21 Maret 2010

» Home » Suara Merdeka » NU dan Kemiskinan

NU dan Kemiskinan

DALAM Muktamar Ke-32 Nahdlatul Ulama (NU) di Makassar yang ramai dibicarakan adalah soal calon pengurus, baik syuriyah maupun tanfidziyah PBNU. Pembicaraan kandidat rais aam dan ketua umum PBNU memang penting tetapi membahas program guna mengatasi persoalan umat juga sangat penting.

Kalau yang pertama menyangkut intern organisasi, yang kedua selain intern juga mengait ekstern organisasi karena yang terakhir ini bertalian dengan sumbangsih NU dalam masyarakat, bangsa, dan negara.

Salah satu persoalan klasik yang dihadapi umat adalah masalah kemiskinan. Tentu masalah ini juga mendapat perhatian serius dari berbagai pihak, terutama pemerintah, perguruan tinggi, dan lembaga-lembaga lain, termasuk asing.


Sebagai organisasi kemasyarakatan keagamaan, NU juga tidak mau ketinggalan berperan serta dalam mengatasi masalah kemiskinan ini. Bahkan sejak awal berdirinya, organisasi keagamaan tradisional ini telah merintis gerakan ekonomi kerakyatan yang diberi nama oleh KH Abdul Wahab Hasbullah sebagai nahdlatu al-tujar (kebangkitan perdagangan). Kemudian pada Muktamar Ke-1 tanggal 21 Oktober 1926, NU antara lain membahas masalah hasil usaha suami istri (harta gono gini), dan masalah upah pekerja. (Ahkam Al-Fuqoha, hlm.18). Hal ini menunjukkan bahwa NU berupaya agar masyarakat tidak hanya mencari bekal akhirat semata tetapi juga mencari kebahagiaan di dunia. 

Biro Pusat Statistik (BPS) menggunakan pendekatan ekonomi dalam mendefinisikan kemiskinan. Data dari BPS menunjukkan bahwa jumlah dan persentase penduduk miskin di Indonesia berfluktuasi dari tahun ke tahun.  Pada 1996 jumlah penduduk miskin 34,01 juta (17,47 %) dan pada 1999 menjadi  47,97 juta (23,43%). Berarti pada tahun 1996-1999 terjadi kenaikan jumlah penduduk miskin 13,96 juta karena adanya krisis ekonomi.

Kemudian tahun 2002 penduduk miskin berubah menjadi  38,40 juta, berarti terjadi penurunan dari  47,97 juta (23,43%) pada 1999 menjadi  38,40 juta (18,20 %) pada 2002. Selanjutnya jumlah penduduk miskin turun lagi menjadi 35,10 juta (15,97% ) pada 2005. Namun meningkat lagi jumlahnya pada Maret 2006 menjadi 39,05 juta (17,75%).

Dari data tersebut menunjukkan bahwa  belum banyak prestasi pemerintah dalam menanggulangi masalah kemiskinan ini. Kemiskinan membuat jutaan anak-anak tidak bisa menempuh pendidikan berkualitas, dan mengalami kesulitan membiayai kesehatan. Kemiskinan juga telah membatasi hak-hak rakyat dalam memperoleh pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan, dan memperoleh perlindungan hukum, memperoleh rasa aman.

Juga membatasi hak untuk memperoleh akses atas kebutuhan hidup yang terjangkau, memperoleh akses atas kebutuhan kesehatan, memperoleh keadilan, dan bahkan hak mereka dalam berpartisipasi dalam pengambilan keputusan publik dan pemerintahan.

Dari berbagai analisis menganai kemiskinan di Indonesia dapat dipahami adanya tesis umum bahwa, kemiskinan yang terjadi bukan disebabkan karena penduduk miskin tidak mempunyai faktor-faktor kultural yang dinamis. Mereka miskin karena kesempatan-kesempatan tidak diberikan kepada mereka.

Dengan adanya kesenjangan lebar antara penduduk kaya dan miskin maka upaya (ikhtiar) NU tidak sekadar mengentaskan (warga dari) kemiskinan tersebut dari sudut pandang agama, seperti mendorong pemeluknya giat beribadah dan bekerja secara seimbang serta distribusi sedekah, infak, zakat dan kurban semata, tetapi juga melakukan upaya advokasi kebijakan dan pendampingan kepada penduduk miskin untuk melakukan usaha ekonomi produktif.
Tolong-menolong Gerakan ekonomi NU yang menonjol diekspose adalah pada masa kepemimpinan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan mendirikan beberapa Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Nusuma serta mendirikan koperasi dan ruko serta rukan. Hal ini dilanjutkan oleh KH Hasyim Muzadi dengan mendorong PCNU mendirikan baitul mal wa tamwil (BMT) seperti di Semarang, Magelang dan daerah-daerah lain.

Pengurus Cabang NU Kota Pekalongan mempunyai program menarik yang dinamakan Nahdliyyin Centre (NC). Konsep dasar NC ini adalah orang miskin menolong orang miskin. Banyak kegiatan sosial ekonomi yang mereka lakukan sebagai upaya tolong menolong (taĆ­awun) dan kerja sama (syirkah) di antara mereka.

Kemudian yang berbentuk advokasi kebijakan misalnya dilakukan oleh PWNU NTB dengan mendirikan Madrasah Anggaran yang merupakan ikhtiar mendorong warga untuk berpartisipasi dalam perencanaan pembangunan di daerahnya. Kemudian PCNU Jepara dan PCNU Situbondo melakukan hal serupa dengan menggelar berbagai halaqah (diskusi) bedah APBD dengan mengikutsertakan para kiai, santri, dan tokoh masyarakat agar pemerintah lebih berkomitmen mengalokasikan anggaran untuk keperluan publik.

Berbagai gerakan tersebut menunjukkan bahwa kepedulian NU dalam masalah kemiskinan tersebut masih terbatas. Karena itu, melalui muktamar ke-32, kita berharap agar hal ini dapat meluas menjadi gerakan sosial di kalangan nahdliyyin. (10)

— Mohamad Muzamil, Wakil Sekretaris Tanfidziyah PWNU Jawa Tengah 


Wacana Suara Merdeka 22 Maret 201o