18 Februari 2010

» Home » Okezone » SOS Internet! Ancaman Regulasi RPM Konten

SOS Internet! Ancaman Regulasi RPM Konten

Bayangkan situasi ini. Anda mendapatkan layanan publik yang buruk, misalnya dipersulit ketika mengurus surat-surat di kantor kelurahan ataupun kantor polisi.

Bisa juga ditolak oleh rumah sakit ketika membutuhkan perawatan segera karena Anda tak membawa cukup dana. Bisa jadi suatu ketika Anda jengkel dengan petugas bank yang sama sekali tak menanggapi keluhan soal berkurangnya dana tabungan di bank yang bersangkutan. Saat ini, tak begitu sulit untuk menumpahkan kekesalan atas semua kejadian tak mengenakkan di atas: lewat tulisan di akun pribadi di situs jejaring sosial, entah Facebook ataupun Twitter.

Anda juga bisa mengirimkan keluhan lewat media online ataupun surat kabar yang juga dapat dikonsumsi secara online maupun e-paper seperti harian Seputar Indonesia. Namun, sebentar lagi mungkin keluhan Anda sulit dimuat di berbagai media di atas. Rancangan Peraturan Menteri tentang Konten Multimedia (selanjutnya disebut RPM Konten) yang diterbitkan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) mengatur pihak penyelenggara yang memuat keluhan, seperti yang Anda kirimkan di atas, terancam kena sanksi.

”Penyelenggara” dalam RPM Konten ini didefinisikan sebagai penyelenggara jasa telekomunikasi yang menawarkan layanan berbasis teknologi informasi meliputi jasa akses internet, penyelenggara jasa interkoneksi internet, penyelenggara jasa internet teleponi untuk keperluan publik sampai penyelenggara jasa multimedia lainnya. Sanksi yang mengancam bertingkat: teguran tertulis, denda administratif, pembatasan kegiatan usaha, dan/atau pencabutan izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Itu belum selesai.

Pengenaan sanksi administratif tidak menghapus pertanggungjawaban pidana. Semua keluhan pribadi di atas, jika dimuat oleh penyelenggara jasa multimedia atau jasa internet, berpotensi melanggar Pasal 5 RPM Konten. Di situ disebutkan, penyelenggara dilarang mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya konten yang mengandung muatan mengenai tindakan yang merendahkan keadaan dan kemampuan fisik, intelektual, pelayanan, kecakapan, dan aspek fisik maupun nonfisik lain dari suatu pihak.

Seperti kebiasaan peraturan di negeri ini, susunan kalimat dibuat lentur bagaikan karet. Jika pasal ini diterapkan, bagaimana dengan tayangan visual cuplikan komedi situasi yang ditayangkan televisi yang dipublikasikan melalui media internet atau online? Bisakah Menteri Tifatul Sembiring atau Tim Konten Multimedia yang beranggotakan 30 orang, yang diketuai dirjen terkait, melarang Youtube menayangkan beragam video dan informasi yang masuk dalam kriteria Pasal 5 tersebut di atas?

Tim Konten Multimedia adalah tim bentukan Menkominfo yang tugasnya memeriksa pengaduan atas konten multimedia dan mengklasifikasikannya sebagai konten yang dilarang dan konten yang tidak dilarang. Lalu rekomendasi tersebut disampaikan ke Dirjen. ***

RPM Konten mendefinisikan multimedia sebagai sistem elektronik yang memiliki kemampuan untuk melaksanakan fungsi telekomunikasi, penyiaran, dan teknologi informasi.

Adapun konten didefinisikan sebagai substansi atau muatan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang mencakup seluruh suara, tulisan, gambar baik diam maupun bergerak atau bentuk audio visual lainnya, sajian-sajian dalam bentuk program, atau gabungan sebagiannya dan/atau keseluruhannya. Artinya, konten pers cetak dan pers elektronik, termasuk TV dan radio, masuk dalam radar RPM ini.

