KINERJA satuan kerja perangkat daerah (SKPD) di Pemprov Jateng dinilai tidak memuaskan. Ada beberapa pelayanan yang di bawah standar pelayanan minimal (SPM).’ Demikian menurut Teguh Yuwono, pengamat kebijakan publik Undip, seperti ditulis dalam berita utama di halaman 12 (SM, 9/2/10). Selanjutnya ditegaskan bahwa secara persentase bisa dikatakan 80% kinerja SKPD tidak memuaskan. Terkecuali pada Dinas Pendidikan dan Kesehatan yang mampu menerapkan SPM.
Hari berikutnya (SM, 10/2/10) Sekda Jateng menanggapi bahwa Pemrov masih tunggu aturan SPM. Membaca berita tersebut penulis cukup prihatin karena pernyataan tersebut tidak pas, bahkan tidak tepat dalam memberikan interpretasi atas SPM, padahal mereka berdua adalah pihak yang seharusnya mengerti betul tentang hal ini, satu pihak sebagai pakar yang membidangi dan satunya adalah pejabat yang sangat berkompeten.
SPM bukan tolok ukur kinerja bagi SKPD. Standar pelayanan minimal merupakan standar pelayanan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah kepada masyarakat, namun bukan untuk mengukur kinerja SKPD mengingat SPM adalah tolok ukur penyelenggaraan urusan wajib yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah, seperti disebutkan dalam Pasal 11 Ayat (4) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal itu menyebutkan, ”bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib berpedoman pada SPM dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan oleh Pemerintah”.
Dengan demikian SPM merupakan standar yang melekat pada urusan (istilah sebelumnya adalah sektor). Urusan dimaksud khusus yang berkategori wajib bukan urusan pilihan, yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, di bawah koordinasi sekda.
Termasuk kategori urusan wajib misalnya pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup, perumahan dan sebagtainya. Keseluruhannya berjumlah 26 urusan (lihat PP 38 Tahun 2007, Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/ Kota).
Definisi resmi SPM dapat dilihat pada PP Nomor 65 Tahun 2005 tentang SPM, yang menyebutkan bahwa SPM adalah ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal.
Selanjutnya dalam PP ini disebutkan pula bahwa SPM disusun sebagai alat pemerintah (pusat) dan pemerintahan daerah untuk menjamin akses dan mutu pelayanan dasar kepada masyarakat secara merata dalam rangka penyelenggaraan urusan wajib.
SPM ditetapkan oleh pemerintah dan diberlakukan untuk seluruh pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota. Penerapan SPM oleh pemerintahan daerah merupakan bagian dari penyelenggaraan pelayanan dasar nasional.
Sebagai contoh, Menteri Kesehatan (pemerintah pusat) menetapkan Permenkes No 741 Tahun 2008, tentang SPM Kesehatan, salah satu indikatornya adalah ”cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan, sebesar 90% pada tahun 2015”.
Standar ini harus dibaca bahwa pemerintah daerah (provinsi atau kabupaten/kota) memiliki tugas di bidang urusan wajib kesehatan, antara lain melayani minimal 90% warganya memperoleh pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan, dan target ini harus dicapai pada tahun 2015.
Mengapa disebut minimal? karena SPM ini berlaku umum (seluruh Indonesia) diharapkan bisa dicapai oleh daerah yang miskin dan tertinggal sekalipun. Oleh karena itu bagi Provinsi Jateng harus bisa menetapkan target di atas SPM yang ditetapkan oleh pusat.
Tindak Lanjut
Satuan kerja yang membidangi memang harus mengkoordinasikan pencapaian SPM urusan, namun yang berperan mencapai adalah seluruh SKPD atau bahkan seluruh stakeholder terkait, misalnya seperti contoh SPM Kesehatan berarti menyangkut RS/ RS bersalin (umum dan swasta), puskesmas, balai pengobatan dan sebagainya.
Kinerja SKPD salah satunya bisa dinilai dari laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah yang sering dikenal dengan istilah LAKIP, yakni gambaran perwujudan akuntabilitas kinerja instansi yang disusun secara sistematis dan melembaga dalam satu kesatuan sistem yang disebut sistem akuntabilias kinerja instansi pemerintah atau SAKIP (SK Kepala Lembaga Administrasi Negara No 239 Tahun 2003 tentang SAKIP).
