04 Februari 2010

» Home » Solo Pos » Sekaten & efektivitas dakwah kultural

Sekaten & efektivitas dakwah kultural

Semarak perayaan Sekaten mulai terlihat dari padat Aun-alun Utara Karaton Kasunanan Surakarta oleh berbagai aktifitas, mulai dari perdagangan sampai hiburan yang melibatkan masyarakat luas.

Antusiasme masyarakat ini akan mencapai titik klimaks pada puncak perayaan Grebeg Muludan yang diadakan persis pada hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Acara dimeriahkan gunungan tumpeng yang dibagikan kepada masyarakat, dan konon mengandung berkah bagi mereka yang memercayainya.



Kemeriahan Sekaten yang diselenggarakan setiap tahun menandakan keberhasilan Keraton Surakarta dan Pemerintah Kota Surakarta melestarikan budaya yang memiliki nilai-nilai luhur guna menegakkan dan memperkaya kebudayaan nasional. Di samping itu, Sekaten telah berhasil memberikan kontribusi bagi pergerakan perekonomian rakyat secara signifikan.

Di antara kemeriahan dan kesakralan tradisi tahunan perayaan Sekaten terdapat sebuah sisi yang terlupakan yang pada dasarnya merupakan esensi dan ruh dari Sekaten itu sendiri, yaitu dimensi dakwah yang belum tergarap secara optimal. Sehingga sudah saatnya pada momentum ini kita belajar dari sejarah untuk memaknai perayaan Sekaten dan selanjutnya mengambil benang merah meneruskan perjuangan dakwah yang telah dilakukan oleh para pelaku dakwah sebelumnya.

Melalui Sekaten kita diajarkan bagaimana menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat luas melalui jalur kebudayaan secara persuasif. Sekaten yang berasal dari kata syahadatain merupakan upaya Walisongo untuk menyebarkan agama Islam dengan memanfaatkan kultur masyarakat setempat yang gemar dengan seni tradisional, khusunya gamelan. Walisongo berusaha mengadopsi nilai-nilai seni dan budaya masyarakat sebagai media dakwah, kemudian memasukkan nilai-nilai Islam ke dalam bentuk budaya yang digandrungi masyarakat kala itu.

Dakwah yang dikembangkan oleh Walisongo dengan berbalutkan budaya pada praktiknya memudahkan penerimaan masyarakat dan tidak memunculkan benturan budaya dan resistensi yang berarti di masyarakat. Banyak contoh yang telah dilakukan oleh Walisongo dalam mengemas dakwah.

Sunan Kalijaga misalnya, merajut nilai-nilai Islam ke dalam cerita wayang kulit seperti yang terlihat pada cerita wayang tentang Jimat Kalimasada, yang tidak lain adalah simbolisme dua kalimat syahadat. Sunan Bonang menciptakan tokoh Durna yang melambangkan nafsu manusia. Sementara Sunan Giri menciptakan tembang dolanan atau lagu anak-anak yang bernuansa keislaman seperti Cublak-cublak Suweng, Ilir-ilir dan lain sebagainya.

Menghargai kultur lama

Sampai saat ini model dakwah yang dilakukan Walisongo pada masa lalu masih menjadi polemik. Model dakwah Walisongo mungkin dianggap baru di Indonesia, tapi bukan yang pertama dalam khazanah Islam. Karena Rasulullah SAW sudah lebih dahulu mencontohkan dakwah dengan memperhatikan nilai-nilai budaya masyarakat setempat. Beliau cerdik memahami kondisi masyarakatnya yang saat itu masih diselimuti oleh tradisi dan adat lama.

Contoh dakwah kultural yang dilakukan Rasulullah adalah tatkala pada suatu hari salah seorang kepala suku Arab ingin masuk Islam, namun sang elit tradisional ini khawatir jikalau tradisi dan nilai budayanya bertentangan dengan Islam, lalu dicampakkan. Menghadapi kegalauan hati kepala suku tersebut Rasulullah bersikap lunak dengan memperbolehkan melanjutkan budaya dan tradisi mereka dengan memberikan persyaratan yang terdiri dari dua kata yaitu “jangan berbohong”. Kepala suku itu tidak menduga betapa mudahnya menjadi seorang muslim, dan ia pun segera bersyahadat. Lambat laun sang pemegang adat dan kultur yang kuat itu menjadi muslim yang saleh.

Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa kultur lama tidak serta merta dihapus dengan datangnya Islam. Kendati demikian, dakwah kultural bukan berarti tenggelam ke dalam budaya kontemporer. Dakwah harus tetap sesuai dengan nilai-nilai dan ruh Islam, serta tidak melakukan pencampuran antara yang haq dan bathil.

Islam tetap menghargai kultur lama sepanjang hal tersebut tidak bertentangan dengan prinsip dan ruh Islam. Penyesuaian dakwah dengan kadar kemampuan masyarakat akan lebih efektif dan lebih mendapat tempat di masyarakat. Pola dakwah semacam inilah yang kemudian dikembangkan oleh para sahabat seperti Umar Bin Khattab dengan ungkapan yang terkenal khatibu an nas ala qadri uqulihim (sampaikanlah kepada manusia sesuai dengan kadar kemampuan berpikir mereka).

Dalam konteks kekinian dakwah yang berupaya mempersatukan persepsi dalam rangka menciptakan Islam yang sejuk dan bernuansa kultural di negeri ini sangat positif untuk dikembangkan. Upaya dakwah semacam ini akan membuat kelompok abangan menjadi tidak memiliki hambatan mental untuk belajar Islam. Singkatnya, dakwah yang dibutuhkan saat ini adalah dakwah yang mengakui secara tulus pentingnya menghargai multikulturalisme, keunikan, dan kekhasan setiap lapisan masyarakat, termasuk mereka yang berada dalam kategori abangan.

Keberpihakan dakwah kultural adalah pada nilai-nilai universal kemanusiaan, menerima kearifan lokal, dan mencegah kemungkaran dengan memperhatikan keunikan sifat manusia secara individu dan sosial. Cara dakwahnya memudahkan dan menggembirakan demi tegaknya nilai-nilai Islam di berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi, politik, pendidikan dan budaya.

Akhirnya, kita berharap dakwah kultural menjadi semacam tenda besar bagi bangsa dalam wacana dan gerakan dakwah karena mempertimbangkan dan menyantuni realitas masyarakat Indonesia yang plural dan multikultural. - Oleh : Imam Mujahid, Sekretaris Jurusan Dakwah & Komunikasi STAIN Surakarta
OPini Solo Pos 5 Februari 2010