Di era konvergensi media, yang justru jadi salah satu jargon dari Depkominfo, produk jurnalistik baik itu cetak, televisi maupun radio, dapat diakses melalui internet. Melibatkan unsur pemerintah dalam pengawasan dan pengenaan sanksi atas konten multimedia sudah melanggar UU No 40 tentang Pers dan UU No 32/2002 tentang Penyiaran. Padahal, kedua UU itu dicantumkan sebagai konsiderans. RPM ini juga memberikan beban berat bagi penyelenggara.

Di antaranya penyelenggara harus memoderasi atas ribuan bahkan jutaan informasi yang berseliweran masuk setiap hari. Bayangkan! Artinya, yang namanya disclaimer yang selama ini ”membebaskan” penyedia jasa internet ataupun koneksi internet dari tanggung jawab atas konten layanan multimedianya menjadi tak berlaku lagi. Pasal 9 mewajibkan penyelenggara membuat aturan layanan, termasuk mengharuskan pengguna memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai identitas dan kontaknya saat mendaftar.

Hmmm...artinya Anda tak bisa lagi mendaftar dengan identitas samaran. Juga kian kecil kemungkinan Anda sebagai sumber informasi anonim diizinkan penyelenggara. Pasal ini bernuansa memberangus kemerdekaan menyampaikan pendapat, termasuk dalam menyampaikan kritik terhadap pihak yang berkuasa secara anonim. Sumber anonim memang memiliki efek negatif. Namun banyak informasi penting dan rahasia muncul dari sumber anonim.

Mereka menggunakan identitas “anonim” demi melindungi keselamatan keluarga, pribadi, atau karier. Adalah tugas pengawas atau supervisor dari instansi atau petugas yang diadukan untuk mengecek apakah kritikan itu benar atau fitnah. Kalau tidak benar, sudah ada prosedur hukum yang mengatur mengenai hal ini. Bila pengaduannya menyangkut produk pers, jelas tak bisa dikriminalisasi.

Jika melanggar dan tetap menampilkan semua informasi yang dilarang, termasuk lalai memverifikasi data pengguna jasa, penyelenggara dikenai sanksi administratif sebagaimana dibahas di atas. Tak mengherankan, RPM ini disambut dengan akun ”SOS internet” di Facebook yang sampai tulisan ini dibuat sudah didukung 5.000-an facebookers. Akun ”Tolak RPM Konten” di Facebook mendapat dukungan sedikitnya 1.500 facebookers dan jumlahnya pasti akan bertambah. Rumusan dalam RPM ini, terutama Pasal 3 sampai Pasal 7 yang mengatur konten yang dilarang diterbitkan lewat multimedia, menunjukkan paradigma berpikir yang belum berubah di jajaran Depkominfo.

Hasrat mengendalikan informasi dan menafikan kemerdekaan berpendapat itu masih menggumpal dalam dan setiap saat coba diimplementasikan lewat peraturan yang dibuat kementerian ini. Mereka tak peduli bahwa aturan menteri ini bertentangan dengan UU yang tingkatnya di atas peraturan menteri atau bahkan UUD 1945 hasil amendemen yang menjamin hak warga untuk menyampaikan pikiran, pendapat, dan mencari informasi dari segala sumber dengan menggunakan berbagai saluran yang ada sebagaimana dijamin Pasal 28 F.

Tambahan lagi, dengan mewajibkan penyelenggara menyensor semua konten yang diteruskan kepada publik, Indonesia yang mengaku sebagai negeri demokrasi terbesar ketiga di dunia menjiplak kebijakan pemerintah China. Pemerintahan Negeri Tirai Bambu itu menugasi sekira 30.000 polisi internet dan memberikan hadiah besar bagi warga yang memberikan informasi pelanggaran aturan internet.

Apakah ini yang hendak dilakukan Pemerintah Indonesia? Yang lebih bermanfaat dilakukan adalah mengalokasikan sumber daya dan dana untuk melakukan literasi media agar mengonsumsi internet sehat dan bukannya mencoba membendung arus informasi di era cyber dan borderless seperti yang kita alami saat ini.(*)

Uni Z Lubis
Ketua Harian ATVSI, Anggota Dewan Pers 2010–2013

Opini Okezone 18 Februari 2010