Abdi Kurnia Djohan
(Ketua Lembaga Dakwah Al-Azhar)
Di manakah peran ormas-ormas Islam ketika banyak elemen masyarakat sibuk menyoroti persoalan korupsi di negara ini? Pada peringatan hari antikorupsi sedunia, 9 Desember lalu, hanya segelintir ormas Islam yang hadir memberikan dukungan kepada gerakan antikorupsi.
Sementara itu, sebagian besar lainnya tidak diketahui di mana rimbanya. Tapi, yang paling mudah ditebak, ormas Islam lebih tertarik kepada isu-isu klasik yang tidak pernah berubah dari tahun ke tahun.
Ormas Islam merasa asyik memperdebatkan isu liberalisme pemikiran Islam yang sesungguhnya hanya bermaksud mengalihkan perhatian umat Islam kepada persoalan yang bersifat remeh-temeh. Lebih parah lagi, sebagiannya lebih menikmati situasi perdebatan internal mengenai implementasi sunah Nabi SAW di level ibadah ketimbang pelaksanaan sunah Nabi SAW di tataran muamalah.
Mengapa ormas-ormas Islam cenderung abai dengan gerakan antikorupsi? Lebih tajam lagi, mengapa ormas-ormas Islam terkesan seperti autis yang asyik dengan dunianya sendiri dan terkadang melontarkan emosi tanpa sebab kepada orang lain? Survei yang dilakukan oleh PPIM UIN Syarif Hidayatullah menyebutkan fakta tidak adanya korelasi antara kesalehan ritual yang dilakukan oleh umat Islam di Indonesia dengan kesalehan sosial.
Dalam sebuah keterangan yang dimuat di situs Jaringan Islam Liberal, penanggung jawab survei bahkan menyimpulkan kemungkinan kuatnya anggapan di kalangan umat Islam bahwa korupsi tidak mengapa asalkan shalat dan puasa jalan terus. Walaupun dalam beberapa hal, kita boleh tidak sependapat dengan beberapa hasil survei UIN tentang keislaman di Indonesia karena alasan-alasan tertentu, tapi dalam kasus survei tentang keterkaitan kesalehan ritual dan kesalehan sosial sepertinya kita perlu memberikan perhatian khusus.
Pasalnya, fakta yang terjadi memang demikian. Betapa banyak kelompok umat Islam yang begitu menggandrungi studi sunah Nabi SAW, namun pola interaksi di antara sesama mereka dan terhadap umat Islam yang lain justru meremehkan sunah Nabi SAW itu sendiri.
Dalam kaitannya dengan gerakan antikorupsi, ormas-ormas Islam belum melakukan upaya signifikan untuk menyosialisasikan pemahaman antikorupsi ke tengah-tengah umat Islam. Sebagai contoh yang sederhana, materi khotbah Jumat yang disampaikan di masjid-masjid jarang menyinggung kesadaran antikorupsi. Apalagi, untuk mengupayakan pengembangan kajian fikih antikorupsi (fiqhul hisbah) di berbagai forum keilmuan.
Belum terlihatnya upaya mendukung gerakan antikorupsi itu juga dapat dicermati dari belum meratanya pemahaman ormas-ormas Islam terhadap korupsi itu sendiri. Hal itu setidaknya terungkap dalam sebuah pertemuan lembaga-lembaga dakwah se-DKI beberapa waktu lalu, yang membahas penyaluran dana bantuan pembinaan mental di wilayah DKI Jakarta.
Dari pandangan yang dikemukakan seputar bantuan pemerintah daerah tersebut, sebagian besar ormas Islam belum bisa membedakan antara keuangan publik dan sedekah. Terminologi bantuan pemerintah masih dipandang sebagai sedekah yang pertanggungjawabannya bersifat moral. Padahal, sekiranya dicermati lebih teliti, walaupun berada di wilayah agama, sedekah juga mempunyai dimensi pertanggungjawaban publik. Secara doktriner, ditemukan bukti bahwa terdapat sanksi yang sangat tegas bagi pelaku penyalah guna sedekah atau wakaf yang selama ini berkeliaran di tengah-tengah umat Islam.
