18 Februari 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Pemasaran Sosial Program Kesehatan

Pemasaran Sosial Program Kesehatan

Oleh UUD WAHYUDIN

Berbagai wabah penyakit kembali merebak di berbagai daerah di Jawa Barat. Serangan flu burung pada unggas kembali terjadi menyusul ditemukannya kasus flu burung pada tujuh puluh ekor ayam kampung di Kabupaten Bandung dan Kabupaten Garut (Pikiran Rakyat, 3/2). Pada awal Januari 2010, kasus demam berdarah dengue (DBD) yang tercatat di Dinkes Kota Sukabumi sudah menjangkiti 163 penderita (”PR”, 9/2/2010). Di Kabupaten Indramayu, selama Januari tercatat 52 pasien menjalani rawat inap dan satu anak meninggal akibat serangan DBD (”PR”, 3/2/2010). Di Ciamis, penderita diare terus bertambah hingga dinyatakan sebagai kejadian luar biasa (KLB). Hingga Minggu (24/1) tercatat penderita diare mencapai 262 orang (”PR”, 25/1/2010).


Terulangnya kasus berbagai wabah penyakit di berbagai daerah di Jawa Barat mengindikasikan bahwa masih kurangnya perhatian pemerintah daerah/Dinas Kesehatan dalam upaya memberikan perhatian yang lebih besar bagi upaya preventif dan promotif. Di sinilah pentingnya upaya-upaya preventif dan promotif agar berbagai wabah penyakit yang menimpa masyarakat dapat diminimalisasi sekaligus meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat.

Sudah saatnya pemerintah daerah berpikir ulang dalam pengarusutamaan program kesehatan. Menurut Institute of Medicine (IOM) yang dikutip Kar dan Alcay (2001:29), peran pemerintah dalam kesehatan masyarakat adalah memfasilitasi tiga fungsi; pertama, assessment yang terdiri atas diagnosis, pengawasan, analisa kebutuhan, pengumpulan dan analisis data, penelitian dan evaluasi hasil. Kedua, policy development yang terdiri atas analisis dan formulasi kebijakan, menetapkan prioritas dan tujuan, menangani persepsi yang berbeda dan alokasi sumber daya, serta mendukung aksi masyarakat dan swasta melalui perangsang dan persuasi. Ketiga, ensurance yang terdiri atas aksi untuk menjamin pelayanan perawatan kesehatan terlengkap untuk memperoleh persetujuan bersama, pelaksanaan sesuai dengan undang-undang, mengembangkan respons yang sesuai dengan krisis, dan penyokong pelayanan serta jaminan akuntabilitas.

Peran pemerintah dalam meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat mutlak dibutuhkan. Selanjutnya diperlukan langkah strategis, seperti intervensi komunikasi pemasaran sosial untuk memperoleh objektivitas, termasuk memperkuat komunitas yang berisiko, advokasi, koalisi, serta membangun konsensus guna aksi sosial untuk memperoleh kesehatan lebih baik.

Philip Kotler dan Eduardo L. Roberto (2005) mengatakan, pemasaran sosial adalah untuk menggambarkan penggunaan prinsip-prinsip dan teknik-teknik pemasaran dalam memajukan masalah-masalah sosial, baik ide maupun perilaku. Pemasaran sosial adalah pemanfaatan prinsip-prinsip dan teknik-teknik pemasaran untuk memengaruhi target audience agar mereka secara suka rela menerima, menolak, mengubah, atau meninggalkan suatu perilaku demi keuntungan semua pihak baik individu, kelompok, maupun masyarakat. Pemasaran sosial adalah rancangan, pelaksanaan, dan pengawasan program yang berusaha untuk meningkatkan sikap diterimanya gagasan, alasan, dan praktik sosial dalam kelompok sasaran.

Upaya-upaya preventif dan promotif di bidang kesehatan harus tetap dikedepankan. Langkah pertama yang bisa dilakukan pemerintah daerah/Dinas Kesehatan sebagai pemasar sosial dalam merancang strategi perubahan sosial bidang kesehatan adalah merumuskan tujuan. Anggap saja tujuannya ”mengurangi persentase serangan penyakit flu burung di Kabupaten X dari 60 persen menjadi 40 persen dalam lima tahun”. Langkah berikutnya, menganalisis kepercayaan, sikap, nilai, serta tingkah laku pemilik unggas dan masyarakat di Kabupaten X. Faktor penting yang mendukung serangan penyakit flu burung juga dianalisis. Hal ini diikuti konsep yang mungkin dapat mencegah penyebaran flu burung di Kabupaten X. Langkah berikutnya merupakan evaluasi alternatif pendekatan komunikasi dan distribusi terhadap pasar target. Hal ini diikuti penyusunan rencana pemasaran dan organisasi pemasaran untuk melaksanakannya. Akhirnya, syarat-syarat dibuat untuk memantau hasil-hasil selanjutnya dan mengambil langkah-langkah koreksi. Teori-teori persuasi dapat membantu mengidentifikasi proses-proses yang terjadi ketika pesan-pesan komunikasi kesehatan diarahkan untuk memengaruhi sikap dan perilaku khalayak.

Pada akhirnya, saya setuju dengan pendapat Prof. Dr. (HC) dr. Uton Muchtar Rafei yang mengatakan, politik kesehatan harus menjadi cara berpikir bagi para pembuat keputusan atau pengambil kebijakan di pusat maupun di daerah yang kemudian harus diikuti oleh pembuat kebijakan kesehatan. Masalahnya adalah, politik kesehatan sering kali atau hampir selalu dipengaruhi oleh kekuatan politik. Dengan demikian, peran pemerintah daerah/Dinas Kesehatan perlu ditingkatkan untuk dapat menjangkau masyarakat dalam rangka mengomunikasikan program promotif dan pencegahan penyakit. Mungkinkah visi ”Indonesia Sehat 2010” (bila masih ada) bisa dicapai?***

Penulis, mahasiswa Program Doktor Ilmu Komunikasi Pascasarjana Unpad dan dosen Jurusan Manajemen Komunikasi Fikom Unpad Bandung.
Opini PIkiran Rakyat 19 Februari 2010