02 Maret 2010

» Home » Republika » Penuntasan Kasus Century

Penuntasan Kasus Century

Marwan Batubara
(Mantan Anggota DPD RI)

BPK dan Pansus Angket Bank Century (BC) DPR RI telah menemukan indikasi pelanggaran hukum dan potensi kerugian negara dalam proses merger, pemberian Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek (FPJP), bailout, dan penyaluran dana penyelamatan BC.

Di samping para pemilik dan manajemen BC, sejumlah pejabat negara yang berasal dari BI, KSSK, KK, UKP3R, serta LPS diduga terlibat dalam pelanggaran dan tindak kejahatan tersebut.

Dua nama yang diduga paling bertanggung jawab adalah mantan gubernur BI, Boediono, dan Menkeu, Sri Mulyani. Bagaimana prospek penyelesaian skandal BC ini secara politik dan hukum, termasuk nasib kedua pejabat penting tersebut, akan coba dibahas dalam tulisan ini.

Langkah terpenting penyelesaian skandal BC secara politik adalah melalui penyelidikan oleh Pansus Angket BC DPR. Hasil penyelidikan pansus akan dibahas dan ditetapkan pada Sidang Paripurna DPR pada 2-3 Maret 2010. Keputusan politik DPR akan menentukan bagaimana kelanjutan skandal BC secara hukum ke depan.

Setelah itu, beberapa kesepakatan dan kebijakan politis mungkin saja menyusul, namun tidak signifikan. Oleh sebab itu, kita sangat berkepentingan agar Paripurna DPR dapat menghasilkan ketetapan yang sesuai dengan prinsip-prinsip hukum, keadilan, dan kepentingan bangsa secara menyeluruh.

Usul penggunaan hak angket BC disetujui DPR pada Sidang Paripurna tanggal 1 Desember 2009. Meskipun awalnya dihambat, terutama oleh PD dan sejumlah pakar, Tim 9 penggagas Angket BC akhirnya berhasil menggalang dukungan lebih dari 500 orang anggota, sehingga Pansus Angket BC akhirnya terbentuk. Sepanjang menjalankan fungsinya, Pansus Angket BC terus-menerus menghadapi hambatan, terutama dari para pendukung pemerintah, termasuk oknum-oknum neolib dalam dan luar negeri. Hadangan terus meningkat dan mencapai puncaknya menjelang Sidang Paripurna DPR pada 2 Maret 2010.

Hadangan terhadap penyelesaian skandal BC merupakan fenomena yang lumrah terjadi: bahwa setiap upaya penegakan kebenaran pasti akan berhadapan dengan para penentang yang membela kejahatan. Hadangan bisa berbentuk iming-iming yang 'menyenangkan', namun bisa juga berupa ancaman dan teror yang 'meresahkan'. Selain itu, level atau kuantitas iming-iming maupun ancaman bisa bervariasi, membesar, dan digunakan pada tahap yang berbeda, sesuai kebutuhan dan urgensinya.

Dalam bentuk yang halus, hadangan dapat pula berupa pemunculan isu untuk mengalihkan perhatian. Cara lain adalah dengan membesar-besarkan hal yang tidak relevan, seperti isu mencekamnya situasi saat keputusan bailout BC diambil, atau larinya investor jika skandal BC tidak segera diselesaikan.

Penangkapan pimpinan KPK, Bibit dan Chandra, pada 29 Oktober 2009 yang lalu disebut-sebut sebagai upaya halus untuk menghadang pengungkapan skandal BC. Karena upaya ini tidak sepenuhnya berhasil, level penghadangan meningkat menjadi agak vulgar, termasuk dengan menebar ancaman. Partai-partai yang tergabung dalam koalisi PD mengalami ancaman reshuffle kabinet. Di samping itu, muncul pula isu pengungkapan penyimpangan pajak, LC fiktif, ancaman penangkapan oleh KPK, hingga teror pembunuhan seperti yang dialami oleh sejumlah anggota pansus.

Bentuk dan intensitas hadangan untuk memengaruhi keputusan Sidang Paripurna DPR pada 2-3 Maret 2010 dalam 3 hari terakhir, termasuk pada hari ini, semakin gencar dan masif.

Proses Hukum
Tergantung dari jenis pelanggarannya, tiga lembaga negara yang mestinya menyelesaikan proses hukum skandal BC adalah Polri, Kejaksaan Agung, dan KPK. BPK dan Pansus DPR telah menemukan pelanggaran terhadap undang-undang Perbankan, BI, LPS, Tipikor, dan sejumlah peraturan dalam kasus ini. Oleh sebab itu, sudah sangat layak ketiga lembaga tersebut bekerja cepat dan sinergis untuk mengadili para tersangkanya.

Hingga saat ini, yang diadili baru beberapa orang dengan tuduhan yang belum menyeluruh dan hukumannya pun tidak setimpal. Cepatnya proses hukum terhadap mereka, terutama Robert Tantular (RT), pun di satu sisi karena adanya perintah penangkapan oleh Wapres JK, dan di sisi lain untuk membatasi pengusutan agar tidak meluas kepada sejumlah pejabat.

Selain proses terhadap RT dan kawan-kawan, ketiga lembaga penegak hukum terkesan lamban atau malah ada di antaranya disebut-sebut menghalangi pengusutan skandal BC.

Salah satu indikasinya adalah tentang kesaksian mantan kabareskrim, Susno Duaji. Yang lain adalah yang terkait dengan pergantian Ketua KPK. Kita memang sudah memahami bagaimana Kejaksaan dan Polri menangani para koruptor BLBI. Sebagian besar koruptor dihukum sangat ringan, tidak sebanding dengan kejahatannya. Seandainya dihukum berat, umumnya mereka 'mendapat kesempatan' untuk berobat atau lari ke luar negeri.

Keprihatinan kita tidak hanya kepada Polri dan Kejaksaan Agung. KPK yang biasanya tangkas mengadili kasus-kasus korupsi anggota DPR dan kepala daerah, dalam kasus BC tampaknya berubah menjadi hampir tidak berdaya. Kita mencatat bahwa KPK sudah memulai penyelidikan kasus ini sejak pertengahan tahun 2009, jauh sebelum Pansus Angket BC terbentuk. Audit Investigasi BC oleh BPK bermula dari permintaan KPK. Namun, setelah upaya kriminalisasi pimpinan KPK, ketangkasan KPK seolah-olah hilang. Tampaknya ada intervensi 'pihak luar' sehingga KPK terkesan mengulur waktu atau menghindar untuk segera menuntaskan skandal BC.
Opini Republika 02 Maret 2010