15 Februari 2010

» Home » Suara Merdeka » Demokrasi Berlandaskan Budaya

Demokrasi Berlandaskan Budaya

MENGAMATI kondisi bangsa saat ini, sebagian besar merasa gamang dan menghendaki perubahan. Selama 12 tahun setelah reformasi, tak ada capaian yang dihasilkan yang bisa membanggakan rakyat. Citra partai pun kini sudah melenceng dari harapan reformasi.

Dalam kondisi seperti itu, rakyat mudah marah dan tak tahu harus berbuat apa. Pemerintah pun melalui pejabat cenderung reaksioner dan saling menyalahkan. Lantas, apa yang harus dilakukan membangun demokrasi berlandaskan budaya?


Demokrasi berlandaskan budaya ini relevan dengan keluhan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang curhat soal demo masyarakat dengan membawa kerbau. Bagi masyarakat yang telah memilih demokrasi sebagai bagian dari sistem politiknya, demo jalanan sah-sah saja. Pasalnya demo jalanan merupakan bagian dari partisipasi masyarakat dalam merespons kinerja pemerintah, selagi partai-partai sulit mengartikulasikan dan mengagregasikan pendapat masyarakat.

Karena itu, demokrasi yang berlandaskan budaya ini harus menjadi sistem nilai dalam pikiran dan perilaku yang memandang setiap orang setara, menghargai hak orang lain seperti menghargai hak diri sendiri, dan memandang negara sebagai tempat berlindung yang nyaman bagi setiap warga.

Karena itu, dengan memberi peluang kepada masyarakat untuk melakukan demo-demo jalanan berarti negara ikut memberdayakan sekaligus mendewasakan rakyat dalam berdemokrasi. hal itu mengingat sistem politik demokrasi, hingga kini masih merupakan yang terbaik. Karena di dalamnya terkandung mekanisme check and balance, proses sirkulasi kekuasaan berkesinambungan, ada persamaan hak dan kewajiban bagi setiap warga di dalam bernegara.

Dengan demikian, demokrasi bisa dipahami bukan semata merupakan persoalan kelembagaan politik seperti pemilihan anggota DPR, DPRD, dan DPD, pemilihan presiden, gubernur, bupati, dan wali kota, melainkan juga perilaku dan pemikiran yang menyangkut budaya masyarakat. Akibatnya, meski lembaga demokrasi diciptakan secara berkala selama perilaku budaya masyarakat belum demokratis, sulit diharapkan anggota lembaga ini berperilaku demokratis.

Padahal, tujuan demokrasi tak lain ingin memperbaiki kualitas hidup dan menyejahterakan rakyat. Dalam konteks kekinian, demokrasi masih bersifat prosedural dan belum substansial, elite partai hanya sibuk berebut dan mempertahankan kekuasaan, serta belum fokus memikirkan kualitas hidup masyarakat luas.

Keadaan ini bisa digambarkan seperti warga yang lari tunggang-langgang hingga saling bersenggolan. Mereka masih euforia dalam beda pendapat, berteriak keras, unjuk rasa gegap gempita seperti sekarang dan sebagainya. Padahal substansi demokrasi harus terwujud dalam perilaku rakyat dalam menerima pluralisme, ada kesetaraan, berani menyampaikan beda pendapat tanpa rasa takut ditangkap aparat keamanan, menjunjung tinggi hukum, rakyat bisa partisipatif dalam aktivitas politik, dan ikut dalam pengambilan keputusan publik.

Untuk itu, kini elite politik dalam lembaga demokrasi dituntut komitmennya dalam mengaselerasi terwujudnya demokrasi di semua lini kehidupan. Melalui upaya itu, perwujudan demokrasi akan semakin jelas menjadi bagian dari sikap mental masyarakat secara komprehensif. Semua itu tidak taken for granted, melainkan butuh waktu panjang dan pendewasaan masyarakat.

Sikap Mental

Selain itu, yang tidak kalah penting tuntutan kualitas demokrasi yang meliputi; kemajemukan, kesetaraan, peri-keadilan, dan kebebasan dalam pengambilan keputusan publik. Ini merupakan indikasi dari wujud demokrasi sebagai bagian dari budaya politik. Persoalannya sekarang terkesan lebih merujuk pada meningkatkan kadar demokrasi prosedural sebagai bagian sistem pengelolaan kekuasaan, daripada demokrasi sebagai bagian pluralitas budaya.

Untuk itu, perlu beberapa langkah berikut; pertama, pentingnya pembaruan institusi politik agar berfungsi sebagai bagian partisipasi masyarakat. Pelibatan masyarakat disini berarti memberi peluang untuk menumbuhkan civil society, yakni masyarakat yang self-organizing  serta sadar akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Di sini, kebebasan dan kemandirian menjadi kunci utama.

Kedua, emansipasi dan partisipasi sebagai proses penyamaan kesempatan bagi warga dalam pengambilan kebijakan publik, termasuk proses pelibatan politik. Emansipasi dan partisipasi sekarang belum merata, masih terhambat kekuasaan yang bersifat personal. Akibatnya, partisipasi hanya berlaku bagi mereka yang berada di lingkungan pengendali kekuasaan (ruling elites) atau kalangan atas. 

Ketiga, menanamkan pemahaman pentingnya hidup bernegara secara santun. Ini penting untuk semua pihak, baik elite di eksekutif, legislatif, dan masyarakat. Dalam studi politik, semua itu dikategorikan sebagai pemahaman kultural.

Keempat, demokrasi harus dipahami sebagai upaya mengembangkan saling pengertian, ada kesetaraan, kebebasan, keadilan, dan kemajemukan hingga budaya politik mampu mengisi kelembagaan politik secara lebih beradap. Hal itu harus dikampanyekan lebih bergelora agar menjadi bagian dari sikap mental dalam mengamalkan demokrasi yang berlandaskan budaya. (10)

— FS Swantoro, peneliti pada Soegeng Sarjadi Syndicate Jakarta
Wacana Suara Merdeka 16 Februari 2010