02 Maret 2010

» Home » Suara Merdeka » Kasus Century dan Metode Hipnotis

Kasus Century dan Metode Hipnotis

Hipnotis berproses melalui tahapan yang tidak secara tiba-tiba.Selalu ada proses yang alamiah berdasarkan rumus global: prainduksi-induksi-sugesti

SEORANG pembaca Harian Suara Merdeka menulis di kolom Surat Pembaca, 24 Februari 2010 berjudul Acara ‘’Uya Emang Kuya’’ Ditampilkan di Pengadilan?

Pertanyaan tentang kemungkinan menggunakan hipnotis untuk mengorek informasi dari orang yang diduga melakukan perbuatan melanggar hukum, di antaranya terkait dengan kasus Bank Century, pembunuhan Nasrudin Zulkarnain, dan kasus lain memang banyak dilontarkan banyak orang. Perlu diketahui, hipnotis berproses melalui tahapan yang tidak secara tiba-tiba.Selalu ada proses yang alamiah berdasarkan rumus global: prainduksi-induksi-sugesti. Prainduksi bisa dipahami sebagai ‘’kesan awal’’ yang menyebabkan seseorang bersedia dihipnotis.



Sedangkan induksi adalah teknik untuk membimbing seseorang menuju kondisi trance hipnotis, dan sugesti adalah diterimanya saran atau perintah yang siap diterima subjek tanpa ada penolakan atau kritik.

Dengan kata lain, hipnotis dapat berproses jika pihak yang dihipnotis bersedia karena adanya keuntungan yang didapatkan. Misalnya untuk terapi (hipnoterapi) atau kepentingan entertaintment yaitu imbalan jutaan rupiah plus kesempatan mejeng di televisi yang jarang diperoleh oleh mereka yang tidak termasuk selebritis ataupun tokoh negeri.

Sudah barang tentu, adegan bongkar rahasia melalui hipnotis seperti di mal-mal untuk kepentingan entertainment itu berbeda suasananya dengan di ruang sidang pengadilan atau di gedung DPR.

Masyarakat perlu mengetahui bahwa tayangan di layar kaca sampai menjadi tontonan yang enak disajikan harus melalui beberapa proses. Mulai pengambilan gambar saja harus melalui seleksi karakter manusia suggestible, artinya dapat dipengaruhi dengan sugesti. Selanjutnya, di studio semua adegan melalui proses editing. Adegan yang dianggap gagal, diedit hingga yang tersisa adalah adegan yang spektakuler.

Pemanfaatan hipnotis di ruang pengadilan sangat mustahil dilakukan karena suasanya sangat berbeda dari kondisi shooting hipnotis di mal-mal untuk kepentingan entertaintment.

Sebagaimana penulis sebutkan, shooting hipnotis di mal menjadi mudah karena beberapa faktor yang mendukung. Di antaranya, faktor imbalan, kesempatan mejeng yang secara umum lebih dibutuhkan kalangan yang secara ekonomi belum mapan.

Di ruang sidang ‘’aktor’’ yang di-shooting adalah orang yang saat itu sedang menempatkan diri sebagai pihak yang sedang bertahan dengan argumentasi untuk menutupi kesalahannya atau mempertahankan apa yang diyakini sebagai sebuah kebenaran. Posisi yang demikian ini menyebabkan areal kritik menguat sehingga sugesti yang tidak sesuai dengan keinginannya menjadi tertolak.

Pengorekan informasi pada kasus dengan pelaku ber-SDM rendah hingga sedang, lebih memungkinkan menggunakan teknik komunikasi plus intimidasi ala ‘’hipnotis tradisional’’ atau gendam dengan mengeksploitasi keajaiban magis.

Cara ini lazimnya dilakukan dengan bantuan ‘’orang pintar’’, misalnya lie detector jawa yaitu alat penguji kebohongan melalui timah mendidih dan beberapa tersangka diminta mencelupkan tangannya dengan konsekuensi bagi yang bersalah akan mengalami luka bakar.

Teknik ini walau sudah tidak relevan menunjukkan begitu cerdas orang-orang terdahulu. Teknik ini bekerja terkait dengan kerja jantung. Timah yang mendidih menjadi jinak jika teknik mencelupkan dalam posisi telapak tangan vertikal dan telapak tangan harus dalam kondisi kering.

Seseorang dalam kondisi cemas atau takut (karena sedang menutupi kesalahannya) detak jantungnya lebih keras dan tidak beraturan dan hal ini memicu bagian telapak tangan menjadi basah berkeringat. Karena basah itu menyebabkan ia terluka.

Berbeda dari orang yang yakin tidak berbuat salah. Adanya tes timah panas ini justru membuat dirinya senang karena sebentar lagi akan jelas siapa benar siapa salah. Detak jantungnya pun tetap normal, tangannya tetap kering sehingga timah mendidih tersebut tidak menyebabkan luka.

