01 Februari 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Pemimpin Ideal Dalam Naskah Sunda

Pemimpin Ideal Dalam Naskah Sunda

Oleh Elis Suryani N.S.

Gonjang-ganjing yang melanda masyarakat berkenaan dengan kepemimpinan, layak untuk dicermati. Hal ini karena masalah kepemimpinan berkelindan dengan sifat, karakter, dan kebijakan ”pimpinan” dalam menangani suatu masalah yang terjadi di masyarakat atau dalam suatu komunitas tertentu. Tulisan ini sekadar mengungkapkan sebagian ”kearifan lokal” kepemimpinan sebagaimana tertuang dalam naskah Sunda buhun abad 16 Masehi, khususnya yang menyangkut masalah tuntunan moral atau pedoman bagi pemimpin dalam melaksanakan tugas dan kepemimpinannya agar berhasil dan dicintai rakyat serta bawahannya.


Adalah naskah Sanghyang Hayu yang merupakan naskah berbahan nipah abad XVI Masehi, beraksara Sunda buhun, yang mengulas selain pedoman hidup dan ajaran keagamaan pada masanya, juga mengungkap tuntunan perilaku bagi pemimpin ideal yang disegani, dihormati, serta dicintai rakyat atau bawahannya. Dalam naskah itu, dipaparkan lima belas unsur penting  yang harus dimiliki pemimpin, yang terangkum ke dalam lima kelompok, sebagaimana dikemukakan Darsa (1998). (1) Budi-guna- pradana (bijak-arif-saleh). (2) Kaya-wak-cita  (sehat/kuat-bersabda-hati. (3)  Pratiwi-akasa-antara (bumi- angkasa-antara. (4) Mata-tutuk-talinga (penglihatan-ucapan-pendengaran. (5) Bayu-sabda-hedap (energi-ucapan/sabda-itikad/kalbu dan pikiran). Semuanya berhubungan satu sama lain yang membangun sikap dan karakter pemimpin ideal.

Pemimpin yang baik dan ideal, menurut naskah  Sanghyang Hayu, juga harus berpegang teguh kepada prinsip astaguna ”delapan kearifan” agar kepemimpinannya berjalan selaras, baik, dan harmonis. Pertama, animan (lemah lembut), pemimpin harus memiliki sifat lemah lembut, dalam arti tidak berperilaku kasar. Kedua, ahiman (tegas), bersikap tegas, dalam pengertian tidak plin-plan (panceg haté). Ketiga, mahiman (berwawasan luas), memiliki berbagai macam pengetahuan dan berwawasan tinggi agar tidak kalah dari bawahannya. Keempat, lagiman (gesit/cekatan/terampil), dituntut terampil dan gesit serta cekatan dalam bertindak atau melakukan suatu pekerjaan. Kelima, prapti (tepat sasaran), memiliki ketajaman berpikir serta tepat sasaran karena jika keliru atau berspekulasi akan menghambat suatu pekerjaan. Keenam, prakamya (ulet/tekun), memiliki keuletan dan ketekunan yang sangat tinggi. Ketujuh, isitna (jujur),  dituntut memiliki kejujuran, baik dalam perkataan, pemikiran, maupun perbuatan, agar dipercaya orang lain (rekan kerja/bisnis/perusahaan/negara lain) dan bawahannya. Dengan demikian, terjalin kesepahaman yang harmonis. Kedelapan, wasitwa (terbuka untuk dikritik), memiliki sikap legowo dan bijaksana sehingga mau menerima saran dan terbuka untuk dikritik jika berbuat salah atau menyimpang dari aturan (Darsa, 1998).

Naskah Sunda berbahan lontar beraksara dan berbahasa Sunda buhun Sanghyang Siksakandang Karesian, mengulas dan mengungkap sepuluh pedoman yang harus dimiliki serta dilaksanakan pemimpin dalam rangka membina serta memimpin bawahannya, yang dikenal dengan sebutan dasa prasanta. Pertama, guna (bijaksana/ kebajikan), perintah yang diberikan dipahami manfaat dan kegunaannya oleh bawahannya sehingga tidak terjadi kesalahpahaman. Kedua, ramah  (bertindak seperti  orang tua yang bijak dan ramah atau bestari) atau keramahan menumbuhkan rasa nyaman dalam bekerja dan beraktivitas. Ketiga, hook (sayang atau kagum), perintah dianggap sebagai representasi kekaguman atas prestasi dari orang yang diperintahnya. Keempat, pésok  (memikat hati atau reueus/bangga), harus mampu memikat hati bawahannya dan merupakan kebanggaan juga bagi bawahannya. Kelima, asih (kasih, sayang, cinta kasih, iba), perintah  harus dilandasi dengan perasaan kemanusiaan yang penuh getaran kasih. Keenam, karunya (iba/sayang/belas kasih), sebenarnya hampir sama dengan asih, tetapi dalam karunya/karunia perintah harus terasa sebagai suatu kepercayaan. Ketujuh, mupreruk (membujuk dan menentramkan hati), seyogianya mampu membujuk dan menentramkan hati dengan cara menumbuhkan semangat kerjanya. Kedelapan, ngulas  (memuji di samping  mengulas, mengoreksi), melalui cara bermacam-macam. Kesembilan, nyecep (membesarkan hati dan memberikan kata-kata pendingin yang menyejukkan hati). Kesepuluh, ngala angen (mengambil hati), mampu menarik hati dan simpati sehingga tersambung ikatan silaturahmi yang kental dan harmonis. Dasa Prasanta tersebut, apabila kita cermati, kaidahnya berpijak kepada kuantitas dan kualitas hubungan antarmanusia, tetapi tidak dalam kondisi yang kaku dan otoriter. Proses komunikasinya tetap menggunakan asas silih asih, silih asah, dan silih asuh.

Kepemimpinan yang baik dan ideal menurut kedua naskah itu ialah, pemimpin yang mampu berperan sebagai leader, manager, entertainer, entrepreneur, commander, designer, dan teacher . Ini sebagaimana dikemukakan mantan Kapolwil Priangan yang kini menjabat Wakapolda Kalimantan Tengah, Anton Charliyan, dalam bukunya Parigeuing (2009). Pemimpin yang memiliki ketujuh sifat itu, pada zaman dahulu, biasanya pemimpin yang sudah ngarajaresi,  dan dikenal dengan sebutan Prabu Siliwangi (raja yang harum namanya). Hal ini karena raja sebagai pemimpin telah mampu memberdayakan serta menyejahterakan orang banyak.***

Penulis, dosen, penulis, dan peneliti di Universitas Padjadjaran.
Opini Pikiran Rakyat 2 Februari 2010