PRO-KONTRA pelaksanaan ujian nasional (UN) kini telah jelas semuanya: ujian itu tetap akan dilaksanakan (SM, 28 Januari 2010). Bahkan, jika tahun-tahun sebelumnya dilaksanakan pada April, tahun ini dimajukan menjadi Maret. Maka, kesibukan sekolah-sekolah saat ini diwarnai dengan persiapan ujian nasional, mulai dari pelaksanaan uji coba sampai pendalaman-pendalaman materi yang akan di-UN-kan. Karena itu, tidak mengherankan jika aktivitas yang menyangkut guru, seperti seminar dan pelatihan, banyak diundur setelah Maret.
Bagaimana masyarakat menyikapi UN? Ternyata selama ini ujian itu telah dianggap sebagai momok oleh masyarakat, terutama oleh siswa dan penyelenggara pendidikan: guru, kepala sekolah, sampai kepala dinas pendidikan.
Mula-mula, UN dianggap sebagai indikator keberhasilan pendidikan. Sekolah yang dianggap berhasil adalah sekolah yang tingkat kelulusan UN-nya tinggi. Dinas Pendidikan menekan kepala sekolah, lalu kepala sekolah menekan guru.
Karena itu, yang terjadi kemudian, guru, kepala sekolah, bahkan kepala Dinas Pendidikan, melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan persentase lulusan. Di sinilah pangkal tolak semuanya: bagaimana caranya supaya tingkat kelulusan UN-nya mencapai 100%, bahkan dengan rentangan nilai tinggi.
Dalam rangka mencapai tingkat kelulusan yang tinggi itulah banyak masyarakat yang memunculkan perilaku pragmatis, terutama pada siswa dan penyelenggara pendidikan. Perilaku pragmatis siswa yang sehat antara lain ditunjukkan dengan berbondong-bondongnya mereka mengikuti bimbingan belajar. Perilaku siswa yang tidak sehat antara lain ditunjukkan dengan upaya mereka dalam mencari bocoran soal atau menciptakan situasi agar dapat mencontek pada saat ujian.
Tidak hanya siswa yang berperilaku pragmatis. Guru dan kepala sekolah pun melakukan itu semua, yang tampak sudah mengarah pada perilaku yang tidak sehat.
Pada awal pelaksanaan UN, muncul istilah yang baru dalam dunia pendidikan: Indomi (Indonesia, Matematika, dan Inggris). Tiga mata pelajaran itu (Bahasa Indonesia, Matematika, dan Bahasa Inggris-mata pelajaran yang di-UN-kan waktu itu)—mendapat kehormatan untuk diajarkan secara khusus. Pada saat siswa duduk di bangku kelas III (SMP kelas IX dan SMA kelas XII), hanya tiga mata pelajaran tersebut yang disampaikan. Mata pelajaran yang lain diabaikan.
Perilaku lain, yang jelas-jelas tidak sehat, bahkan sudah dapat dikategorikan salah dan sesat, guru berusaha memberikan bocoran jawaban kepada siswa. Berbagai cara mereka lakukan.
Mulai dari mengirim SMS yang berisi jawaban kepada salah satu siswa yang kemudian akan diteruskan kepada siswa-siswa lain; sampai pada memanggil beberapa siswa pada saat ujian secara bergantian ke kamar kecil untuk diberi jawaban.
Kepala sekolah pun ternyata banyak yang tidak tinggal diam. Berbagai upaya juga telah mereka lakukan. Ada yang mencoba meletakkan majalah-majalah baru di meja pengawas, dengan maksud supaya pengawas asyik membaca pada saat berjaga.
Ada yang mengatur tempat duduk siswa: siswa pandai dikelilingi siswa yag tidak pandai supaya dapat saling membantu. Bahkan ada yang secara terus terang meminta kepada pengawas-yang notabene berasal dari sekolah lain-supaya tidak terlalu ketat dalam melakukan pengawasan.
Mengapa mereka sampai melakukan berbagai upaya itu? Banyak alasan. Selain karena merupakan indikator keberhasilan sebuah sekolah, mereka juga memiliki alasan lain yang berkaitan dengan dampak psikologi UN bagi siswa. Beberapa tahun yang lalu di Harian Suara Merdeka ini ramai diberitakan adanya siswa-siswa yang pandai (pemenang olimpiade, misalnya) yang ternyata tidak lulus UN. Banyak yang menyalahkan UN pada waktu itu. Atas ketidaklulusan ini banyak siswa yang kemudian malu, stres, bahkan tidak mau melanjutkan sekolah. Karena itu, mereka berusaha agar tidak ada siswa yang tidak lulus UN di sekolahnya. Alasan-alasan ‘’kemanusiaan” inilah yang juga menjadikan para penyelenggara pendidikan bersikap pragmatis dalam menghapi UN.
