15 Februari 2010

» Home » Jawa Pos » Eksaminasi Putusan Antasari

Eksaminasi Putusan Antasari

Putusan PN Jakarta Selatan dalam kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen mengundang reaksi, setidak-tidaknya dari penasihat hukum Antasari Azhar sebagai terpidana maupun keluarga korban. Reaksi itu menarik untuk disimak. Bukan disebabkan ditempuhnya upaya banding oleh para penasihat hukum terpidana ataupun penilaian keluarga korban atas rendahnya pidana yang dijatuhkan majelis hakim, namun mengingat dua hal yang bersifat ekstra-yudisial. Yaitu, rencana penasihat hukum melakukan eksaminasi dengan melibatkan beberapa perguruan tinggi dan kemungkinan melaporkannya ke Komisi Yudisial (KY).

Eksaminasi lazimnya dilakukan terhadap putusan pengadilan atas kasus-kasus yang menarik perhatian masyarakat dan atau kontroversial sebagai bentuk kontrol terhadap pengadilan. Kasus Antasari tidak disangsikan telah menyita perhatian masyarakat melalui intensifnya media massa memberitakan perjalanan proses peradilan, termasuk sidang pengadilan dari tahap ke tahap.

Persoalannya, apakah putusan pengadilan kasus tersebut kontroversial? Apabila dilihat dari eskalasi pro-kontra atas putusan pengadilan, tampaknya tidaklah kontroversial. Ini terutama apabila sekadar melihat besaran pidana yang dijatuhkan majelis hakim. Kontroversi dalam menilai putusan pengadilan sebenarnya terletak pada satu hal, yaitu munculnya kesenjangan yang besar dalam cara bernalar hukum. Itu berarti berhubungan dengan ihwal argumentasi yang dipergunakan untuk menyatakan perbuatan terdakwa/terpidana memenuhi unsur suatu ketentuan hukum atau tidak memenuhi. Apabila ini yang muncul dalam menyikapi putusan kasus Antasari, menjadi penting untuk tetap melakukan eksaminasi.

Hukum Multiinterpretatif

Seperti diajarkan oleh Ronald Dworkin, telah menjadi "hukum alam" bahwa norma-norma hukum itu "terbuka" untuk diinterpretasi secara berbeda. Untuk itu, putusan-putusan hukum dikategorikan sebagai putusan nilai (value judgement). Artinya, majelis hakim dapat memiliki argumentasi yang berbeda dengan orang-orang di luar pengadilan. Alih-alih dengan orang awam, dihadapkan dengan para juris (ahli hukum terkemuka) pun, majelis hakim terbuka kemungkinan memiliki dasar argumentasi yang berbeda, bahkan berseberangan. Juga di antara para anggota majelis hakim itu sendiri dapat terjadi perbedaan. Karena itu, dalam UU Kekuasaan Kehakiman dikenal dan dimungkinkan adanya dissenting opinion.

"Ruang terbuka" dalam hukum tersebut bermakna positif apabila para hakim adalah orang-orang yang memiliki profesionalitas, kejujuran, dan tanggung jawab terhadap tegaknya hukum. Di sisi lain, ruang terbuka itu menyediakan arena bagi hakim untuk menyalahgunakan kewenangan kekuasaannya. Tidak heran muncul putusan-putusan yang tidak saja sulit dinalar secara hukum, tetapi juga tidak adil.

Putusan-putusan hakim yang sulit dinalar secara hukum telah makin menguatkan stigma bahwa penegakan hukum di Indonesia sulit diterka (unpredictable). Putusan pengadilan atas kasus Antasari dengan demikian berada dalam rentang antara sekadar perbedaan argumentasi hukum yang dibangun di satu sisi dan penyalahgunaan kekuasaan di sisi lain.

Oleh karena itu, dalam konteks ini, eksaminasi terhadap putusan pengadilan kasus Antasari memiliki nilai tinggi ketika ditemukan bahwa suatu putusan tidak dibangun berdasarkan nalar hukum yang baik, bahkan ada indikasi penyalahgunaan kewenangan melalui "manipulasi" fakta maupun "condong" pada kepentingan-kepentingan yang bertentangan dengan keadilan. Apabila hanya dapat dijelaskan adanya perbedaan titik pijak, baik mengenai ajaran (teori) hukum yang dipakai, sehingga melahirkan interpretasi yang berbeda, putusan majelis hakim patut dihormati.

Keragu-raguan Hakim

Ihwal lain putusan pengadilan dalam kasus Antasari yang mendapat perhatian adalah keragu-raguan hakim dalam memutus. Di beberapa negara lain, terutama yang menganut common law system dikenal standar pembuktian tertinggi (highest standard of proof) yang disebut reasonable doubt. Intinya, apabila dalam pembuktian terdapat keragu-raguan (has a reasonable doubt) bahwa terdakwa bersalah, juri atau hakim harus memutuskan terdakwa tidak bersalah (should pronounce the defendant not guilty). Sebaliknya, apabila juri atau hakim tidak memiliki keraguan atas kesalahan terdakwa, atau ada keraguan, namun tidak nalar, terdakwa harus dinyatakan bersalah.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak mengenal standar tersebut. KUHAP hanya mengatur berdasarkan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dan keyakinan hakim. Seperti diatur dalam pasal 183 KUHAP bahwa hakim dalam menjatuhkan pidana setidak-tidaknya didukung oleh 2 (dua) alat bukti yang sah, sehingga memperoleh keyakinan terjadinya tindak pidana dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Bahkan, dalam praktik, "keyakinan hakim" cenderung menjadi pelengkap dari segmen pembuktian menurut undang-undang. Standar KUHAP ini belum menentukan sampai pada ihwal "keyakinan hakim" itu harus reasonable (nalar) atau tidak boleh unreasonable (tidak nalar) dan konsekuensi masing-masing. Dengan demikian, keyakinan hakim dalam praktik peradilan di Indonesia merupakan bola liar yang bisa nalar dalam satu kasus dan tidak nalar dalam kasus lain. Hal ini kemudian juga menawarkan ruang terbuka lain bagi hakim, yang potensinya sama dengan derajat hukum yang multiinterpretasi.

Meskipun KUHAP tidak menerapkan standar tinggi reasonable doubt, langkah-langkah progresif hakim dalam memutus perlu ditempuh dengan mengadaptasi pada kategori nalar dan tidak nalar. Karena itu, proses eksaminasi putusan pengadilan juga seyogianya bertumpu pada cara-cara berhukum seperti itu. Hal ini tidak saja berpengaruh pada penerimaan warga masyarakat pada setiap putusan pengadilan, tetapi juga kualitas putusan hakim itu sendiri. (*)

*). Dr Hari Purwadi SH, MHum, dosen FH Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo
Opini Jawa Pos 15 Februari 2010