18 Februari 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Menanti Kiprah Kaum Agamawan

Menanti Kiprah Kaum Agamawan

Oleh Benni Setiawan

Banjir dan tanah longsor kembali menghiasi halaman depan media massa, baik cetak maupun elektronik. Banjir dan tanah longsor kali ini juga menyisakan kesedihan bagi korban. Harta benda dan nyawa menjadi taruhan atas peristiwa tahunan ini. Mengapa banjir dan tanah longsor selalu terjadi dan bahkan menjadi agenda wajib tahunan?


Banjir dan tanah longsor yang terjadi di sejumlah wilayah di Jawa Barat seperti Bandung dan Sukabumi, tentunya tidak dapat dipisahkan dari perilaku negatif (kalau tidak mau disebut menyimpang) manusia. Manusia sebagai makhluk berakal dan mempunyai nafsu senantiasa merusak alam. Padahal seharusnya manusia sebagai pemimpin di muka bumi (khalifatul fil ardhi) yang dibekali Tuhan dengan akal, dapat menjaga harmoni antara alam dan Tuhannya.

Menurut David Bryce-Smith dalam Kenneth Aman (ed, 1988), antara sifat dasar dunia Tuhan dan manusia harus ada hubungan yang harmonis. Smith menganalisis permasalahan ekologi melalui bidang ekonomi, karena terdapat kesalahan manajemen pada urusan manusia di era industrialisasi sekarang ini. Smith menjelaskan perlunya tingkah laku yang bermoral sebagai sebuah evolusi. Terutama oleh kaum agamawan, yang memiliki ”agama” (kehendak menafsir, meminjam istilah Gadamer) untuk kebaikan umat manusia. Agama harus mengajarkan hubungan manusia yang bertanggung jawab ke arah sifat dasar dunia.

Mengapa kaum agamawan? Hal ini karena mereka merupakan entitas yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia ”tradisional”. Dengan sentuhan agama, seseorang akan mudah disadarkan bahwa eksploitasi alam akan mendatangkan kerusakan di muka bumi. Dengan agama pula, seseorang mempunyai kesadaran kritis untuk tidak melakukan tindakan yang merugikan dirinya sendiri. Karena agama masih menjadi ”panduan suci” dalam setiap aktivitas umat manusia.

Kaum agamawan pun demikian. Dia adalah panutan masyarakat. Apa yang dituahkan akan dituruti tanpa harus banyak berdebat. Hal ini karena masyarakat menganggap mereka sebagai manusia terpilih.

Namun, apa yang terjadi sekarang ini? Agama dan kaum agamawan lebih disibukkan oleh urusan politik praktis. Agama dijadikan alasan pembenar atas segala tindakan atau perilaku politik. Agama pun dijual murah untuk meraih suara terbanyak. Simbol-simbol agama pun menjadi hal dominan dalam iklan politik saat Pemilu 2009 dan menjelang Pemilukada 2010. Kaum agamawan pun berlomba meraih kursi di tingkat DPRD tingkat I dan II, DPR RI, bupati/wakil bupati, wali kota/wakil wali kota.

Jika keadaannya demikian, kepada siapa lagi masyarakat berkeluh kesah dan meminta ”fatwa”? Masyarakat akan sulit mencari figur yang dapat membimbingnya untuk berperilaku dan menjaga ekosistem alam. Kaum agamawan sudah tidak lagi punya banyak waktu untuk mendidik warganya agar sadar lingkungan karena waktunya habis untuk urusan lobi, intrik, dan manuver guna meraih jabatan di pemerintahan.

Kerusakan lingkungan akibat illegal logging tidak menjadi isu sensitif agama dan kaum agamawan. Bagi mereka, isu krusialnya adalah bagaimana menjalankan mesin partai, menjaga kandang agar tidak kebobolan, dan bersiap melakukan serangan balik jika lawan politiknya menyerang atau melakukan manuver. Kerusakan lingkungan dan bencana alam tidak pernah dicarikan solusinya (fatwa). Padahal merusak lingkungan merupakan perbuatan keji yang dilarang Tuhan. ”Telah tampak kerusakan di daratan dan laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar),” (Q.S. ar-Ruum, 30:41).

Keadaan seperti ini sudah saatnya diakhiri. Kaum agamawan saatnya kembali mengabdikan hidupnya untuk umat. Kaum agamawan selayaknya menyisakan sedikit tenaga dan waktunya untuk menjaga harmoni antara manusia dan alam. Kaum agamawan sudah saatnya menyuarakan fatwa (seruan) menjaga alam. Khotbah-khotbah Jumat (bagi umat Islam), dan Minggu (bagi umat Katolik dan Protestan) sudah saatnya dihiasi rujukan kitab suci dan penyadaran agar umat tidak menyia-nyiakan alam.

Warga perlu disadarkan bahwa alam sangat terbatas. Jika manusia mengeksploitasi alam, maka, ia meninggalkan kerusakan dan generasi lemah. Akan banyak generasi mati sia-sia tanpa sempat menikmati indahnya hidup di bumi. Keindahan bumi dan kelestarian bumi sudah saatnya kita jaga bersama. Kerusakan bumi merupakan bencana bagi kelangsungan hidup manusia. Ini karena di bumilah manusia hidup dan meneruskan keturunannya.

Sudah saatnya agama dan kaum agamawan turut serta menjadi penjaga alam dari kerusakan. Mereka merupakan harapan bagi masyarakat Indonesia yang konon religius dalam menjaga makro dan mikrokosmos bumi. Tanpa kesadaran kaum agamawan, banjir dan tanah longsor akan terus menjadi agenda tahunan. Pada akhirnya, umatlah yang akan menjadi korban. Wallahualam.***

Penulis, peneliti Lentera Institute.
OPini PIkiran Rakyat 19 Februari 2010