01 Februari 2010

» Home » Suara Merdeka » Jalan Tol dan Beban Baru Pemda

Jalan Tol dan Beban Baru Pemda

SIDANG analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) terkait dengan proyek jalan tol digelar di Balai Diklat Trans Jaya di Kota Tegal, 14 Januari 2010.

Kegiatan ini diikuti tak kurang dari 300 peserta, dari pakar, praktisi, pejabat institusi terkait sampai tokoh LSM, camat, kepala desa ataupun tokoh masyarakat.


Kegiatan ini merupakan rangkaian sidang maraton yang digelar Komisi Penilai Amdal Provinsi Jateng untuk menilai dokumen amdal, rencana kelola lingkunan/ lahan (RKL), dan rencana pantau lingungan/ lahan (RPL). Dokumen itu disusun pemrakarsa dan konsultan, sebagai kelanjutan dari penetapan kerangka acuan amdal.

Santinya secara terpisah dokumen amdal dinilai menurut masing-masing ruas jalan, untuk empat ruas yang melintasi Jawa Tengah.

Kewenangan penilaian berada pada komisi penilai amdal tingkat provinsi karena lingkup pekerjaannya lintas batas kabupaten/kota. Dokumen untuk ruas yang lintas batasnya antarprovinsi akan dinilai oleh komisi pusat.

Dalam sidang, peserta cukup kritis menanyakan dampak lingkungan yang mungkin terjadi,  terutama bagi masyarakat petani. Mereka  juga menanyakan upaya penanganan terhadap terputusnya saluran irigasi di sepanjang areal yang akan dilewati jalan tol dan terganggunya kesehatan akibat lalu lintas truk pengangkut material, dan lain-lain.

Tidak sedikit pula yang mempertanyakan kepastian realisasi proyek itu, termasuk pelaksanaan pembebasan tanahnya dan nilai ganti ruginya.

Molornya batas waktu penilaian kerangka acuan amdal sebagai dokumen awal,  sebagai  pintu masuk persetujuan dokumen amdal yang disodorkan sejak tahun 2007 dan baru selesai dua tahun kemudian, patut direnungkan.

Pemerintah pusat memang sudah mengamankan melalui PP Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, sebagai konsekuensi lahirnya UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Salah satu amanat UU itu  menegaskan bahwa pejabat/ institusi yang menerbitkan izin di luar ketentuan tata ruang wilayah dapat dikenai sanksi pidana.

Dalam rencana tata ruang wilayah nasional sudah diakomodasikan pembangunan jalan tol sebagai upaya penyediaan jalan raya yang efisien dengan tingkat pelayanan yang tinggi guna menunjang pertumbuhan nasional.

Ironisnya sampai 2009 berakhir hampir semua kabupaten /kota  ataupun di tingkat Provinsi Jawa Tengah, yang daerahnya akan dilewati proyek trans Jawa  itu belum mengakomodasikannya dalam perda rencana tata ruang wilayah (RTRW). Faktor itu yang menjadi alasan terganjalnya kerangka acuan amdal.
Kontras Terlepas dari pro dan kontra serta polemik, nantinya jalan tol di Jateng sepanjang lebih dari 300 km, termasuk lingkar kota Semarang yang sudah dioperasikan, akan melintasi minimal 16 kabupaten/kota, lebih dari 50 kecamatan, dan  lebih 175 desa, dengan memakan lahan pertanian setengah teknis sampai pertanian teknis kurang lebih 1.000 hektare.

Apabila berdasarkan indeks pertanaman dianggap panen dua kali setahun, berarti produksi yang hilang bisa 6.300 kg/ ha, setara dengan hasil panen 10.600 ton gabah kering giling (GKG) per tahun.

Suatu angka yang signifikan, belum lagi terputusnya saluran irigasi yang secara tidak langsung bisa menambah jumlah kehilangan produksi dari yang diprediksi.

 Hal itu sangat kontras  karena pada saat pemerintah pusat tengah menggiatkan sosialisasi UU Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan,  pada sisi lain pembangunan jalan tol harus jalan terus  karena sudah terakomodasi dalam rencana tata ruang wilayah nasional.

Satu hal yang dipertanyakan dalam sidang amdal itu yakni kemunculan rekomendasi dari tim penyusun, menyikapi hilangnya luas lahan tersebut. Rekomendasi itu menyebutkan perlunya pemkab/ pemkot yang wilayahnya dilewati proyek agar mencetak sawah baru.

Peserta spontan menanggapi karena menganggap ada ketidakadilan, yakni pemkab/ pemkot harus menanggung akibat kerusakan lingkungan, termasuk berkurangnya lahan pertanian yang dilintasi proyek tol.

Mereka berpendapat dampak negatif akibat proyek nasional itu tidak bijak jika dibebankan ke pemkab/ pemkot mengingat kondisi anggaran yang makin tahun yang tidak ada kenaikan signifikan.

Belum lagi persoalan material uruk batuan quarry untuk penyiapan badan dasar jalan, mengingat untuk ruas Pejagan-Pemalang saja dibutuhkan 6.880.000 m3.

Yang juga perlu dipikirkan adalah reklamasi dari penambangan quarry dan rusaknya jalan desa akibat dilewati truk pengangkut material. Nampaknya hal ini luput dari kajian amdal yang disodorkan untuk dinilai.

Memang pada beberapa bagian yang disampaikan tim penyusun sudah diprediksi beberapa dampak seperti keresahan masyarakat, menurunnya kualitas udara, peningkatan kebisingan, gangguan air permukaan, berkurangnya tanaman pangan, kesempatan kerja dan berusaha, gangguan akses penduduk, dan terputusnya kekerabatan akibat desa yang terbagi dua.

Pembangunan jalan tol harus terus jalan, namun dampak yang timbul juga harus diminimalisasi. Termasuk memikirkan kembali rekomendasi harus mencetak sawah baru oleh pemda yang wilayahnya dilewati proyek. Bila hal itu dibebankan ke pemda, berarti akan menjadi beban tambahan bagi keuangan pemkab/ pemkot.(10)

— Ir Khofifah, Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten Tegal  
Wacana Suara Merdeka 2 Februari 2010