SAKIP tersebut merupakan tindak lanjut dari Inpres No 7 Tahun 1999 tentang AKIP. Amanat dari Inpres ini bahwa setiap akhir tahun anggaran, mulai tahun 2000/2001, setiap instansi pemerintah berkewajiban menyusun laporan akuntabilitas kinerja, dan menyampaikan laporan kepada Presiden dan salinannya kepada BPKP.
Dengan demikian jika ingin mengetahui kinerja SKPD harus melihat sejauh mana target-target kinerja yang telah ditetapkan dalam rencana strategis (renstra) dan rencana kerja (renja) tercapai. Terkait dengan hal ini yang diberi kewenangan untuk mengevaluasi adalah BPKP dan Menpan. Secara normatif yang berhak melakukan penilaian berapa persen pencapaian kinerja seperti dimaksud dalam SAKIP adalah kedua instansi ini.
Apakah betul bahwa peraturan perundangan tentang SPM saat ini belum ada sehingga Pemrov Jateng harus menunggu? Seperti telah disebutkan bahwa SPM termasuk materi yang diatur dalam UU No 32 Tahun 2004 jo UU No 12 Tahun 2008, dan PP tentang SPM telah pula ditetapkan dengan yaitu PP No 65 Tahun 2005.
Selanjutnya telah pula ditetapkan dua Permendagri terkait dengan penyusunan dan penetapan target SPM yaitu Permendagri No 6 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penetapan SPM, dan Permendagri No 79 Tahun 2007 Pedoman Penyusunan Rencana Pecapaian SPM. Permendagri ini ditujukan kepada pemerintah provinsi dan kabupaten/kota untuk menetapkan target pencapaian SPM berdasarkan SPM urusan wajib yang telah ditetapkan oleh menteri.
Sampai dengan saat ini telah ada 5 SPM yang telah ditetapkan oleh menteri, yaitu (1) SPM Bidang Kesehatan (Pemernkes No 741/2008); (2) SPM Bidang Lingkungan Hidup (PermenLH No 19/2008); (3) SPM Bidang Sosial (Permensos No. 129/2008); (4) SPM Bidang Perumahan (Permennegpera No. 22/2008) ; (5) SPM Bidang Pemerintahan Dalam Negeri (Permendagri No. 62/2008). Kelimanya merupakan SPM versi baru yang ditetapkan setelah terbitnya PP No 65 Tahun 2005.
Jika kita cermati lebih jauh, memang ada beberapa menteri yang telah menetapkan SPM sebelum tahun 2005, yaitu SPM Kesehatan (Kepmenkes No 1457 Tahun 2004), SPM Lingkungan Hidup (KepmenLH No 197 Tahun 2004), SPM Pendidikan (Kepmendiknas No 129a/2004), SPM; SPM Pemberdayaan Perempuan (SK MenegPP 23/2001); dan beberapa lainnya. SPM LH dan Kesehatan telah dicabut dan diterbitkan yang baru, namun SPM Pendidikan dan SPM Pemberdayaan Perempuan masih dalam proses revisi.
Terkait hal ini, maka setelah 5 menteri menetapkan SPM seusai urusan yang diampunya maka Provinsi Jateng telah memiliki kewajiban menyusun target pencapaian SPM dengan peraturan Gubernur untuk 5 urusan wajib terkait, namun sampai saat ini masih belum disusun. Memang Jateng pernah menetapkan 2 SPM yaitu SPM Bidang Kesehatan (Kepgub 71 Tahun 2003), dan SPM Pendidikan (Pergub No 03 Tahun 2005), namun kedua SPM ini sudah tidak sesuai karena belum mengacu pada PP No 65 Tahun 2005 dan atau peraturan menteri baru dalam hal ini adalah Permenkes No 741/2008. Karena itu telah cukup peraturan tentang SPM dan tidak selayaknya Pemrov Jateng menunggu. (10)
— Gunarto, mahasiswa S3 Studi Pembangunan UKSW Salatiga, konsultan Good Local Governance (GLG)-GTZ Jawa Tengah
Wacana Suara MErdeka 16 Februari 2010