masing-masing hakim konstitusi, para pihak yang bersidang, semua hadirin dan pemirsa, masing-masing duduk menyimak sendiri-sendiri. Dalam pikiran tiap individu, sama sekali tak ada analisis interaksi aktor, motivasi, dan relasi Anggodo dengan upaya menghalangi pemberantasan korupsi.
Panggil Century
Lebih hebatnya lagi, logika hakim untuk Anggodo ini keluar sebelum rencana KPK memanggil pejabat-pejabat penting dalam pemeriksaan Kasus Century, minggu depan. Akhirnya, publik seperti meraba-raba. Mana yang lebih dulu akan terpanggil, Bibit dan Chandra ke pengadilan atau tokoh-tokoh penting republik ini ke KPK?
Rasanya kini pemerhati dan aktivis harus bahu-membahu bersama media untuk mengembalikan fokus pada persoalan: siapa yang sesungguhnya sedang ingin ”membunuh KPK secara perlahan tetapi pasti”? Sambil sama-sama kita juga menunggu apakah ”Godot” yang sesungguhnya akan ketahuan pada waktunya?
Effendi Gazali Koordinator Program Master Komunikasi Politik UI

Opini Kompas 22 April 2010