Amal saleh
Persoalan kemampuan mengontekstualisasi doktrin (das sollen) ke dalam fakta (das sein) agaknya masih menjadi masalah utama ormas-ormas Islam dan juga umat Islam. Persoalan tersebut kemudian merembet kepada persoalan mengaktualisasikan doktrin menjadi kenyataan. Lalu, terungkap ketidakmampuan ormas-ormas Islam dalam merespons gelombang antikorupsi di Tanah Air. Namun, selain dari kedua persoalan itu, ormas-ormas Islam dan umat Islam mempunyai persoalan dengan niat berpolitik yang selama ini agaknya perlu diluruskan kembali.
Motivasi politik umat Islam, termasuk di dalamnya ormas-ormas Islam dan parpol-parpol Islam, selama ini cenderung ingin memperkuat persoalan formalitas keagamaan. Perpolitikan umat Islam, sampai abad modern ini, masih berkutat pada persoalan formalisasi syariat atau sekularisasi syariat. Sampai saat ini, belum pernah muncul ke hadapan publik kekuatan politik Islam yang mengedepankan konsepsi iman dan amal saleh dalam berpolitik. Umat masih menunggu apa dan bagaimana interpretasi kontekstual tentang amal saleh yang hendak ditampilkan oleh kekuatan politik Islam. Secara sederhana, dapat dipahami bahwa kekuasaan merupakan buah dari amal saleh yang dilakukan oleh umat Islam. Setidaknya, itulah yang disebutkan dalam Alquran surah Annur (24) ayat 55, "Dan, Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa." Dengan menonjolkan sisi amal saleh, sebenarnya politik Islam mampu meraih dukungan publik tanpa perlu memperbesar hasrat untuk berkuasa.
Persoalan niatan berpolitik itu pada gilirannya akan mendorong munculnya kreativitas dalam berpolitik. Seperti telah disebutkan sebelumnya, sampai saat ini, manuver politik Islam masih berkisar pada persoalan yang sama sejak dahulu. Politik Islam kehilangan imajinasi kreatifnya untuk memberikan yang terbaik bagi bangsa Indonesia. Ormas-ormas Islam dan parpol-parpol Islam belum mampu menjadi teladan yang baik, yang bisa dibanggakan oleh bangsa ini. Dalam kaitannya dengan pemberantasan korupsi, itu bisa dilihat belum munculnya sebuah ormas Islam atau kekuatan sosial-politik Islam yang dapat menjadi teladan penegakan budaya antikorupsi.
Masalah niatan politik itu tidak bisa dilepaskan dari mentalitas politik Islam yang mempunyai preferensi yang demikian kuat terhadap kekuasaan. Politik Islam cenderung terjebak pada anggapan bahwa kekuasaan merupakan parameter kemenangan politik Islam sebagai orientasi politik. Padahal, ketika rapat BPUPKI tahun 1945, para founding fathers dari kelompok Islam menegaskan relasi yang sangat erat antara amal saleh, dasar negara yang berasaskan Islam, dan kontinuitas bangsa.
Mentalitas kekuasaan itu semakin kuat. Dalam beberapa rezim, politik Islam untuk beberapa kelompok mendapatkan keuntungan tertentu dari kekuasaan. Akibatnya, ciri khas kesederhanaan dari politik Islam menjadi luntur persis sebagaimana sering dikhawatirkan oleh Nabi Muhammad sendiri. Dalam perkembangannya, mentalitas kekuasaan itu sering direproduksi dalam berbagai momentum keagamaan.
Opini Republika 5 Februari 2010
04 Februari 2010
Komitmen Antikorupsi
Thank You!