Teknik ini sekarang sudah tidak relevan karena perkembangan pola pikir masyarakat sudah lebih cerdas. Tangan yang basah dapat dikeringkan dengan pasir lembut, bahkan timah yang digunakan pun dapat disiasati.

Teknik-teknik komunikasi ala gendam sebenarnya banyak dikuasai sejumlah kepala kesa dan perangkat pada periode awal masa kemerdekaan. Pada tingkat penyidikan lokal (intern keluarga, perusahaan, desa) teknik tradisional ini masih relevan dan mudah diterapkan, terutama pada masyarakat dengan kultur mistis dan religius.

Teknik gendam ini sesungguhnya ilmiah. Namun menjadi ’’menakutkan’’ sehingga efektif untuk memengaruhi orang lain justru karena masyarakat memersepsikannya sebagai magis. Prinsip tradisional memanfaatkan teknik komunikasi ala gendam (hipnotis timur) ini memiliki kesamaan dengan rumus hipnotis barat. Yaitu, prainduksi atau kesan awal dengan menciptakan suasana kaget, senang, atau terpesona.

Sebagai contoh kasus, saat pilkada tahun 2001 pengurus sebuah partai yang merasa ada anggotanya membelot ke calon lain, akhirnya menggertak dengan mengatakan akan mendatangkan dukun dari Banyuwangi untuk tes kebohongan melalui timah mendidih.

Atau salah satu kasus pencurian perhiasan di Bandung yang akhirnya terbongkar atas panduan penulis melalui telepon, yaitu 7 karyawan menjalani tes kejujuran dengan 7 telor ayam kampung yang sudah ditulis rajah. Kemudian dalam event itu dihadirkan ’’tokoh spiritual’’ dadakan dan ke-7 terdakwa itu diminta bergantian masuk kamar tertutup dan diwajibkan memakan telor matang yang dikesankan sudah dijampi-jampi.

Melalui kamera tersembunyi yang merekam adegan itu nampak jelas ada salah satu karyawan yang tidak memakan isi telor. Dia memang membuka kulit telor, namun isinya dibuang ke kolong ranjang. Bukti lain diperkuat setelah keluar dari kamar, para pencari fakta tidak menemukan bekas kunyahan telor pada mulutnya.

Selanjutnya, interogasi menjadi ringan. Karyawan yang tidak memakan telor itu mengaku sebagai pelakunya dengan pertanyaan yang menjebak,’’Kenapa Anda tidak mau memakan telor?’’

Hadirnya ’’tokoh spiritual’’ dan telor bertuliskan rajah adalah bagian dari prainduksi. Jika pada tahap ini memberikan pengaruh kaget, takut, atau minimal menurunkan mental pihak yang merasa bersalah, untuk selanjutnya trik ini menjadi efektif dalam membongkar rahasia yang semula dipertahankan.

Untuk kasus-kasus pembongkaran rahasia pada forum pengadilan atau di panggung politik, rumus prainduksi-induksi-sugesti, bentuknya bisa dalam bentuk rekaman dan alat bukti lain yang dapat diterima hukum positif di Indonesia. Dengan demikian, jangan berharap banyak dari ilmu yang bernama hipnotis.

Ketika kasus Bank Century dan Antasari Azhar sedang ramai, pada jejaring sosial facebook banyak status mempertanyakan kenapa hipnotis tidak dimanfaatkan untuk mengorek informasi dari mereka yang diduga bersalah. Banyaknya pertanyaan ini tentu terkait dengan waktunya yang bersamaan dengan tayangan membongkar rahasia ala hipnotis ’’Uya Emang Kuya’’.

Ekspose media menyebabkan mayoritas masyarakat kita menganggap mereka (para pejabat) itu bersalah walau pengadilan belum menjatuhkan vonis. Padahal proses di DPR adalah proses politik, bahkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hasil kesimpulan Pansus Hak Angket DPR Kasus Century hanya dijadikan sebagai data tambahan.

Pertanyaan tentang pemanfaatan hipnotis untuk hal-hal yang terkait dengan persoalan hukum, menunjukkan masyarakat kita merasa empati semifrustrasi melihat tontonan tidak nyaman di negeri tercinta ini. Yang pasti hipnotis tidak mungkin diterapkan sepenuhnya untuk kasus-kasus yang melibatkan pribadi ber-SDM tinggi karena mereka bukan pribadi yang mudah digertak dengan intimidasi yang tradisional.

Seseorang yang sebenarnya bersalah tetapi tetap bertahan dengan sikap merasa tidak bersalah, maka hipnotis tidak bakalan mempan. Atau dengan kata lain, jangankan hipnotis, dengan kitab suci agamanya saja tidak mempan.(10)

— Masruri, pengamat masalah sosial dan metafisika, tinggal di Sirahan, Cluwak, Pati
Wacana Suara Merdeka 03 Maret 2010