01 Februari 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Pendidikan Budi Pekerti Terintegrasi

Pendidikan Budi Pekerti Terintegrasi

Oleh Ki Sugeng Subagya

Kurikulum berbasis kompetensi yang dikembangkan saat ini tetap menempatkan pendidikan budi pekerti sebagai pendidikan yang terintegrasi dengan mata pelajaran lain dalam pembelajaran. Mengintegrasikan suatu muatan pembelajaran ternyata bukan pekerjaan mudah bagi sebagian besar guru. Karenanya, diperlukan strategi tertentu agar pembelajaran pendidikan budi pekerti berjalan efektif.


Secara konsepsional, pendidikan budi pekerti merupakan usaha  sadar menyiapkan peserta didik menjadi manusia seutuhnya yang berbudi pekerti luhur dalam segenap peranannya sekarang dan masa yang akan datang. Di samping itu, pendidikan budi pekerti merupakan upaya pembentukan, pengembangan, peningkatan, pemeliharaan, dan perbaikan perilaku peserta didik agar mereka mau dan mampu melaksanakan tugas-tugas hidupnya secara selaras, serasi, dan seimbang.

Secara operasional, pendidikan budi pekerti merupakan  upaya membekali peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan latihan selama pertumbuhan dan perkembangannya sebagai bekal bagi masa depannya. Tujuannya agar mereka memiliki hati nurani yang bersih, berperangai baik, serta menjaga kesusilaan dalam melaksanakan kewajiban terhadap Tuhan dan terhadap sesama makhluk. 

Pendangkalan konsep

Dikhawatirkan, dengan pengintegrasian yang tidak tepat, pendidikan budi pekerti dalam pembelajaran akan mengalami pendangkalan makna, setidaknya pendangkalan konsep. Bisa jadi pembelajaran budi pekerti menjadi tidak lebih sekadar pendidikan etika atau sopan santun. Padahal, sesungguhnya etika atau sopan santun hanyalah bagian dari pendidikan budi pekerti.

Secara etimologis, istilah budi pekerti, atau dalam bahasa Jawa disebut budi pakerti, dimaknai sebagai budi berarti pikir, dan pakerti berarti perbuatan. Dengan demikian, budi pakerti dapat diartikan sebagai perbuatan yang dibimbing oleh pikiran; perbuatan yang merupakan realisasi dari isi pikiran; atau perbuatan yang dikendalikan oleh pikiran.

Budi pekerti berisi nilai-nilai perilaku manusia yang akan diukur menurut kebaikan dan keburukannya melalui ukuran norma agama, norma hukum, tata krama, dan sopan santun, norma budaya/adat istiadat masyarakat. Pendidikan budi pekerti akan mengidentifikasi perilaku positif yang diharapkan dapat terwujud dalam perbuatan, perkataan, pikiran, sikap, perasaan, dan kepribadian peserta didik. Budi pekerti luhur dapat menciptakan sikap sopan santun, suatu sikap dan perbuatan menunjukkan hormat, takzim, tertib menurut adat yang baik yang menunjukkan tingkah laku yang beradab. 

Dewasa ini, masyarakat sering menggunakan istilah etiket atau etika, yang diartikan sama dengan tata krama, unggah-ungguh, dan subasita. Ketiga istilah ini selalu dihubungkan dengan sikap dan perilaku sopan santun. Dalam konteks ini, etika dihubungkan dengan norma sopan santun, tata cara berperilaku, tata pergaulan, dan perilaku yang baik. 

Tata krama, berasal dari kata tata, yang berarti atur, dan krama, yang berarti langkah. Sedangkan subasita, berasal dari kata su, yang berati baik, dan basita, yang berarti bahasa. Dengan demikian, tata krama berkaitan dengan perilaku seseorang, sedangkan subasita berkaitan dengan cara memilih kata dan kalimat dalam berbahasa dan bagaimana pengucapannya.  Lain halnya dengan unggah-ungguh yang merupakan hal yang bersangkutan dengan aturan sikap dan cara menempatkan diri dalam perbuatan atau bertindak. Misalnya, dalam berbicara harus mengatur sikap anggota tubuh dan alat suara.

Pengintegrasian pendidikan budi pekerti dalam pembelajaran perlu diperjelas wujudnya. Di antaranya, hendaknya implementasi pendidikan budi pekerti bukan hanya pada ranah kognitif saja, melainkan harus berdampak positif terhadap ranah afektif dan psikomotorik yang berupa sikap dan perilaku peserta didik dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam konsepsi Ki Hadjar Dewantara, pembelajaran sebagai produk menyangkut tiga unsur, ialah ngerti, ngrasa, dan nglakoni, atau tri-nga. Ketiga unsur itu saling berkaitan. Ketiga unsur itu perlu diperhatikan, supaya nilai yang ditanamkan tidak tinggal sebagai pengetahuan saja tetapi sungguh menjadi tindakan seseorang.

Secara teknis, setidaknya dapat ditempuh dua macam strategi dalam pengintegrasian pendidikan budi pekerti dalam pembelajaran. (1) Pengintegrasian dalam kegiatan sehari-hari, yang dilakukan melalui keteladanan, kegiatan spontan, teguran, pengondisian lingkungan, dan kegiatan rutin. (2) Pengintegrasian dalam kegiatan yang diprogramkan, yang merupakan kegiatan yang jika akan dilaksanakan terlebih dahulu dibuat perencanaannya atau diprogramkan oleh guru. Hal ini dilakukan jika guru menganggap perlu memberikan pemahaman atau prinsip-prinsip moral yang diperlukan.

Akhirnya, secara kurikuler pengintegrasian pendidikan budi pekerti dalam pembelajaran yang diprogramkan perlu perhatian para guru. Mengingat banyaknya muatan-muatan lain dalam mata pelajaran sehingga kurikulum kita sangat sarat muatan. Tanpa kemampuan guru yang baik dalam mengintegrasikan pendidikan budi pekerti terprogram, bukan tidak mungkin pembelajaran akan gagal oleh karena berbagai sebab. Misalnya, fokus pembelajaran tidak jelas, keterbatasan memilih model dan metode pembelajaran, sulitnya merumuskan tujuan pembelajaran terintegrasi, dan sebagainya.***

Penulis, pamong Tamansiswa, pemerhati pendidikan dan kebudayaan.
Opini Pikiran Rakyat 2 Februari 2010