Banyak Tersita Dalam sebuah seminar nasional di Purworejo, seorang peserta menyampaikan pemikirannya kepada pembicara. ”Kalau kami harus mengikuti model pembelajaran seperti yang Bapak (pembicara) sampaikan, tampaknya waktu kami banyak tersita. Sementara semua itu belum tentu masuk dalam soal UN. Lalu bagaimana kami harus bersikap?” Menjawab pertanyaan itu, sang pembicara, Prof Dr Suminto A. Sayuti dari Yogyakarta balik bertanya: ”Sesungguhnya Ibu itu mengajar mau membuat anak menjadi pintar atau lulus ujian?”
Pertanyaan ini menjadi menarik karena kondisi proses belajar mengajar di sekolah saat ini telah melenceng atau menyimpang dari tujuan yang semestinya. Karena sikap pragmatis tadi banyak guru yang hanya mengantarkan siswa ke UN.
Proses belajar-mengajar tidak lagi mengarah pada pencapaian kompetensi siswa. Padahal jelas dalam kurikulum disebutkan bahwa proses belajar-mengajar harus mampu membuat anak menjadi berkompetensi.
Kompetensi merupakan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Kebiasaan berpikir dan bertindak secara konsisten dan terus menerus memungkinkan seseorang menjadi kompeten, dalam arti memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar untuk melakukan sesuatu.
Dasar pemikiran untuk menggunakan konsep kompetensi dalam kurikulum adalah (1) kompetensi berkenaan dengan kemampuan siswa melakukan sesuatu dalam berbagai konteks, (2) kompetensi menjelaskan pengalaman belajar yang dilalui siswa untuk menjadi kompeten, (3) kompetensi merupakan hasil belajar yang menjelaskan hal-hal yang dilakukan siswa setelah melalui proses pembelajaran, dan (4) kehandalan kemampuan siswa melakukan sesuatu harus didefinisikan secara jelas dan luas dalam suatu standar yang dapat dicapai melalui kinerja yang dapat diukur.
Kurikulum yang dibuat saat ini merupakan suatu format yang menetapkan apa yang diharapkan dapat dicapai siswa dalam setiap tingkatan. Setiap kopentensi menggambarkan langkah kemajuan siswa menuju pada kompentensi pada tingkat yang lebih tinggi.
Rumusan kompetensi dalam kurikulum adalah suatu pernyataan tentang apa yang diharapkan dapat diketahui, disikapi, atau dilakukan siswa dalam setiap tingkatan kelas dan sekolah dan sekaligus menggambarkan kemajuan siswa yang dicapai secara bertahap dan berkelanjutan untuk menjadi kompeten.
Dengan demikian, kurikulum yang ada saat ini sesungguhnya merupakan pergeseran penekanan dari isi (apa yang tertuang) ke kompetensi (bagaimana harus berpikir, belajar, dan melakukan).
Karena sikap pragmatis tadi, cita-cita dan prinsip-prinsip mulia itu menjadi terabaikan. Padahal sesungguhnya, jika kompetensi siswa yang dikejar, maka indikator yang terlihat melalui UN itu juga akan terlampaui. Jika dikaitkan dengan pernyataan Prof Suminto: jika kita mengajar anak untuk menjadi pintar (berkompetensi) maka anak itu akan lulus ujian; namun, jika kita mengajar anak hanya untuk lulus ujian, anak tersebut belum tentu akan menjadi pintar.
Pilihan kita ada dua: sekali mendayung dua-tiga pulau terlampaui, atau sekali mendayung (hanya) satu pulau yang terlampaui,
Menganggap UN sebagai biang keladi kegagalan siswa saya kira salah. Karena target proses belajar-mengajar hanyalah lulus UN sebanyak-banyaknya dengan nilai setinggi-tingginya, bukan tercapainya kompetensi, tidak salahlah jika dikatakan bahwa arah proses belajar-mengajar kita saat ini telah melenceng dari arah yang sesungguhnya. (10)
— Mukh Doyin, staf pengajar bahasa dan sastra Indonesia Unnes
Wacana Suara Merdeka 5 Februari 2010