02 Maret 2010

» Home » Solo Pos » Rakyat dan pudarnya spiritualitas politik

Rakyat dan pudarnya spiritualitas politik

Seorang sosiolog berkebangsaan Italia, Vilfredo Pareto (1848-1923), pernah berujar bahwa para elite datang dan pergi tetapi kondisi sebagian besar rakyat tetap sama. Ungkapan Pareto ini masih relevan dengan kondisi objektif bangsa Indonesia yang mengalami ketimpangan sosial di mana rakyat miskin tetap terbuang dan tak pernah beranjak dari nasib susah di bumi pertiwi ini.

Di tengah berita skandal Bank Century (BC) yang merugikan negara Rp 6,7 triliun, nasib rakyat sangat memrihatinkan. Anak jalanan di kota-kota besar kehilangan masa depan dengan hidup tanpa arah dan usia dihabiskan untuk mengemis. Mereka berada dalam kerangkeng struktur sosial yang tidak adil dengan kebijakan yang tak berpihak kepada mereka.

Media massa dan elektronik telah membuka betapa hak-hak orang miskin dan anak telantar begitu menderita. Ada seorang ibu yang menggadaikan bahkan menjual janinnya hanya untuk membayar tunggakan kontrakan. Seorang ibu muda meninggalkan ketiga anaknya dan dibiarkan sendirian tanpa memberi makanan karena alasan tak memiliki uang. Berita-berita semacam ini, tentu saja, sangat mengiris hati ketika, pada saat yang sama, para pejabat mempertontonkan kemewahan dengan gaji dan fasilitas yang besar.

Kian pudar

Tujuan berbangsa dan bernegara adalah untuk menciptakan kesejahteraan rakyat dalam kerangka NKRI. Tujuan bernegara bukan mencari keuntungan untuk kepentingan pribadi, kelompok dan golongan. Para pemimpin yang dipilih oleh rakyat diamanatkan untuk mengusahakan kesejahteraan, keadilan, dan keamanan bagi kehidupan rakyat dalam rumah besar bernama Indonesia. Inilah dasar pokok bernegara dan berbangsa.

Tapi bagaimana kenyataannya? Tujuan di atas sering hanya menjadi deretan huruf mati. Para pemimpin sering lupa dengan tugas pokoknya, sehingga kondisi rakyat terus memrihatinkan. Sumpah dan janji jabatan di atas kitab suci dianggap mainan sehingga pelanggaran pun terus terjadi. Terbukti dengan banyaknya pejabat yang terjerat kasus korupsi setelah mereka lengser. Bahkan jabatan dianggap sebagai peluang untuk memperkaya diri.

Mengapa hal ini terjadi? Sebab pokoknya adalah mereka tak lagi memiliki spiritualitas politik. Mereka tak terbimbing oleh pilihan-pilihan moral yang diajarkan agama dan kearifan tradisi luhur bangsa. Meski mereka membaca kitab suci, tetapi makna profetiknya tak membekas dan tertutup oleh godaan-godaan kekuasaan. Karena itu, tak heran jika kasus Bank Century yang terang-benderang menjadi kabur dan sulit untuk dipecahkan. Mereka saling menyalahkan dan mengancam. Ketika kasus BC terus menjepit kelompok A, ia balik menggertak dengan perintah mengusut tunggakan pajak si B.

Pemandangan ini, tentu saja, tidak lucu. Rakyat memperoleh kesan seolah-olah negara ini mainan sekelompok elite dan menjadi lahan dagang sapi. Tugas kepemimpinan yang sangat mulia dan agung berupa mengusahakan kesejahteraan rakyat berubah menjadi perebutan kepentingan jangka pendek. Kondisi semacam ini tentu berbahaya bagi tegaknya bangsa dengan jumlah penduduk 220 juta. Jika merosotnya spiritualitas politik tidak dihentikan, banyak penumpang (baca: rakyat) yang akan menjadi korban dan kapal besar Indonesia terus bocor.

