02 Maret 2010

» Home » Kompas » Kebuntuan DPR dan Pemerintah

Kebuntuan DPR dan Pemerintah

Babak pertunjukan Pansus Century memang sudah selesai. Namun, babak lanjutannya ternyata tidak kalah serunya dari drama yang telah dimainkan oleh para politisi yang sebagian besar tergolong muda.
Hal itu tak lepas dari tidak adanya kata sepakat tentang kesimpulan dari serangkaian persidangan maraton tentang kasus bail out Bank Century. Sembilan fraksi yang membahas kasus itu, ketika membuat rekomendasi yang ditawarkan kepada Sidang Paripurna DPR yang akan mengambil kata putus masalah ini, mengalami kesulitan.



Maka, Pansus pada akhirnya sepakat mengambil hanya dua dari tiga altertatif pilihan. Pertama adalah alternatif bahwa kebijakan bail out, pembentukan Bank Century, dan penyaluran dana bail out itu bermasalah dan bernuansa korupsi. Kedua adalah kebijakan bail out itu tidak bermasalah karena dibuat untuk mengatasi krisis, tetapi memahami adanya masalah di dalam pembentukan Bank Century dan penyaluran dana bail out.
Keputusan tak mudah
Di dalam memilih dua pilihan semacam itu, DPR jelas tidak akan mudah melakukannya. Hal ini tidak lepas dari adanya perbedaan yang cukup tajam di antara fraksi-fraksi yang terlibat di dalam Pansus. Adanya keputusan yang bulat, melalui konsensus apalagi, hampir pasti tidak mungkin. Mau tidak mau, keputusan harus dibuat melalui pemungutan suara.
Meskipun demikian, di dalam melakukan pemungutan suara, juga tidak akan mudah dilakukan. Hal ini tidak lepas dari implikasi setelah keputusan itu dibuat.
Ketika pilihan pertama menjadi keputusan sidang paripurna, misalnya, memiliki konsekuensi yang sangat serius di dalam kelanjutan pemerintahan SBY-Boediono. Fraksi-fraksi pendukung pilihan pertama berpandangan bahwa Boediono menjadi bagian dari masalah munculnya kebijakan bail out. Konsekuensi pilihan itu adalah DPR dituntut untuk mengajukan proses ”peradilan” kepada MK. Ketika MK memutuskan Boediono bersalah, misalnya, proses selanjutnya adalah adanya pemakzulan terhadapnya. Namun, kalau MK memutuskan tak bersalah, Boediono bisa tetap aman di kursi wakil presiden.
Ketika keputusan yang kedua yang diambil, konsekuensi yang ditimbulkan memang lebih ringan. Posisi Boediono dan Sri Mulyani bisa tetap aman. Namun, proses hukum terhadap kasus ini tetap bisa berlanjut, khususnya yang berkaitan dengan pembentukan Bank Century dan pengalokasian serta pendistribusian dana bail out yang bermasalah.
Dalam situasi semacam itu, masing-masing pihak yang berkepentingan terhadap pilihan-pilihan semacam itu akan berusaha semaksimal mungkin agar keputusan yang didukung yang diambil. Partai Demokrat, misalnya, akan berusaha memperoleh dukungan dari fraksi-fraksi koalisi yang dipandang telah keluar dari jalur koalisi. Sebaliknya, partai-partai yang berseberangan akan berusaha mempertahankan posisinya.
Dalam proses semacam itu, beragam kalkulasi akan muncul. Yang menjadi pertimbangan bukan sekadar implikasi pilihan-pilihan itu. Yang tidak kalah pentingnya adalah berkaitan dengan perolehan kekuasaan yang ada, berikut kemungkinan perolehan kekuasaan yang akan datang.
Yang terakhir itu tidak lepas dari adanya pertimbangan bahwa drama Pansus Century merupakan bentuk investasi yang bisa dilihat oleh para pemilih. Para penganut pilihan pertama berkeyakinan bahwa apa yang dilakukan adalah upaya untuk membongkar kebobrokan dan bentuk komitmen terhadap rakyat. Harapannya, pada pemilu berikutnya partai-partai itu berharap bisa meraup peningkatan perolehan suara.
Sebaliknya, penganut pilihan yang kedua berpandangan, ketika pilihan pertama yang diambil, berarti runtuhnya bangunan kekuasaan yang ada. Memang, pilihan itu tidak termasuk upaya untuk menyalahkan dan memakzulkan Presiden SBY. Namun, ketika wakil presiden harus diganti, berarti telah terdapat kerusakan bangunan pemerintahan.
Logika pilihan bagi keberlanjutan pemerintahan di antara dua kelompok besar itu juga berbeda. Penganut pilihan pertama berpandangan bahwa keputusan itu hanya berkonsekuensi adanya ”amputasi” terhadap bagian dari pemerintahan demi kebaikan pemerintahan selanjutnya.
Sebaliknya, dalam pandangan penganut pilihan yang kedua, mengambil keputusan yang pertama tidak sekadar ”amputasi” kecil, melainkan sebagai proses perobohan bangunan pemerintahan SBY-Boediono secara keseluruhan.
Bangunan koalisi
Di samping itu, apa pun pilihan yang akan diambil bisa berpengaruh terhadap bangunan koalisi yang ada di dalam pemerintahan SBY. Dalam hal ini, terdapat sejumlah pilihan skenario.
Pertama, fraksi-fraksi yang terlibat di dalam koalisi utuh kembali. Di dalam skenario demikian, kemungkinan terjadinya perubahan konstruksi koalisi akan kecil terjadi.
Kedua, fraksi-fraksi yang terlibat di dalam koalisi memperoleh dukungan dari fraksi (fraksi) lain yang sebelumnya ada di luar koalisi. Dalam situasi semacam ini, format koalisi akan lebih luas lagi.
Ketiga, ada fraksi (fraksi) yang tetap mbalelo dari koalisi. Manakala hal ini yang akan terjadi, format koalisi akan lebih ramping.
Keempat, adanya fraksi (fraksi) yang tetap mbalelo, tetapi koalisi memperoleh tambahan dari fraksi (fraksi) lain. Di dalam skenario yang keempat ini, bangunan koalisi tidak akan berbeda jauh dengan bangunan koalisi yang ada selama ini.
Apa pun pilihannya, implikasi dari keputusan yang dihasilkan oleh Pansus Century ini sangat serius bagi bangunan pemerintahan yang akan datang. Ketika pasangan SBY-Boediono memperoleh suara mayoritas, dan mampu membangun koalisi mutlak, terdapat harapan bahwa pemerintahan yang dibangun akan berlangsung secara efektif. Faktanya tidak seperti harapan. Hanya dalam beberapa bulan, bangunan koalisi mengalami keretakan.
Karena itu, kasus ini pada akhirnya memunculkan pertanyaan lanjutan, yang berkaitan dengan koalisi, seperti bangunan koalisi pemerintahan seperti apakah yang lebih baik untuk Indonesia? Atau apakah, di dalam membangun pemerintahan, bangunan koalisi itu masih dibutuhkan atau tidak?
Jawaban bagi pertanyaan itu sekaligus berkaitan dengan jawaban bagi pertanyaan lanjutan, yaitu apakah pada masa mendatang kita terus berhadapan dengan kebuntuan (deadlock) di dalam DPR dan pemerintahan.
Kacung Marijan Guru Besar FISIP Universitas Airlangga Surabaya
Opini Kompas 02 Maret 2010