Adalah ironi, sebuah bangsa dengan nafas religiusitas yang sangat bergairah tetapi dihantui oleh penyakit spiritual kepemimpinan. Penyakit spiritual, pada urutannya nanti, akan melahirkan penyakit eksistensial bangsa yang mewujud dalam karut-marut kehidupan di tiap aspeknya (ekonomi, sosial, dan politik). Mengapa bekas-bekas ajaran kitab suci seperti tanpa jejak dalam perilaku-perilaku elit bangsa?

Keadaan ini rupanya yang mendorong unjuk rasa massa belakangan ini makin tidak sopan dan juga tidak santun. Ini terjadi karena para pemimpinnya mempertontonkan “ketidaksopanan politik”. Saat kondisi rakyat terhimpit oleh kemiskinan, para pejabat memperoleh fasilitas mobil mewah seharga Rp 1,3 Miliar; ketika rakyat menuntut keadilan, orang-orang lemah malah banyak dipenjara hanya dengan pencurian sebuah semangka atau tiga biji kakao. Padahal, pada saat yang sama, “perampok” BC dihukum ringan dan masih bebas. Keadilan di negeri ini masih sangat mewah. Dan hanya terbeli oleh orang-orang yang mampu. Kondisi semacam ini makin menumpulkan hati nurani dan memberi pelajaran buruk bagi bangsa yang haus akan keteladanan.

Membangun spiritualitas

Rakyat kini sedang terluka oleh perilaku politik para elit, terutama terkait dengan kasus terakhir (baca: kasus BC). Sembari menanti penyelesaian kasusnya secara transparan, rakyat juga berharap pihak-pihak yang bersalah harus diberi sanksi, apa pun posisinya. Kasus ini merupakan simbol moral tertinggi bangsa. Bila kasus besar ini diselesaikan dengan politik dagang sapi, maka akan meruntuhkan posisi moral partai-partai politik di mata rakyat, termasuk wibawa pemerintah. Perlu dipikirkan gerakan moral massif yang bakal terjadi baik melalui aksi-aksi jalanan (ekstraparlementer) maupun lewat jejaring Facebook (jika kasus BC berakhir secara antiklimaks).

Kita berharap Pansus Angket tetap konsisten menyelesaikan kasus BC dengan baik dan adil. Pesimisme banyak orang tentang runtuhnya moral dan spiritual para elit harus dibantah lewat aksi-aksi nyata. Keberhasilan ini akan meningkatkan kepercayaan rakyat bagi penuntasan masalah bangsa yang masih terbengkalai di masa depan.

Kita tak perlu malu meniru bangsa Jepang, China, Singapura, dan Korea Selatan yang sangat disiplin dalam masalah moral. Pemimpin di negara-negara itu akan mengundurkan diri jika melakukan pelanggaran moral, apalagi yang berat. Kedisiplinan moral ternyata mampu mengantarkan bangsa-bangsa di atas pada derajat yang bermartabat dan disegani bangsa-bangsa lain.

Jika mereka bisa, kita pun harus bisa karena bangsa kita memiliki modal sosial berupa religiusitas warga yang gegap gempita, nilai-nilai luhur tradisi bangsa, dan kearifan yang dimiliki warga negara. Modal-modal sosial tersebut, saya kira, tidak kalah hebat dan kuat untuk membangun spiritualitas dan moral politik bangsa.

Dan tampaknya, para pemimpin negeri ini belum mengoptimalkan modal-modal sosial itu sebagai penopang pemerintahan yang kuat, bermoral, bersih, tegas, dan penuh pengabdian. Meski para pemimpin itu datang dan pergi, tetapi kondisi rakyat belum beranjak secara berarti ke arah yang lebih manusiawi. Fakta-fakta inilah yang agaknya disindir oleh Vilfredo Pareto sebagaimana dikutip di awal tulisan ini. - Oleh : Mudhofir Abdullah Dosen Pascasarjana STAIN Surakarta


Opini Solo Pos 03 Maret 2010